Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Catatan Pojok Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

7 Maret 2016   14:13 Diperbarui: 7 Maret 2016   14:39 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.dreamstime.com"][/caption]Pemerintah melalui BPS telah merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015. Menurut data BPS, perekonomian nasional hanya tumbuh 4,79% alias turun dari angka pertumbuhan 5,02% yang ditorehkan tahun 2014. Tingkat pertumbuhan final 2015 ini dirilis setelah pencapaian pertumbuhan triwulan IV-2015 tercatat sedikit membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Triwulan IV-2015, pertumbuhan ekonomi nasional terhitung 5%.


 Tak dapat dipungkiri, pertumbuhan komponen ekonomi dari sisi permintaan, terutama konsumsi rumah tangga tercatat melambat, dari 5,14% pada tahun 2014 menjadi 4,96%. Akan tetapi, kontribusi konsumsi rumah tangga masih terhitung sangat dominan dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB), yakni sebesar 55,91% alias hanya turun tipis sebesar 0,06% dibanding tahun sebelumnya.


 Penurunan daya beli masyarakat menjadi tertuduh mengapa tingkat konsumsi rumah tangga mengalami pelemahan. Pasalnya, penghasilan masyarakat tertekan oleh kenaikan harga jual BBM akhir tahun 2014 dan depresiasi nilai tukar Rupiah. Walaupun inflasi 2015 tercatat cukup rendah, yakni sebesar 3,35% pada akhir tahun, tetapi pendapatan masyarakat tetap saja tergerus pada bulan-bulan sebelumnya, terutama karena gagalnya pemerintah mengedalikan harga bahan pokok.

 Data menunjukan, inflasi secara year to date dari awal tahun 2015 hingga Oktober 2015 bergerak pada kisaran 6,25% hingga 7,26%. Inflasi mulai melemah ketika dampak kenaikan BBM tahun 2014 mulai terkikis pada November 2015. Saat itu, kenaikan harga umum hanya terhitung 4,89%.


 Harus diakui, realisasi inflasi 2015 tercatat jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Inflasi 2014 dan 2013 masing-masing 8,36% dan 8,38%. Namun demikian, pencapaian inflasi 2015 tetap saja layak dikatakan kurang menggembirakan. Pasalnya, struktur inflasi masih tetap sama alias didominasi harga barang-barang bergejolak (volatile food). 

Akhir tahun 2015, inflasi barang-barang bergejolak (inflasi non inti) naik 4,84%, jauh di atas inflasi umum. Komponen makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau bergeliat labih tinggi, bahkan sampai dua kali dari inflasi umum sebesar 6,42%. Sedangkan kelompok bahan makanan melonjak 4,93%. Pada bagian lain, inflasi inti dan inflasi barang-barang yang diatur pemerintah naik 3,95% (yoy) dan 0,39% (yoy).


 Dari sisi yang lain, pendapatan per kapita penduduk dalam rupiah tercatat mencapai Rp 45,18 juta atau naik 7,83% (yoy). Sedangkan dalam ukuran dollar AS, pendapatan per kapita turun 4,35% (yoy) dari US$ 3.530,55 menjadi US 3.377,14. Hal ini karena realisasi nilai tukar yang ternyata tercatat jauh dari target APBN-P 2015 sebesar Rp 12.500 per dollar AS. 

Faktanya, pertumbuhan pendapatan per kapita tersebut hanya terasa bagi golongan menengah ke atas. Karena upah buruh di perdesaan serta upah buruh informal di perkotaan tumbuh tidak lebih cepat dari inflasi. Bahkan upah buruh tani justru turun sekitar 0,9% (yoy) pada Desember 2015. Sementara itu, upah buruh bangunan (per hari) hanya naik 0,89% (yoy) dan upah pembantu rumah tangga (per bulan) naik 0,98% (yoy).


 Nah, jika dilihat dari sisi penawaran, terutama aktivitas sektor-sektor padat karya (tradable), ternyata juga terjadi perlambatan yang cukup berarti. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya naik 4,02% (yoy), turun dari tahun sebelumnya sebesar 4,18% (yoy). Pelemahan harga komoditas global nampaknya benar-benar telah mengganggu sektor yang berbasis sumberdaya alam ini, terutama sektor pertambangan dan penggalian. Sektor ini tercatat melambat hingga 5,08% (yoy) pada tahun 2015. Sebenarnya sektor pertambangan dan penggalian sudah mulai melambat sejak tahun 2014 lalu yang hanya terhitung naik 0,55% dari tahun sebelumnya.


 Sementara itu, pertumbuhan sektor industri pengolahan tergerus tipis, dari 4,63% (yoy) pada 2014 menjadi 4,25% (yoy). Tak pelak, penurunan sektor ini diikuti pula oleh penurunan pangsa pasarnya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari 21% menjadi 20%. Penyerapan tenaga kerja industri pengolahan pun tergelincir dari 16,38 juta (Februari 2015) menjadi 15,25 juta (Agustus 2015). Ada beberapa hal yang menyebabkan perlambatan sektor industri pengolahan.

 Diantaranya adalah belum berjalannya paket-paket kebijakan pemerintah, terutama untuk sektor ketenagalistrikan dan realisasi investasi asing yang juga ikut terkoreksi hingga 12% (yoy), dari Rp 63,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 55,5 triliun. Pun realisasi industri makanan dan persepatuan juga terkoreksi hingga 18,4% (yoy) dan 16,7% (yoy).


 Dari sisi domestik, tantangan ekonomi ke depan masih berkisar tentang bagaimana menjaga daya beli masyarakat (inflasi). Pasalnya, sebagaimana data diatas, kontribusi konsumsi rumah tangga masih sangat dominan di dalam perekonomian nasional. Ini adalah imbas dari struktur inflasi nasional yang masih ditopang dari sisi penawaran. Sehingga mau tidak mau, ketahanan pangan, energi, dan kekuatan distribusi (infrastruktur) menjadi pekerjaan yang sulit tapi harus segera diprioritaskan oleh pemerintah.


 Memang, penurunan luas lahan menjadi kendala tersendiri untuk masalah ketahanan pangan ini. Sebab, laju pengurangan lahan bergerak lebih cepat ketimbang laju pembukaannya sehingga alih-alih semakin bertambah, tapi justru kian menciut. Selain itu, tak jarang pula pemerintah memilih jalan pintas dengan solusi jangka pendek melalui impor komoditas untuk mengatasi ancaman ketahanan pangan ketimbang fokus mengkreasi strategi jangka panjang yang imbasnya jauh lebih sustainable untuk masa depan ketahanan pangan nasional.


 Selanjutnya, tantangan pengelolaan inflasi dari sisi energi selama ini nampaknya cukup terbantu oleh penurunan harga minyak dunia. Bahkan belakangan, hanya minyak dunia tembus ke bawah level US$ 30 per barrel, sehingga secara otomatis tekanan terhadap inflasi dari sisi energi semakin jauh berkurang. Ini adalah momen yang harus dimanfaatkan oleh pemerintah untuk diversifikasi penggunaan energi agar ada solusi jangka panjang saat harga minyak mulai berbalik kembali ke level yang cukup tinggi.


 Tantangan lainya adalah masalah distribusi barang yang sangat terkait dengan ketersediaan infrastruktur (konektifitas). Hitam diatas putih, anggaran infrastruktur tercatat melonjak cukup tinggi, bahkan boombastis (reformasi struktural), namun minim realisasi. Sampai November 2015, belanja modal hanya terlaksana 51,1% dibanding target realisasi yang sudah direncanakan sebesar Rp 252,8 triliun.


 Dan terakhir, untuk sektor industri pengolahan, tantangan ke depan masih terletak pada urusan pemenuhan bahan-bahan baku yang secara langsung berhubungan dengan stabilitas nilai tukar. Ada dua hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi ini. Pertama mengeluarkan kebijakan fiskal dan moneter yang bisa menciptakan stabilitas mata uang (kurs moderat) agar import komponen untuk industri pengolahan tidak terlalu terbebani. Dan kedua, memberi prioritas investasi yang akan membangun rantai komponen untuk industri ini agar daya saing bisa ditingkatkan karena tidak lagi harus importasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun