Villa Park menjadi saksi bisu digdayanya salah satu klub terbesar dalam sejarah Liga Inggris, Aston Villa, selama lebih dari 125 tahun. Klub yang didirikan pada bulan Maret 1874 ini mulai menempati hunian yang sejatinya bernama Aston Lower Grounds sejak 1897. Sebagai klub yang telah berkiprah lebih dari satu abad, keberadaan Aston Villa tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Aston Villa merupakan klub kedua terbanyak yang tampil di kasta tertinggi Liga Inggris, yakni sebanyak 104 musim. Peringkat pertama milik Everton dengan 112 musim.
Villans, begitu julukan tim berlambang singa ini, juga sempat menunjukkan taringnya di kancah domestik maupun internasional. Dalam lingkup domestik mereka pernah menjuarai First Division (saat ini Premier League) sebanyak 7 kali, Piala FA sebanyak 7 kali, dan Piala Liga (saat ini Carling Cup) sebanyak 5 kali. Sementara di Eropa tim ini menjadi juara European Cup (saat ini UEFA Champions League) pada musim 1981-1982 dan European Super Cup (saat ini UEFA Super Cup) tahun 1982.
Meski semua prestasi tersebut diraih pada abad ke-20 silam, Aston Villa termasuk dalam 1 dari 7 tim yang belum pernah terdegradasi semenjak awal Premier League digulirkan (musim 1992-1993), bersama dengan Tottenham Hotspurs, Chelsea, Everton, Liverpool, Manchester United, dan Arsenal. Tapi di musim 2015-2016 ini, jabatan prestisius mereka akan segera terhenti. Ironisnya, Aston Villa menjadi klub pertama yang dipastikan terdegradasi ketika kompetisi masih berada di minggu ke-34, atau masih menyisakan 4 pertandingan.
Merujuk pada sejarah dan tradisi klub, tentu hal ini amat sulit diterima bagi seluruh elemen klub, mulai dari pemain, pelatih, dan khususnya fans. Setelah bertahan selama 23 musim, untuk kali pertama mereka akan merasakan kompetisi Football League Championship di musim mendatang. Barangkali kehilangan pemain kunci seperti Christian Benteke dan Fabian Delph dalam satu musim merupakan biang kegagalan yang mereka alami.Â
Meski begitu mereka seharusnya mampu menambal lubang besar itu dengan biaya transfer yang diperoleh. Dari penjualan keduanya saja, Liverpool dan Manchester City harus merogoh kocek sebesar 57 juta euro (sekitar 863 milyar rupiah) yang langsung masuk kas Villa. Tetapi sayang, alih-alih mendatangkan pemain bintang, manajemen klub justru mendatangkan jajaran pemain kelas menengah dengan kisaran harga 1 juta hingga 9 juta euro, mulai dari Jordan Ayew, Scott Sinclair, hingga Joleon Lescott.
Sungguh malang, performa gemilang yang diharapkan rundung datang sehingga tim yang berada di tepi jurang degradasi musim 2014-2015 (peringkat 17) tidak mampu berbuat banyak, memaksanya kini harus rela berada di dasar jurang. Masa-masa kelam sejarah tim merah-biru akhirnya kembali datang.
Bukan tanpa alasan menjagokan Blaugrana dapat merengkuh treble beruntun kala itu, karena Jose Enrique akan mengarungi musim 2014-2015 dengan skuad sebagian besar sama. Perubahan komposisi pemain yang terjadi hanyalah kepergian Pedro Rodriguez ke Chelsea setelah merasa kalah bersaing dengan MSN, dan kepindahan sang legenda Xavi Hernandez ke tim Qatar, Al-Sadd. Sebagai gantinya, Munir El Haddadi dan Sandro Ramirez dipanggil dari Barcelona B untuk didaulat sebagai pelapis ujung tombak, sementara gelandang eksplosif, Arda Turan secara mengejutkan didatangkan dari tim rival, Atletico Madrid.Â
Merasa telah cukup buas di barisan tengah dan depan, Aleix Vidal didatangkan dari Sevilla sebagai alternatif barisan pertahanan. Seperti pepatah mengatakan "Dont change the winning team", agaknya ini menjadi bisa modal yang baik mempertahankan gelar, apalagi jika ditambah dengan pemain muda yang sarat teknik dan pengalaman.
Belum cukup sampai di situ saja, optimisme ini didukung pencapaian mencengangkan di jagad sepak bola yang ditorehkan oleh trisula maut klub Catalan ini, Messi-Suarez-Neymar yang kemudian populer dengan singkatan MSN. Selama satu musim sebelumnya, trio ini menyumbangkan 122 gol bagi Barcelona, tersubur sepanjang sejarah La Liga. Ini pun dengan catatan Suarez baru mulai berseragam Barcelona pada akhir Oktober, mengingat larangan bermain yang diberikan FIFA pasca bertikai dengan Chiellini. Suarez pun baru mencetak gol pada pertandingan ke-8 bersama Barca di bulan Desember. Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika MSN yang telah menemukan 'klik'-nya telah diturunkan sejak awal kompetisi dilangsungkan.
Keuntungan bagi Barcelona juga diperoleh dari dua kompetitor terdekat Real Madrid dan Atletico. Real Madrid secara mengejutkan mendepak Carlo Ancelloti di akhir musim dan menggantinya dengan Rafael Benitez untuk membesut tim utama. Dari awal, kehadiran Rafa sudah tidak mendapat dukungan dari fans. Pengalaman Rafa mampu melatih tim raksasa sekelas Madrid amat diragukan. Sementara Atletico belum menemukan kembali pedang dan tamengnya pasca Chelsea membajak Diego Costa dan Thibaut Courtois dua musim sebelumnya. Di musim 2014-2015, Jan Oblak dan Miguel Moya secara bergantian masih coba mengisi lobang yang ditinggalkan Courtois sedangkan Antoine Griezmann menjadi satu-satunya harapan seiring inkonsistensi Mario Mandzukic, Alessio Cerci, Raul Jimenez, hingga Fernando Torres yang dihadirkan kembali untuk mengembalikan kebuasan era Falcao dan Costa. Di atas kertas, Barca sangat banyak diuntungkan.
Keperkasaan ini sempat nyata terlukis ketika semenjak kalah melawan Sevilla pada kuartal terakhir 2015 mereka tak terkalahkan di 39 laga, nyaris menjadi tim ketiga bersama dengan Juventus dan Nottingham Forest yang memiliki rekor tak terkalahkan dengan bilangan puluhan 4. Selama 39 laga yang berujung 32 kemenangan dan 7 hasil imbang ini, tredente andalan mereka menyumbang 90 gol dan 45 assist. Bagaimana mungkin ada tim menghentikan laju badai seperti ini? Kurang lebih seperti itulah yang diutarakan fans klub lain serta analis pertandingan dan menjadikan FC Barcelona unggulan pertama di setiap kompetisi musim 2015-2016 ini.
Unggul 9 poin di klasemen La Liga dari pesaing terdekat, Atletico Madrid, melaju kencang di Copa Del Rey, serta tidak pernah kalah di Liga Champions membuat pasukan Luis Enrique berada di atas angin, barangkali mereka sudah lupa seperti apa rasanya mengalami kekalahan. Namun sungguh malang, kejayaan selama tiga-per-empat musim ternyata tidak abadi hingga akhir musim setelah rival abadi mereka, Real Madrid harus menghentikan catatan kemenangan itu.Â
Barangkali terkejut dengan kekalahan pertama di 6 bulan terakhir, setelah itu rangkaian kekalahan menjangkit Barcelona, bahkan oleh tim-tim yang musim ini tidak stabil penampilannya seperti Real Soceidad dan Valencia. Selisih 9 poin yang sebelumnya diprediksi akan membuat Barcelona melenggang mudah menggondol juara liga, sirna dengan segera.
Di kompetisi benua biru, UEFA Champions League, ketika media membidik PSG, Bayern Munich, dan Real Madrid sebagai lawan sebanding bagi Barcelona di semifinal atau final, tak disangka tim senegara Atletico Madrid muncul sebagai kuda hitam yang mendepak raksasa merah-biru di babak 8 besar. Bahkan di episode berikutnya tim asuhan Diego Simeone juga menghancurkan asa Pep Guardiola untuk mencicip laga pamungkas bersama Bayern Munich.
Mungkin masih banyak kisah menarik lain yang tidak saya ketahui, atau bahkan tidak terulas media. Tetapi setidaknya, ada pembelajaran yang bisa kita ambil dari perjalanan ini, bahwa manusia beserta teknologi ciptaannya amat terbatas. Setiap analisa dan prediksi yang dilakukan, baik manual ataupun menggunakan super-komputer tetap tidak akan mampu mengetahui dengan benar apa yang sesungguhnya akan terjadi. Karena bola itu bundar, dan manusia bukanlah dewa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H