Wilayah lautan dan pesisir termasuk pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beragam dan memiliki peran penting sebagai penyangga ekonomi, sosial, lingkungan, serta budaya. Dengan potensi tersebut, menjadikan semakin meningkatnya upaya pengelolaan sumber daya pesisir dan laut oleh banyak pihak.Â
Namun disisi lain menimbulkan kekhawatiran terhadap metode pengelolaan yang kurang berwawasan lingkungan dan penggunaan teknologi yang tidak tepat, sehingga dapat menimbulkan degradasi wilayah pesisir dan laut itu sendiri. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan bagi sebagian orang belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Tentu hal tersebut akan mempengaruhi kondisi dan kelestarian sumber daya kelautan yang ada.
Jika diperhatikan lebih jauh, berbagai persoalan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir, di antaranya: Peraturan perundangan yang ada membatasi daerah dalam menetapkan suatu kebijakan pengelolaan, sebagaimana kondisi saat ini di mana kewenangan daerah untuk pengelolaan wilayah pesisir di level kabupaten/kota sudah tidak diberikan lagi; Pemanfaatan yang cenderung bersifat sektoral sehingga terkadang kita temui kebijakan yang overlap; Adanya konflik pemanfaatan antar beberapa stakeholders, sebagai contoh kawasan konservasi yang harus dirasionalisasi untuk kebutuhan pembangunan seperti pelabuhan.Â
Tantangan lainnya yang tidak kalah penting adalah kualitas Sumber daya Manusia (SDM) khususnya di wilayah pesisir. Mayoritas masyarakat pesisir masih ketergantungan terhadap sumber daya pesisir dan laut yang sering kali melakukan kegiatan yang menurunkan kualitas sumber daya alam sebab tidak dibarengi dengan pengetahuan terhadap IPTEK, seperti penebangan dan konversi mangrove ataupun penangkapan ikan dengan menggunakan alat yang merusak ekosistem.
Seluruh potensi sumber daya kelautan yang ada baru dapat di maksimalkan untuk kepentingan yang lebih luas jika didukung dengan pembangunan infrastruktur yang memadai.Â
Oleh karena itu pemerintah saat ini memiliki kebijakan yang cukup berpihak ke sektor maritim dengan merumuskan visi pembangunan yang berbasis maritim dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Hal tersebut cukup berdasar melihat Indonesia yang juga memiliki potensi maritim berupa perairan yang dijadikan salah satu perlintasan internasional, dimana lokasi kepulauan nusantara merupakan persilangan alur lalu lintas laut yang menghubungkan benua bagian Timur dan Barat. Diharapkan dengan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia akan mendorong optimalisasi pembangunan disektor kelautan dan perikanan.Â
Fahmi (dalam Hasbullah, 2022) menjelaskan pilar utama agenda pembangunan maritim Presiden Joko Widodo, meliputi: Pertama, membangun kembali budaya maritim Indonesia; Kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama; Ketiga, komitmen untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, pelabuhan laut dalam, industri logistik dan pelayaran, serta pariwisata bahari; Keempat, diplomasi maritim yang mengajak seluruh mitra Indonesia untuk bekerja sama di sektor maritim; Kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia harus membangun kekuatan pertahanan maritim.
Pilar utama pembangunan maritim tersebut menggambarkan besarnya potensi maritim yang dimiliki Indonesia, untuk itu pemanfaatan sumberdaya laut dan potensi maritim yang ada akan dapat dimaksimalkan melalui konsep blue economy yang tidak terfokus hanya pada ekploitasi saja tetapi juga menjaga keberlanjutan potensi dan sumberdaya yang ada. Blue economy adalah proses dimana bahan baku berasal dari alam dan proses produksi mengikuti cara alam bekerja.Â
Blue economy merupakan salah satu alat yang dapat digunakan memperbaiki perekonomian saat ini dengan lebih memperhatikan sustainability. Konsep yang dikembangkan untuk menjawab tantangan system ekonomi dunia yang cenderung eksplotatif dan merusak lingkungan sebab melebihi kapasitas dan daya dukung lingkungan. Blue economy merupakan perkayaan dari konsep green economy dengan semboyan "Blue Sky -- Blue Ocean" dimana Ekonomi tumbuh, rakyat sejahtera, namun langit dan laut tetap biru (Ilma, 2016).
Konsep yang sudah ada baik itu blue economy maupun ICZM, tidak akan terwujud jika tidak ditopang dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan manajemen professional secara tepat dan benar. Hal tesebut disampaikan oleh Prof. Ir. Widi A. Pratikto, MSc., PhD dalam acara Profesor Summit ITS di Surabaya beberapa waktu lalu. Persoalan pengelolaan sumber daya alam baik di darat maupun di laut masih cenderung bersifat merusak dan tidak mengedepankan keberlanjutan ekosistem, hal tersebut mencermikan penerapan IPTEK yang kurang maksimal sehingga dibutuhkan peran berbagai pihak, utamanya dunia pendidikan untuk mendukung pemanfaatan dan pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) melalui IPTEK dan manajemen professional.
World Bank dalam The Potential of The Blue economy mendefinisikan blue economy merupakan model pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta pelestarian lingkungan yang mencakup berbagai sektor diantaranya perikanan, budidaya perairan, pariwisata, dan energi terbarukan (De et al., 2017). Model tersebut diarahkan untuk menciptakan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya laut dan pelestarian ekosistem. Konsep blue economy dikemukakan pertama kali oleh Prof. Gunter Pauli dalam bukunya yang berjudul The Blue Economy, 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs, yang menggambarkan potensi manfaat teorinya bagi perlindungan lingkungan hidup komunitas dunia, pelestarian sumber daya alam, pengalihan konsumsi energi hijau, bersih, hasil daur ulang atau terbarukan sebagai inisiatif pengurangan biaya industri.
Terdapat beberapa prinsip dalam model kebijakan ekonomi biru menurut (Rani. F & Cahyasari. W, 2015): pertama, nature's efficiency yang berarti ekonomi biru bekerja sesuai dengan yang disediakan oleh alam dengan efisien dengan tidak mengurangi melainkan memperkaya alam; kedua, zero waste dimana limbah yang dihasilkan dari satu aktivitas menjadi sumber energi bagi yang lain sehingga sistem kehidupan dalam ekosistem menjadi seimbang, energi didistribusikan secara merata tanpa ekstraksi energi eksternal. Bekerja dengan efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrient dan energi tanpa meninggalkan limbah, mendayagunakan seluruh stakeholders dan memenuhi kebutuhan dasar bagi semua.
Salah satu bentuk pengeloaan sumber daya kelautan yang mengimplementasikan konsep blue economy adalah Ekowisata Bahari (Marine Eco Tourism) yang merupakan aktivitas wisata bahari yang bersifat informatif dan partisipatif dengan tujuan menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Pengembangan marine eco tourism tidak akan dapat terealisasi tanpa dukungan seluruh pihak baik itu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Pengembangan SDM juga harus dilakukan seperti pendidikan dan pelatihan untuk menambah wawasan terkait konservasi, inovasi pengolahan limbah, dan kegiatan ramah lingkungan lainnya. Evaluasi juga harus dilakukan secara berkala untuk memantau manfaat dan kendala yang dihadapi.
STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematic) merupakan istilah yang pertama kali diluncurkan oleh National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat pada sekitar tahun 1990-an sebagai gerakan reformasi pendidikan untuk menumbuhkan angkatan kerja bidang-bidang STEM itu sendiri. Terdapat empat disiplin STEM yaitu: pertama, sains memungkinkan kita untuk mengembangkan minat dan pemahaman terhadap dunia, materi, fisik serta keterampilan kolaborasi, penelitian, sikap kritis, dan ekperimen. Kedua, Teknologi berbagai bidang yang melibatkan penerapan pengetahuan, keterampilan, serta berfikir komputasi untuk meningkatkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan. Ketiga, Enggineering yakni keterampilan dan pengetahuan untuk mendesign dan mengkonstruksikan peralatan dan proses yang bermanfaat untuk menemukan Solusi pada setiap persoalan. Terakhir adalah Matematika untuk membekali dengan keterampilan yang diperlukan dalam menafsirkan dan menganalisis informasi, menyederhanakan masalah, menghitung resiko, membuat keputusan berdasarkan informasi dan memahami dunia disekitar melalui pemodelan masalah abstrak dan konkret.
Pendekatan STEM untuk mendukung pembangunan berkelanjutan seyogyanya menjadi salah satu program priotitas dalam berbagai jenjang dunia pendidikan utamanya di perguruan tinggi. Sehingga dengan begitu dunia pendidikan akan mencetak professional yang dapat mengaplikasikan seluruh komponen STEM yang diperoleh pada pembelajaran disiplin ilmu pengetahuan alam (sains), teknologi, hasil rekayasa, dan matematika di dunia nyata.
Pengelolaan sektor kelautan dan perikanan dapat dikatakan sebagai sumber pertumbuhan baru di Indonesia yang selama ini lebih terfokus pada pengelolaan sumber daya di daratan. Untuk itu penerapan STEM menjadi sangat penting untuk dapat menciptakan pengelolaan yang berdaya saing dengan berbasis teknologi namun tetap mengutamakan keberlanjutan ekosistem. untuk itu dituntut adanya peningkatan sumber daya manusia yang sadar teknologi utamanya masyarakat di wilayah pesisir. peningkatan SDM masyarakat dan stakeholders lainnya merupakan kebutuhan utama sebuah sebagai negara maritim untuk dapat menjaga dan memanfaatkan semua potensi kelautan.
Salah satu contoh penerapan teknologi dalam pengelolaan SDA kelautan adalah penggunaan teknologi Vessel Monitoring System (VMS) untuk mendukung pelaksanaan Monitoring Control and Surveillance (MCS), sebuah teknologi informasi yang bebasis radio yang diharapkan dapat memaksimalkan pengawasan diwilayah laut. Teknologi VMS telah banyak dipergunakan di banyak negara untuk dapat meminimalisir praktik penangkapan ikan illegal dan tidak sesuai dengan aturan yang ada atau dikenal dengan istilah IUU (Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing.
Pendekatan STEM juga sudah dlilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam upaya penyusunan neraca sumberdaya laut untuk memperhitungkan nilai ekonomi ekosistem khususnya di kawasan konservasi. Selain itu terobosan baru juga sudah dilakukan dengan pengelolaan sumberdaya energi baru dan terbarukan (EBT), yaitu sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Salah satunya adalah teknologi pemanfaatan energi laut (arus, gelombang, OTEC, dll) menjadi energi listrik. teknologi tersebut bertujuan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan listrik hingga ke daerah terpencil.
Inovasi dibidang IPTEK juga telah dilakukan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember- Surabaya, dengan mengembangkan struktur terapung budidaya lepas pantai untuk budidaya ikan. Struktur tersebut dikenal dengan "Ocean FarmITS" yang dirancang sesuai dengan karakteristik kondidi lepas pantai Indonesia. Konsep tersebut memadukan aspek budidaya ikan dengan wisata bahari, dimana jaring berada di dalam laut untuk budidaya ikan sementara di struktur bagian atas untuk wisata bahari.
Pada dasarnya pendekatan STEM sudah mulai diterapkan dalam pengelolaan sumber daya kelautan, namun diperlukan adanya inovasi-inovasi baru dimana hal tersebut juga bergantung pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu, dunia pendidikan utamanya perguruan tinggi harus bisa mencetak generasi yang berkualitas dan sadar teknologi sehingga pengelolaan sumber daya laut dapat dilakukan secara mandiri namun tetap berdaya saing.Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H