Menjelang akhir Januari lalu, perusahaan asal Amerika Serikat, Schlumberger, juga menyatakan telah merumahkan lebih dari 10.000 karyawan dalam tiga bulan terakhir sebagai imbas menurunnya harga minyak. Pemerintahpun nampaknya tak bisa berbuat apa-apa karena secara bisnis dalam tiga bulan terakhir, Schlumberger memang telah mencatatkan kerugian sebesar US$1 miliar dolar, kerugian per kuartal pertama dalam 12 tahun. Pendapatan perusahaan juga jatuh 39 persen menjadi US$7,74 miliar.
Jadi pendek kata, apapun istilah yang dipakai perusahaan maupun oleh pemerintah, baik Chevron dari sektor pertambangan, atau Panasonic dan Toshiba dari sektor elektornika, ujungnya tetaplah penguarangan tenaga kerja. Pasalnya, perusahaan sudah tak mungkin lagi menerapkan model, managemen, dan teknologi produksi yang tidak menguntungkan alias tidak efisien jika dibanding tingkat kapitalisasi penjualan yang di dapat atau kerap dikenal dengan sebutan diminishing return. Langkah yang mungkin dan masuk akal bagi pemerintah tentu bukan dengan cara memoles kata-kata atau berusaha meyakinkan publik bahwa PHK itu tidak ada, tapi justru harus meyakinkan publik bahwa pembukaan lapangan kerja baru jauh berlipat-lipat lebih banyak ketimbang penutupan lapangan pekerjaan di beberapa sektor dan meyakinkan publik bahwa para pekerja yang terimbas PHK mendapatkan hak-haknya secara wajar dan proporsional.
[caption caption="Ilustrasi - informationsecuritybuzz.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H