Leicester City mengangkat trofi Premier League di King Power Stadium (8/5 waktu Indonesia).
Sumber: 360nobs.com (klik di sini)
Goresan sejarah dalam blantika sepakbola telah tertoreh ketika peluit panjang ditiup untuk mengakhiri pertandingan antara dua raksasa London, Chelsea FC melawan Tottenham Hotspurs. 3 Mei 2016, Leicester City FC, menjadi klub ke-6 yang dapat mengangkat trofi paling bergengsi di negeri Ratu Elizabeth, Premier League.
Hiruk pikuk tak hanya dirasakan oleh jajaran pemain dan pelatih yang euforianya turut disajikan pada berbagai macam media. Ribuan atau mungkin jutaan orang yang pada awalnya bahkan tidak mengetahui klub yang bermarkas di kota berpenduduk sekitar 300.000 orang, tiba-tiba turut andil dalam memeriahkan kemenangan yang amat mengejutkan ini. Tentu saja sebagai penggemar setia jagad sepakbola sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saya salah satunya.
Meski bagi saya nama Leicester City sendiri sudah tak asing sebagai klub medioker yang kerap naik turun kasta, seperti Crystal Palace, Reading, Wigan Athletic, atau Queens Park Rangers, tetapi menjadi juara liga mengalahkan tim-tim unggulan seperti Chelsea, Manchester City, atau Arsenal tentu sungguh mengejutkan. Terlebih liga mengharuskan satu tim bertemu setiap kompetitornya, tidak seperti perebutan piala (cup) yang menggunakan sistem gugur (knockout) dimana tim dapat 'terbantu sistem' untuk dapat terhindar dari beberapa tim kuat yang telah saling beradu.
Keterpukauan ini ternyata juga direspon oleh penduduk di belahan dunia lain. Diperlihatkan dari lonjakan jumlah posting di dunia maya sangat kentara, begitu kata analis yang dimunculkan di media. Mereka tidak asal bicara, karena beberapa situs berita terpercaya seperti Mirror memaparkan hal yang sama. Di malam Leicester menyegel gelar juara liga perdana mereka, terdapat 5,5 juta tweet yang dikirimkan oleh pengguna di seluruh dunia. Sedangkan di Ingggris sendiri, kemenangan Leicester memberi kenaikan aktivitas twitter sebesar 86%, hampir dua kali lipat! Sebuah reaksi yang bisa dibilang berlebihan bila dibandingkan dengan perebutan juara liga negara lain.
Sumber: mirror.co.uk (klik di sini)
Namun apa yang membuat kemenangan Leicester City begitu istimewa? Bukankah pernah ada kejutan serupa, seperti ketika Atletico Madrid merusak dominasi duo raksasa Barcelona dan Real Madrid ketika menjuarai La Liga di musim 2013-2014 silam? Atau ketika tim antah berantah, Montpellier menjadi kampiun Ligue 1 setelah musim sebelumnya hanya menduduki peringkat 14 seperti Leicester? Peristiwa yang dialami ketiga tim ini tentu tidak bisa disamakan satu dengan yang lain, atau apple to apple.
Pada kasus Atletico Madrid, sebelum menjadi juara liga pada tahun 2014, Atletico telah rutin mengangkat trofi sejak tahun 2010, yakni 2 piala Liga Europa, 2 piala Super Eropa (UEFA Super Cup), dan 1 Copa Del Rey. Modal ini diperkaya ketercapaian mereka di peringkat 3 pada musim sebelumnya. Sedikit banyak prestasi tersebut telah memberi tempaan mental bagi tim - yang perubahan komposisi pemainnya tidak terlalu signifikan di setiap musimnya - untuk akhirnya meraih titel La Liga.
Sementara kemenangan Montpellier pada tahun 2012 dimuluskan dengan ketiadaan 'klub kaya' dan dominasi klub besar di liga Perancis. Sebagai catatan, Paris Saint-Germain (PSG) dibeli oleh Qatar Sport Investments (QSI) pada tahun 2011, atau musim yang sama ketika Montpellier menjadi klub terakhir selain PSG yang menjadi juara Ligue 1 hingga tahun ini. Bisa dibilang, kala itu PSG masih berada dalam adaptasi untuk menjadi klub raksasa. Sedangkan dominasi klub besar juga sirna setelah Olympique Lyon tidak berhasil mempertahankan gelar ke-8 beruntun usai kalah dari Bordeaux di tahun 2009. Semenjak saat itu Olympique Marseille, Lille, dan Montpellier bergantian menguasai liga tertinggi persepakbolaan Perancis sementara Lyon terus dirundung inkonsistensi.
Kondisi ini tentu amat berkebalikan dengan apa yang dialami oleh Leicester City. Prestasi terakhir klub berjuluk The Foxes sebelum menjuarai Premier League adalah juara Football League Championship (liga kedua) musim 2013-2014 dan juara Football League One (liga ketiga) musim 2008-2009. Alih-alih bersua di kancah Eropa, prestasi terbaik klub ini adalah juara piala liga (saat ini bernama Capital One Cup) sebanyak tiga kail, terakhir pada tahun 2000 atau lebih dari satu dekade silam.Â
Di sisi lain, Andy King yang merupakan pemain terlama Leicester City baru bergabung di tim utama pada tahun 2006. Maka dipastikan, tidak ada satupun pemain yang pernah mengecap penghargaan tertinggi dalam kompetisi sepakbola bersama Leicester, pun demikian dengan sang pelatih Claudio Ranieri.
Bila pengamatan kita alihkan pada kondisi finansial, maka ketimpangan nyata terlihat di antara Premier League dengan Ligue 1. Mengacu pada data yang terhimpun pada laman Transfermarkt, disebutkan bahwa Premier League memiliki nilai pasar 4,41 milyar euro (67,2 triliun rupiah) dan untuk Ligue 1 1,55 milyar euro (17,6 triliun rupiah). Mengingat jumlah tim yang berkompetisi sama dan jumlah pemain yang tak jauh berbeda (520 di Premier League dan 540 di Ligue 1), komoditas Premier League yang hampir tiga kali lebih besar dibanding Ligue tentu tidak dapat dipandang sebelah mata.
Menilik lebih dalam kompetisi Premier League, jika penghitungan kekayaan liga dibagi rata ke 20 tim, maka setiap tim akan memperoleh 220 juta euro, meski kenyataannya tidak demikian. Seperti yang telah diprediksi, big six sendiri memiliki jumlah kekayaan 2,53 milyar euro atau sekitar 60% dari nilai pasar keseluruhan. Secara rinci, berikut perbandingan kekayaan antara big six, West Ham United, dan Leicester City FC:
Di era sepakbola modern, kondisi keuangan tim memberikan pengaruh besar pada prestasi. Mari kita lihat fakta ini dari lima besar liga terbaik di eropa versi FIFA selain Premier League (posisi lima besar secara berurutan: La Liga - Spanyol, Bundesliga - Jerman, Premier League - Inggris, Serie-A - Italia, dan Liga NOS - Portugal).
3 besar klasemen klub hingga 1 pekan sebelum akhir musim dan peringkat kekayaan dalam tanda kurung ( ).
La Liga: 1. Barcelona(2) - 2. Real Madrid(1) - 3. Atletico Madrid(3)
Bundesliga: 1. Bayern Munich (1) - 2. Borussia Dortmund (2) - 3. Bayer 04 Leverkusen (3)
Serie-A: 1. Juventus(1) - 2. Napoli(2) - 3. AS Roma(3)
Liga NOS: 1. Benfica(1) - 2. Sporting CP(2) - 3. FC Porto(3)
3 terbawah klasemen klub hingga 1 pekan sebelum akhir musim dan peringkat kekayaan dalam tanda kurung ( ).
La Liga: 18. Sporting Gijon(15) - 19. Rayo Vallecano(19) - 20. Levante UD(17)
Bundesliga: 16. Werder Bremen(13) - 17. VfB Stuttgart(8) - 18. Hannover 96(16)
Serie-A: 18. Carpi(19) - 19. Frosinone(20) - 20. Hellas Verona(17)
Liga NOS: 16. Uniao Madeira(17) - 17. CD Tondela(18) - 18. Coimbra (13)
Dalam setiap klasemen liga elit tersebut, secara gamblang dapat terlihat bahwa posisi puncak dikuasai oleh klub-klub terkaya. Di sisi lain penghuni dasar tabel merupakan klub dengan kondisi finansial menengah kebawah. Melalui telaah yang dilakukan, hanya terdapat dua klub menengah kebawah yang menembus posisi lima besar, yakni Mainz 05 di Liga Jerman (pos. 5/kekayaan 11) dan FC Arouca di Liga Portugal (pos. 5/kekayaan 12).
Tidak dapat dipungkiri lagi pada masa ini, walau sepakbola bukan tentang individu melainkan kerjasama tim, tetapi kehadiran pemain-pemain berkelas dalam satu ruang ganti seakan tak memberi ruang yang nyata pada usaha dan kerjasama. Dalam hal ini Leicester memberikan guratan warna yang berbeda, dengan menjadi satu-satunya tim menengah kebawah yang menjadi pemuncak salah satu liga elit. Membuktikan bahwa dominasi kucuran dana di tengah lapangan hijau bukan menjadi satu-satunya jalan untuk meraih kesuksesan. Bisa jadi, karena ini pula penduduk dunia gegap gempita - bahwa uang tidak menjadi satu-satunya harapan untuk kehidupan yang lebih baik, meski berada di lautan peradaban modern.
Realisasi dunia dongeng belum berhenti hingga titik ini. Tergolong dalam generasi Y yang lahir di paruh pertama 90-an, masa kecil saya dicekoki dengan dongeng perjuangan berbalut kerja keras khas anime Jepang yang masih rutin ditayangkan di televisi. Masih ingat benar kisah Hanamichi Sakuragai dan perjalanannya dengan tim basket Shohoku di anime SlamDunk, atau Kazamatsuri Sho dalam anime Whistle! bersama klub sepakbola sekolah menengah Josui. Dalam genre lain juga ada Naruto dan Monkey D. Luffy yang masih banyak digandrungi peminat hingga kini. Semua dongeng tersebut hampir memiliki alur yang sama. Bercerita tentang kerja keras dan pertemanan dari tokoh utama yang semula bukanlah siapa-siapa hingga akhirnya berujung pada kesuksesan meski pada mulanya tidak diakui oleh siapapun.
Membandingkan kisah anime dalam dunia nyata khususnya sepakbola, peristiwa mengejutkan yang pernah ditemui di abad ke-21 praktis hanyalah kemenangan Yunani pada Piala Eropa 2004. Probabilitas Yunani menjadi juara kala itu dilansir sebesar 1:140 atau sekitar 0,7% dalam persentase. Hanya 3 dari 200 orang yang menaruh harapan pada tim tanah dewa yang kala itu tidak diperkuat satupun pemain bintang untuk dapat menjuarai Euro 2004.Â
Tapi kini, Leicester City hadir dengan kisah yang lebih dramatis. Probabilitas Leicester menjadi juara adalah 1:5000 atau sekitar 0,02% atau sekitar 35 kali lebih kecil dari peluang yang dimiliki Yunani. Jika kapasitas stadion Wembley adalah 90.000, maka hanya ada 18 orang yang yakin Leicester - yang juga tidak memiliki pemain bintang, bahkan sebagian besar belum pernah saya dengar sebelumnya - dapat menjuarai Premier League, bayangkan betapa sedikitnya! Bahkan beberapa media sepakbola terkemuka seperti ESPN pada awal musim menjagokan Leicester City menjadi tim pertama yang terdegradasi (lihat pada tautan ini). Perjuangan yang ditempuh sama sekali tidak mudah sebelum akhirnya Wes Morgan beserta kawan-kawannya mampu membalikan keraguan ini hingga di akhir April hanya 1 dari 20 orang yang meragukan Leicester dapat merengkuh gelar juara untuk kali pertama.
Sumber: twitter.com/marcwebber (klik di sini)
Epic. Barang kali itu kata yang pantas menggambarkan semua perjalanan bersejarah ini. Bisa jadi, momen ini akan menjadi tonggak bagi kebangkitan klub-klub medioker untuk dapat bersaing dengan klub elit dalam perebutan tahta juara di musim-musim mendatang. Namun tidak menutup kemungkinan kisah Leicester menjadi serupa dengan kisah Blackburn Rovers dan Deportivo La Coruna yang menjadi penghias singkat gemerlap panggung sepakbola. Tapi setidaknya, Leicester City telah memberi bukti nyata bahwa ketekunan dan konsistensi dalam berjuang adalah resep utama meraih kejayaan dalam popularitas cara instan dewasa ini. Leicester City juga telah menjadi pengingat bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam sepakbola meski peluang untuk bisa terwujud amat kecil. Saya pribadi memiliki harapan agar dongeng Sang Rubah yang tak kalah dari film Facing the Giants atau Goal! ini dapat turut diangkat ke layar lebar untuk menjadi pengigat bagi setiap penyuka olahraga si kulit bundar bahwa harapan selalu ada, baik dalam sepakbola maupun dalam hidup. Akhir kata, selamat untuk Leicester City!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI