Ada dua tipe kaderisasi di partai politik dalam proses demokrasi di Indonesia. Yaitu marbot politik dan politik mie instan.
Hal itu disampaikan Founder Bro Rivai Center, Abdul Rivai Ras dalam menilai kualitas politisi yang saat ini banyak dipertanyakan di ruang-ruang publik.
"Saya sebut dengan istilah marbot (doja) politik dan politik mie instan," kata dia di acara BRC Table Talk seri ketiga dengan tema "Budaya Politik dan Wisata Demokrasi".
Marbot politik dan politik mie instan dikatakan dia, banyak menghiasai demokrasi Indonesia sekarang ini. Marbot politik dijelaskannya, adalah jenjang kaderisasi di partai politik. Politisi hasil pengkaderan tipe ini berkarir di partai memulai dari bawah seperti menjadi staf, kepala sekretariat, sekretaris hingga menjadi ketua partai.
"Politisi dengan karakter seperti ini loyal terhadap partai namun kurang memahami konteks kepemimpinan secara utuh. Misalnya pengambilan kebijakan dan pembuatan sebuah produk-produk hukum," ucap Bro Rivai, sapaan akrab Abdul Rivai Ras, saat memandu acara yang menghadirkan Guru Besar Bidang Politik IPDN Prof. Nurliah Nurdin dan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unhas Dr. Hasrullah sebagai pembicara itu.
Berbeda dengan politik mie instan, dijelaskan Bro Rivai, tipe marbot politik adalah kumpulan orang-orang yang memiliki modal budgeting yang cukup untuk membeli kendaraan partai agar ikut bertarung atau dipinang oleh partai mengikuti sebuah kontestasi pileg misalnya.
"Namun, secara kapasitas kurang mampu beradaptasi dan mengambil peran terhadap hal-hal yang sifatnya kepentingan publik. Biasanya tipe seperti ini adalah mereka yang memiliki uang lebih atau seorang keluarga pejabat. Entah bapaknya adalah gubernur, walikota atau seorang bupati," jelas dia dalam acara yang berlangsung di Warung Upnormal Makassar, Minggu (10/3) itu.
Apa yang diungkap Bro Rivai ini memberikan gambaran nyata terhadap fenomena caleg yang notabenenya bakal mengisi parlemen nanti. Apakah benar politisi yang bermunculan sekarang ada karena kualitas, marbot politik atau politik mie instan?
Apapun itu, lanjutnya, proses rekrutmen politik harus selektif, mampu membawa perubahan, mengantarkan aspirasi rakyat disamping memiliki kapabilitas kepemimpinan serta cukup bekal wawasan dan pengetahuan politik termasuk kebijakan pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H