Mohon tunggu...
Brina👸
Brina👸 Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Just a girl

Menulislah sebab kegelisahan yang kamu rasa. Sebab tidak semua orang mampu mengerti ucapanmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelukan Malam Itu

31 Januari 2019   00:04 Diperbarui: 31 Januari 2019   00:33 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Biar Mama aja yang ngomong

Sebuah status WhatsApp melintas di kolom statusku. Tidak kubalas apa yang akan ia lakukan. Lagipula untuk apa aku bertanya perihal urusan yang bukan urusanku. Hanya akan membuatnya merasa risih mungkin. Walau sebenarnya ada pertanyaan yang ingin kulontarkan padanya.

Ah sudah, aku tidak lagi memikirkan perihal status WhatsApp itu. Aku ingat, malam itu akan ada pertemuan yang luar biasa.

Aku segera merapikan hijabku, memakai pakaian yang sederhana dihiasi dengan bros pita hitam di pundak bagian kiriku. Yeaah aku sudah siap mengikuti acara malam ini.

Saat aku hendak membuka pintu kamar, belum juga kusentuh, di balik pintu sudah ada anak kecil memanggil namaku dengan berteriak-teriak.

"Mbak.. Mbak.. ado yang nyari" suara mungil dengan wajahnya yang cantik dan berbahasa Palembang. Anak usia sekitar 4 tahun itu memegangi rok yang kupakai. Ditarik-tariknya rok hitamku.

"Iyo dek, bilangin yo samo yang nyari. Mbak bentar lagi nak kesano" ucapku pelan sambil memegang lembut kedua pipi anak kecil itu.

"Iyo mbak" ia pun berlalu. Aku segera menutup pintu kamar.

Langkah kaki seakan mendukung apa yang hendak kulakukan malam ini. Belum sempat sampai ke pintu depan lorong kamar. Seorang ibu yang terlihat lebih tua dari ibuku, tiba-tiba ia memeluk dan menciumku.

"Neng, beneran mau pulang? Nanti gak ada lagi yang ketawa-ketawa polos kayak neng" matanya berkaca-kaca. Seakan tidak percaya bahwa aku akan segera meninggalkan kota yang sangat kucintai ini.

"Iya bu, insyaAllah" meski biasanya aku menggunakan bahasa Palembang juga, tapi kali ini aku malu, aku rasa kurang sopan jika memakai bahasa Palembang "doakan neng ya bu, mudah-mudahan Allah paring kelancaran dalam kepulangan nanti" aku kembali berkaca-kaca.

"Iya Neng," ujar ibu itu sambil mengusap air bening di pipinya "ini ada sedikit bingkisan buat Neng, sama titipan dari Mas Bebeb"

Mas Beb memang pernah bercerita padaku, ada sesuatu yang ingin ia berikan padaku. Tapi tidak spesial, karena tidak pakai telur, daging dan bumbu lainnya. Kupikir itu makanan, karena kebetulan saat Mas Beb bilang, aku lagi lapar. Cuman, dianya aja gak peka.

"Iya bu, terimakasih banyak. Maaf selama disini selalu merepotkan ibu, atau mungkin banyak perkataan Neng yang menyakiti. Neng minta maaf" aku benar-benar tidak bisa lagi mengatakan hal yang sebenarnya ingin kukatakan padanya.

"Sudah-sudah," ibu itu memelukku lagi dengan lebih erat dari pelukan tadi. Terkesan seperti film-film romantis gitu. Seperti menantu dengan mertua (huwaa,ngarep) haha

"oh ya, nanti di forum ibu-ibu, ibu mau bacain surat Al-Mulk spesial buat Neng, boleh kan? Biar saat Neng udah gak disini, saat ibu membaca surat itu, atau Neng membaca surat itu, kita bisa sama-sama saling mengingat" ujar ibu itu sambil tersenyum seakan menahan air mata yang hendak keluar.

Mendengar ucapan ibu itu, aku merasakan hal yang berbeda. Ia begitu sayang padaku. Bahkan orang-orang yang biasa dekat denganku pun tidak seperti itu. Baru inilah ada orang yang begitu sangat sayangnya padaku. Padahal aku siapa? Aku hanya anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Bahkan caraku bergaul pun masih sangat kurang tatakramanya. Tapi beliau, aaah sudahlah. Aku jadi nangis.

Saat beliau berkata itu. Aku membayangkan, dan aku tidak percaya bahwa secepat itu aku akan meninggalkan kota ini. Oh Tuhan, ini sangat menyakitkan untukku.

"Iya bu. Syukron" aku berterimakasih yang kesekian kalinya. Aku menunduk, terdiam dan air mata turun dengan liarnya di pipiku.

Tiba-tiba pelukan hangat itu mendarat di tubuhku yang dingin. Beliau mencoba menenangkan hatiku, entah mungkin beliau pun merasakan apa yang saat itu bergejolak dalam hatiku.

"Sudah Neng, insyaAllah kita akan bertemu lagi. Tidak usah sedih. Ini mungkin jalan yang terbaik untuk Neng, kalau sudah disana, ibu bisa mengingat Neng dengan membaca Al-Qur'an" tangan beliau mengelus kepalaku dengan lembut.

***

Terlalu indah

Sulit bagiku menuangkannya

Terlalu sesak

Sakit bagiku merasakannya

-------------------------------------------------------

To be continue,.

-28111

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun