Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Meraba Harga Minyak Dunia 2016

7 Maret 2016   08:17 Diperbarui: 7 Maret 2016   08:26 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, departemen commodity strategy RBC Capital and Global Markets pernah mengungkapkan tentang tiga skenario kemungkinan harga minyak untuk tahun ini, terutama untuk varian WTI. Pertama adalah skenario bullish di mana terjadi pengurangan cadangan minyak yang mencapai 1 juta barel. Kondisi ini diperkirakan bisa memacu harga minyak bergerak ke kisaran US$ 60 per barel.

Skenario kedua adalah skenario terburuk yang melibatkan produksi minyak besar-besaran dari OPEC, Arab Saudi, Iran dan Libya di pasar minyak dunia, disamping ledakan shale oil dari kawasan Amerika Utara. Tak pelak lagi, hal ini akan menyebabkan harga minyak tergerus kian dalam. Sehingga tak heran jika Golman Sach dan Morgan Stanley membuka kemungkinan prediksi bahwa harga berpeluang merapat ke level US$20 per barel. Dan ketiga adalah skenario lain yakni terciptanya keseimbangan pasar minyak pada paruh kedua 2016.

OPEC pun pada penghujung tahun lalu memperkirakan harga minyak 2016 akan naik US$ 5 per barel, diasumsikan ada di level US$ 60 dan di 2020 mencapai US$ 80. Jika diteliti lebih detail, ketika itu OPEC tidak menggunakan kata prediksi, tapi lebih cendrung menyebut angka-angka proyektif tersebut sebagai asumsi yang mereka buat dalam publikasi world oil outlook yang dirilis 23 Desember 2015 lalu.

Selain itu, IMF juga membuat pernyataan bahwa harga minyak bisa tercukur US$ 5 – 15 per barel dengan tambahan produksi Iran akibat dicabutnya sangsi embargo terhadap minyak Iran oleh Amerika Serikat dan Eropa. Sejatinya, sebelum mengutip secara serampangan proyeksi-proyeksi yang muncul ini, ada baiknya harus dibedakan terlebih dahulu antara pernyataan “harga minyak berkemungkinan bisa menyentuh level tertentu” dan pernyataan “harga minyak rata-rata sepanjang tahun akan berada pada kisaran tertentu”.

Kedua pernyataan ini sekilas terkesan sama, tapi secara substansial sangatlah berbeda. Harga bisa saja menyentuh $15-20 per barel dalam tahun ini, tapi belum tentu harga rata-rata sepanjang tahun ini adalah $15-20 per barel. Jika bicara harga akan turun sampai level tertentu, maka faktanya setiap hari harga minyak bisa berubah, bahkan bisa saja jatuh dibawah level yang diperkirakan. Nah pertanyaannya, berapa lama harga akan berada pada level tersebut?

Dialektika proyeksi harga minyak yang berkembang belakangan memang sangat menarik untuk disimak dan diperdebatkan. Semua pihak punya komentar dan analisa sendiri-sendiri tentang batas bawah (support/ floor price) pergerakan harga minyak untuk tahun ini, lengkap dengan berbagai data fundamental dan kalkulasi-kalkulasi grafis-teknikal. Bahkan pertengahan tahun lalu, hampir semua pihak sepakat bahwa harga tidak akan sanggup menjebol angka $40 per barel. Ada indikasi yang mendukung proyeksi ini ketika itu karena harga minyak sempat mengalami recovery sederhana, tetapi justru setelah itu harga malah kembali turun hingga ke bawah US$ 40 per barel

Sehingga dunia prediksi dan proyeksi menjadi semakin hangat dan menarik, karena akan memunculkan tebakan baru soal floor-price selanjutnya setelah batas psikologis US$ 30 per barel tembus. Mengapa? Karena faktor kebiasaan pasar saja. Tendensi tebakan akan sama ketika harga minyak cenderung naik. Secara psikhologis para pihak akan cenderung menerka ke angka tertinggi mana lagi harga akan bergelayut.

Jadi tidak heran ketika pertengahan tahun 2008 lalu, ketika harga minyak mencapai US$ 140 per barel, banyak pihak yang terbawa lebay, lalu ikut-ikutan memasang angka target prediksi di level US$ 200 per barel, bahkan ada yang lebih ekstrim, yakni US$300- 400. Sebagaimana yang sama-sama telah disaksikan, harga tersebut tak pernah tercapai, sekalipun untuk level US$ 200. Nah, situasi yang sama ketika harga minyak terjun bebas, secara psikologis para analis akan berlomba-lomba untuk memasang tebakan batas bawah yang akan dituju oleh harga (floor-price).

Minyak, sebagaimana komoditas lainnya, juga memiliki beberapa faktor sebagai penentu harga. Setidaknya, berdasarkan referensi yang ada, terdapat empat faktor yang mempengaruhi harga minyak, yaitu: pasokan (supply), permintaan (demand), pasar (market), dan persediaan (inventory). Pasokan akan dipengaruhi oleh harga minyak, produksi OPEC dan non OPEC, situasi geopolitik, biaya aktifitas hulu, kinerja dan perkembangan teknologi dan lain-lain. Sementara itu, faktor permintaan akan dipengaruhi oleh harga minyak, pertumbuhan ekonomi, transportasi, cuaca, efisiensi, energi alternatif, subsidi, dan lain-lain.

Faktor pasar akan terbentang diantara pasar minyak yang sesungguhnya (physical market) dan pasar finansial (paper market). Physical market bisa dalam bentuk barter, spot, dan kontrak dengan harga yang telah ditetapkan untuk penyerahan kemudian (forward) serta term contract (kontrak berjangka) yang merupakan mekanisme transaksi perdagangan paling banyak digunakan, yakni kisaran 90 – 95 persen dari perdagangan minyak global.

Sedangkan paper market adalah dinamika pasar minyak yang terkait dengan penggunaaan komoditas minyak sebagai instrumen derivatif di pasar finansial. Pada awal tahun 1990-an, kegiatan di pasar minyak derivatif lebih banyak didorong untuk keperluan aktivitas lindung nilai (hedging) oleh institusi yang terlibat langsung dengan perdagangan minyak.Dengan semakin banyaknya jenis produk di pasar keuangan ini, ditambah prospek untuk memperoleh imbal-hasil yang lebih besar, maka terjadi peningkatan transaksi “minyak kertas” di pasar komoditas global, bahkan belakangan muncul pula para investor yang sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan aktivitas perminyakan maupun aktifitashedging.

Yang tidak terkait langsung ini biasanya kerab disebut dengan spekulan seperti yayasan pensiun, yayasan atau perusahaan lain yang mengelola dana (endowment funds), dan lain-lain. Transaksinya dikenal dengan sebutan transaksi non-commercial oleh commodity futures trading commission. Imbasnya, harga minyak kemudian tidak hanya dipengaruhi oleh demand dan supply di pasar fisik, tapi juga oleh dinamika sektor keuangan, seperti perubahan suku bunga Federal Reserve, perubahan nilai tukar dan lain-lain.

Faktor keempat yang mempengaruhi harga minyak adalah persediaan (inventory). Negara-negara maju yang bergabung dalam IEA mewajibkan anggotanya untuk menumpuk persediaan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terputusnya pasokan minyak. Kemudian masing-masing anggota diwajibkan menyimpan persediaan minyak dan produk turunannya, seperti bensin dan diesel setara dengan volume yang diperlukan minimal 90 hari dari net-impor minyak. Nah, kelebihan pasokan belakangan ini memiliki arti bahwa level persediaan yang ada di masing-masing negara anggota IEA sudah jauh di atas persyaratan minimum 90 hari. Mau tak mau, kondisi ini akan mengirim sinyal kepada pasar yang kemudian akan ikut menggerakan harga untuk waktu mendatang.

Pendek kata, dari ketiga skenario diatas dan dinamika faktor-faktor yang mempengaruhi harga tersebut, probalbilitas untuk skenario kedua sangat tinggi. Balapan memompa minyak dari perut bumi antara OPEC dan Amerika sampai hari ini tak terbendung. Rencana negosiasi pengurangan output sekira 5% antara Rusia dan OPEC pun tak jua menuai kepastian. Harga mungkin saja bisa terjun lebih jauh, tapi saya kira, rata-rata pergerakan tahunan masih akan berada pada median US$ 30-40 per barel. Karena jika harga harus diproyeksikan diatas angka median ini, nampaknya dunia belum mempunyai faktor-faktor pendorong yang cukup, termasuk kesepakatan freezing out put antara OPEC, Rusia, dan beberapa negara penghasil minyak lainya yang diperkirakan tidak akan terlalu mengangkat harga (akan saya bahas dikesempatan lain soal kesepakatan pembekuan output OPEC dan Rusia ini di lain tulisan). Bahkan ancaman terganggunya pasokan akibat ketegangan di Timur Tengah pun tak mampu mendorong harga ke atas. Lihat saja imbas serangan Saudi ke Yaman atau pemutusan hubungan diplomatik Saudi dan Iran, implikasi harga yang muncul tercatat sangat kecil, kemudian harga kembali meluncur bebas.[caption caption="www.beritaenam.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun