Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia -

Penyeruput Kopi, Provokator Tawa, dan Immigrant Gelap di Negeri Kesunyian

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

PHK Sukarela dan Sukarela di-PHK

5 Maret 2016   22:19 Diperbarui: 5 Maret 2016   22:58 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PT Chevron Pacific Indonesia telah memberikan klarifikasi soal rencana pengurangan pegawai kepada SKK Migas beberapa hari lalu. Tanggapan disampaikan pihak Chevron yang diwakili oleh Donny Indrawan selaku Corporate Communication Manager. Klarifikasinya cukup menarik, karena nampaknya raksasa oil and gas ini mencoba untuk memperhalus “pembahasaan” atas berbagai imbas negatif yang diterima perusahaan akibat penurunan tajam harga minyak dunia belakangan ini. Intinya, tak ada PHK, yang ada adalah opsi-opsi untuk karyawan, terutama yang berniat mundur dari posisinya.

Menurut Chevron, untuk mendukung penyelarasan ukuran organisasi dan keberhasilan proses transformasi, maka Chevron menjalankan Program Pengelolaan Tenaga Kerja (Workforce Management Program) yang mencakup seluruh karyawan nasional Chevron di Indonesia. Program WFM memberi kesempatan bagi karyawan untuk mempertimbangkan pensiun dini atau pengunduran diri secara sukarela dan mendapatkan tambahan insentif. Selain insentif, Chevron juga memberikan kompensasi dan manfaat dasar seperti digariskan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Nampaknya Chevron memang sedang mencoba meyakinkan public bahwa program tersebut bukanlah sesuatu yang kita kenal dengan sebutan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan dilangsungkan dalam asas sukarela. Artinya, sebagaimana dikatakan Corporate Comunication Chevron kepada awak media, partisipasi dalam Program WFM sepenuhnya merupakan keputusan pribadi karyawan yang bersangkutan alias bukan paksaan.

Dari pemberitaan yang berkembang, Chevron nampaknya sangat yakin bahwa inisiatif ini akan membantu memastikan operasi perusahaan di Indonesia dapat terus menciptakan nilai tambah bagi seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, program WFM ini termasuk ke dalam proyek transformasi yang sedang dilakukan Chevron untuk menyelaraskan ukuran dan struktur organisasi. Serta menjaga daya saing dari bisnis Chevron saat ini dan masa mendatang.

Sebagai operator bagi Indonesia, Chevron berkomitmen menjaga operasi migas dan panas bumi yang selamat, efektif, efisien dan andal dalam rangka menghasilkan energi untuk Indonesia. Restrukturisasi atau transformasi atau apapunlah namanya, sebenarnya hanyalah rasionalisasi dalam melakukan efisiensi demi daya saing agar tetap bisa beroperasi dalam cara dan tata kelola yang mrnguntungkan semua pihak, terutama pihak perusahaan tentunya.

Apa yang dialami Chevron adalah fenomena global, sehingga dengan kata dan bahasa apapun istilah PHK itu dipoles, pengurangan tenaga kerja tak mungkin dihindari, terlepas dengan cara frontal atau halus. Lihat saja hasil kajian lembaga konsultan Graves & Co baru-baru ini. Mereka menghitung, secara global ada lebih dari 250.000 karyawan perusahaan minyak yang terkena PHK sepanjang tahun lalu. Ratusan ribu korban PHK tersebut merupakan imbas dari menganggurnya lebih dari 1.000 lahan pengeboran dan terpangkasnya belanja produksi lebih dari US$ 100 miliar pada tahun 2015.

Bahkan, gelombang PHK global sektor pertambangan kali ini sudah melampaui petaka harga minyak dunia pada tahun 1980-an silam. Kala itu, korporasi minyak di Texas merumahkan sekitar 240.000 karyawan. Tren penurunan laba yang terus berlanjut menjadi pemicu utama datangnya gelombang PHK massal. Jadi tidak heran beberapa pekan belakangan para investor disuguhi rapor kinerja buruk sekaligus rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dari raksasa minyak dunia. Kabar buruk paling anyar disampaikan oleh Royal Dutch Shell. Korporasi asal Belanda ini bakal memutus hubungan kerja 10.000 karyawan. Puluhan ribu karyawan ini berasal dari Shell sekaligus perusahaan minyak dan gas asal Inggris yang baru saja diakuisisi, yakni BG Group.

Jumlah ini bertambah dari rencana awal PHK massal sebanyak 7.500 pekerja yang diumumkan pada pertengahan 2015. Sudah tak perlu diragukan lagi bahwa kebijakan substansial ini adalah respon perusahaan-perusahaan pertambangan atas penurunan lebih lanjut harga komoditas minyak dunia. Lihat saja laporan keuangan Shell yang dirilis Kamis (4/2/16)awal Februari lalu. Shell melaporkan penurunan laba sebesar 80% menjadi US$ 3,8 miliar di sepanjang tahun 2015. Ini merupakan penurunan laba terdalam sejak 13 tahun terakhir.

Selain Shell, keputusan merumahkan puluhan ribuan karyawan juga ditempuh oleh BP (British Petrolium). Selasa (2/2/16) awal bulan yang lalu, perusahaan minyak asal Inggris ini bertekad bulat untuk memberhentikan 7.000 karyawan. BP akan memberhentikan 4.000 pekerja dari bisnis eksplorasi. Sementara itu, ada 3.000 karyawan hilir bisnis pengilangan minyak juga bakal kehilangan pekerjaan. Sehingga total karyawan BP yang akan terkena gusur menjadi 7000 karyawan. Berdasarkan keterangan dari BP, PHK akan dilakukan secara bertahap dalam tempo dua tahun mendatang.

Kisah ini nyatanya belum usai. Pada hari Kamis (4/2/16), perusahaan minyak asal Amerika Serikat (AS) Weatherford International pun resmi menetapkan rencana PHK terhadap 6.000 karyawan. Jumlah PHK ini sekitar 14% dari total jumlah pekerjanya. Rencananya, PHK massal ditempuh oleh Weatherford secara bertahap sepanjang semester I tahun ini.

Rapor jelek rencana PHK massal tiga raksasa minyak beberapa pekan belakangan ini tentunya akan menambah daftar panjang korban anjloknya harga minyak. Indonesia pun nampaknya tak bisa mengelak. Sebelum isu merger dua perusahaan Chevron yang diperkirakan akan menelan korban PHK sekitar 1500 karyawan (belakangan angka dalam berita terkait berubah menjadi 1200), sektor pertambangan Indonesia juga sempat dimuramkan oleh gelombang PHK yang mulai mencuat akibat harga minyak mentah dunia anjlok hingga di bawah US$30 per barel.

Menjelang akhir Januari lalu, perusahaan asal Amerika Serikat, Schlumberger, juga menyatakan telah merumahkan lebih dari 10.000 karyawan dalam tiga bulan terakhir sebagai imbas menurunnya harga minyak. Pemerintahpun nampaknya tak bisa berbuat apa-apa karena secara bisnis dalam tiga bulan terakhir, Schlumberger memang telah mencatatkan kerugian sebesar US$1 miliar dolar, kerugian per kuartal pertama dalam 12 tahun. Pendapatan perusahaan juga jatuh 39 persen menjadi US$7,74 miliar.

Jadi pendek kata, apapun istilah yang dipakai perusahaan maupun oleh pemerintah, baik Chevron dari sektor pertambangan, atau Panasonic dan Toshiba dari sektor elektornika, ujungnya tetaplah penguarangan tenaga kerja. Pasalnya, perusahaan sudah tak mungkin lagi menerapkan model, managemen, dan teknologi produksi yang tidak menguntungkan alias tidak efisien jika dibanding tingkat kapitalisasi penjualan yang di dapat atau kerap dikenal dengan sebutan diminishing return. Langkah yang mungkin dan masuk akal bagi pemerintah tentu bukan dengan cara memoles kata-kata atau berusaha meyakinkan publik bahwa PHK itu tidak ada, tapi justru harus meyakinkan publik bahwa pembukaan lapangan kerja baru jauh berlipat-lipat lebih banyak ketimbang penutupan lapangan pekerjaan di beberapa sektor dan meyakinkan publik bahwa para pekerja yang terimbas PHK mendapatkan hak-haknya secara wajar dan proporsional.
[caption caption="Ilustrasi - informationsecuritybuzz.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun