Sebelum akhirnya kita sama-sama saling melupa, kamu begitu erat menggenggamku. Perlahan mulai renggang, lalu kamu benar-benar melepaskan genggaman itu. Sebenarnya, aku tidak ingin itu terjadi. Aku selalu berusaha berlama-lama disampingmu. Berpikir keras mencari topik pembicaraan. Kadangkala aku melihat kembali chating kita di WhatsApp, tidak ada yang membahas hal yang serius. Kalaupun ada, bisa di hitung dengan jari.
Aku senang bisa tertawa bersamamu. Meski sekarang kamu suka menghilang dengan tiba-tiba. Kadang aku rindu. Mau nanya kamu kemana seharian ini, tapi aku sadar diri, aku siapamu? Aku tidak berhak untuk hal itu. Dalam hati ingin sekali bertanya tentang hubunganmu dengan seseorang yang pernah kamu ceritakan padaku. Seseorang yang katamu paling kamu cintai. Seseorang yang katamu banyak sekali yang menginginkannya.
Aku rindu mendengarmu marah-marah karena cemburu. Aku rindu sifat gak jelas kamu yang kamu gunakan untuk menghiburku. Aku rindu dibuat kesal dengan semua tingkah konyolmu. Aku rindu segalanya tentang kamu. Sesak rasanya ketika aku sadar bahwa kamu mulai tidak memprioritaskan aku. Tersayat rasannya saat kutahu kamu mulai berhubungan lagi dengannya. Seseorang yang dengan sangat lantang mengatakan benci pada kehadiranku. Maaf atas kata-kataku yang pernah menyakitimu.
Terimakasih atas kesempatan untuk mengenal hingga sejauh ini. Terimakasih untuk banyak hal yang kamu berikan padaku. Aku masih tetap disini menanti kamu kembali. Datanglah padaku jika kamu merasa rapuh. Aku masih menerimamu dengan utuh.
Sumedang, 15 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H