Mohon tunggu...
Brilian Sisna Aristawati
Brilian Sisna Aristawati Mohon Tunggu... Lainnya - SMA Negeri 2 Madiun

regular writer.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Langgam Jawa Representasi Musikal Lokal Layak Eksplorasi

23 Oktober 2023   18:50 Diperbarui: 23 Oktober 2023   19:03 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instrumen Diatonis Pengiring Keroncong (Sumber: Kemdikbud)

Bangsa Indonesia sedari dulu santer akan diversitas jenis musiknya. Tren musik yang digandrungi di Indonesia bervariasi dari generasi ke generasi. Mulai dari musik tradisional bernuansa sakral dalam upacara atau ritual adat, musik rakyat untuk pernainan seperti "Cublak-Cublak Suweng" karya Sunan Giri, hingga lahirnya aliran musik lokal baru seperti dangdut. Aneka ragam musik Indonesia ini merupakan warisan budaya yang tak ayal lagi kian tergerus globalisasi dan modernisasi. Salah satu genre musik yang layak kembali mendapat sentralisasi perhatian pecinta musik lokal adalah langgam Jawa. Melalui liriknya yang kaya gaya bahasa dan cara penggambaran cerita yang unik, membuat musik langgam Jawa menarik didalami lebih lanjut. Dengan pengenalan edukasional mengenai aliran musik ini, diharapkan mampu memantik kesadaran, rasa cinta dan turut memiliki terhadap langgam Jawa.

Langgam Jawa merupakan warisan musik tradisional berharga yang mengakar dari corak budaya asli Jawa. Dilihat dari struktur musiknya, langgam Jawa berbagi kemiripan dengan aliran musik keroncong yang memiliki pakem 32 birama, tempo ketukan 4/4, serta rima A-A-B-A (Bagas Wahyu Prasetyo, 2015: v). Mengacu pada Marga Riasetyani Septia (2013), perbedaan menonjol dari kedua genre tersebut yaitu penggunaan tangga nada. Keroncong menggunakan tangga nada diatonis yang tersusun dari 7 nada pokok, Do-Re-Mi-Fa-Sol-La-Si. Sementara langgam Jawa bertangga nada pentatonis dengan 5 nada utama, Do-Re-Mi-Sol-La. Sehingga langgam Jawa hanya bisa diiringi oleh instrumen pentatonis seperti gamelan Jawa. Sedangkan instrumen diatonis pengiring keroncong lebih bervariasi seperti biola, seruling, ukulele, bass, dan cello.  

Instrumen Diatonis Pengiring Keroncong (Sumber: Kemdikbud)
Instrumen Diatonis Pengiring Keroncong (Sumber: Kemdikbud)

Menilik dari kacamata sejarah, langgam Jawa diperkirakan lahir pada periode pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Kerajaan yang didirikan oleh Raja Sanjaya pada abad ke-8 Masehi itu sempat mendominasi di bidang maritim dan agraris disebabkan lokasinya yang dialiri banyak sungai. Langgam Jawa terus berkembang hingga abad ke-10 Masehi dengan kekhasan dan elemen-elemen unik dari aliran musik ini yang kian menonjol. 

Kemudian, memasuki abad ke-13, muncul perkembangan langgam Jawa terintegrasi seiring berdirinya kerajaan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur. Kerajaan ini mencapai puncak keemasan pada masa kepemimpinan Hayam Wuruk. Seni dan budaya khas Jawa dengan pesatnya berkembang. Hal ini dipicu faktor perhatian raja terhadap bidang seni budaya, baik itu kesusastraan, seni rupa, maupun seni musik. Masyarakat juga diberi kebebasan dalam mengembangkan seni budaya sesuai kreativitas tanpa perlu menunggu persetujuan pihak kerajaan Majapahit. Dalam konteks kultural, langgam populer pada era ini adalah "Langgam Majapahit". Musik ini menjadi pengiring pelbagai ritual kerajaan, upacara keagamaan Hindu-Buddha, serta ragam kegiatan berbasis kebudayaan lainnya. 

Bergeser ke era kolonial, aliran musik langgam Jawa mulai terpapar pengaruh bangsa Barat, salah satunya Fado, musik kerakyatan dari Portugis. Penambahan instrumental musik bertangga nada diatonis melahirkan aliran musik baru yang selanjutnya disebut keroncong. Selain itu, banyak masyarakat Tionghoa datang ke Indonesia untuk berdagang. Mereka lalu menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi, beberapa sampai berkeluarga. Hal ini mengakibatkan akulturasi budaya, tak luput pula di bidang musik. Unsur Tionghoa terlihat dari instrumen musiknya seperti konghayan, tehyan, dan sukong dipadukan dengan gambang dan kromong menjadi orkestra gambang kromong.

Langgam Jawa memiliki lirik yang puitis dan sarat maknawi. Penikmat lagu perlu menelaah terlebih dahulu liriknya guna memaknai isi lagu. Tidak seperti kebanyakan lagu Jawa modern yang telah tercampur bahasa Indonesia dengan makna harfiah. Tanpa kajian mendalam, pendengar pun bisa memahami maksud lagu. Kandungan unsur sastra dalam langgam Jawa tidak lepas akan keterkaitannya dengan "tembang", yakni puisi Jawa klasik yang dilagukan dengan iring-iringan musik tradisional Jawa. Salah satu bentuk tembang adalah "kidung" yang kental dengan unsur Jawa Tengahan. Melalui untaian liriknya, musik langgam Jawa tidak hanya menyuguhkan nilai estetika dan hiburan, namun juga menyelipkan pesan moral dibarengi nilainilai etikal yang berporos pada realita kehidupan. 

Instrumen pengiring langgam Jawa terdiri dari ragam alat musik tradisional Jawa yang mewarnai kekhasan melodinya. Instrumen tersebut adalah gamelan, perpaduan sejumlah alat musik (ansambel) yang tersusun dari beragam jenis gong (kenong, bonang), metalofon (gender, saron), serta perkusi (kendang). Kenong biasa berpasangan dengan kempul. Keduanya merupakan gong berbentuk kecil dengan suara jernih yang menjaga ritme lagu. Gong berukuran besar disebut gong ageng, penanda pembukaan dan penutupan pertunjukan yang memberikan efek dramatis dari suara tabuhannya. Ada pula kendang alat musik membranofon berlapis kulit sapi yang memberi dinamika serta keteraturan tempo pada musik. Instrumen yang tak kalah penting ialah gender yang bernada menghentak dan cerah. Selain itu, ada instrumen bonang. Terbagi menjadi bonang panerus dan bonang barung. Bonang panerus bernada satu oktaf lebih tinggi dibandingkan bonang barung. Dalam langgam Jawa, terdengar pula melodi seruling, yaitu alat musik tiup dari bambu yang mendayu-dayu. Tak lupa kehadiran siter sebagai instrumen petik penambah sentuhan nuansa elok dan tenang dalam musik langgam Jawa. Perbedaan ukuran, bentuk, dan nada pada ansambel gamelan menjadi penyeimbang harmoni. Melalui diversitas instrumennya, langgam Jawa mampu mengungkapkan emosi yang kompleks nan kaya. 

Instrumen Pentatonis Pengiring Langgam Jawa (Sumber: Wikipedia)
Instrumen Pentatonis Pengiring Langgam Jawa (Sumber: Wikipedia)

Langgam Jawa lebih dari sekadar musik, melainkan bentuk ekspresi budaya yang kuat dan mendefinisikan aspek penting kehidupan masyarakat Jawa. Karenanya, langgam Jawa memiliki fungsi kontekstual bergantung penggunaannya. Dalam upacara bernilai sakral, langgam Jawa membangun kekhusyukan dan kekhidmatan acara. Seperti halnya upacara pernikahan yang diiringi lagu "Nyidam Sari" karya musisi Manthous. Begitu pula ritual keagamaan, contohnya upacara Tetaken di Pacitan yang diiringi langgam Jawa "Gunung Limo". Langgam Jawa juga tak lepas dari seni pertunjukan. Dimulai dari "Gending Sriwijaya" yang kerap digunakan sebagai pembuka wayang kulit, "Gatotkaca Winisuda" dalam seni ketoprak bertemakan epos Mahabharata, "Ladrang" yang muncul dalam ludruk bertema klasik, hingga "Gending Kethuk Tilu" untuk Tari Jathilan yang energik, bersemangat, dan rancak. Di samping itu, langgam Jawa punya esensi menghibur yang mendatangkan kesenangan dan difungsikan dalam acara-acara inforrmal sebagai bagian proses sosialisasi masyarakat. 

Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwasanya era globalisasi telah mengantarkan musik langgam Jawa ke ambang ancaman kelestarian serius. Kemajuan teknologi menawarkan kemudahan dalam akses informasi dan komunikasi baik ruang lingkup regional maupun global. Musik populer dan modern mancanegara kini merajai ranah media sosial yang menggeser preferensi musikal masyarakat. Genre musik modern seperti halnya EDM (Electronic Dance Music), hip-hop hingga aliran alternatif dinilai lebih menarik. Selain karena nadanya yang mudah diingat, dari segi promosional kepada khalayak ramai juga lebih getol ketimbang pemasaran musik tradisional. Faktor lainnya ialah kurangnya curahan perhatian pemerintah terhadap pengembangan seni budaya tradisional. Dibuktikan dengan minimnya dukungan finansial yang dialokasikan pada seniman dan pengelola sanggar musik tradisional. Peran lembaga budaya yang belum optimal dalam menyosialisaikan edukasi peningkat kesadaran berbudaya, spesifiknya mengenai musik tradisional, pengadaan festival maupun pertunjukan musik daerah yang mampu dihitung jari, ditambah rendahnya partisipasi rakyat dalam pengembangan dan penyebarluasan langgam Jawa, mengakibatkan penyusutan minat secara drastis terhadap genre musik ini. Imbasnya, pendengar langgam Jawa akan dicap "ketinggalan zaman" yang memunculkan stereotipe dan stigma negatif dalam pergaulan. 

Tergerusnya kejayaan langgam Jawa sebagai warisan musikal lokal memberikan pengaruh signifikan terhadap jati diri dari aspek budaya masyarakat Jawa. Mengingat langgam Jawa merefleksikan keunikan budaya tradisional Jawa yang berakar dari nilai moral dan budi pekerti nan luhur, tradisi turun-temurun, serta bertautan erat dengan asal-usul dan sejarah suku Jawa. Tunas bangsa yang kehilangan warisan budayanya sama halnya dengan putus kontak terhadap fondasi budayanya sendiri. Terhapusnya pemahaman filosofis mengenai makna dan nilai etis karya musik juga turut memudarkan aplikasi tata krama serta etika dalam bersosialisasi di masyarakat. Selain itu, keahlian mengekspresikan emosi melalui karya musik lokal maupun keterampilan memainkan alat musik tradisional semakin menurun kualitasnya seiring bertambahnya generasi. Ikatan kebersamaan antar warga yang dibangun atas dasar apresiasi musikal tradisional juga semakin jarang dijumpai kecuali pada sejumlah acara akbar. Bila langgam Jawa secara berkesinambungan diabaikan tanpa usaha pelestarian, maka pesonanya yang atraktif di mata turis domestik luar Jawa maupun mancanegara akan tersiasiakan. Padahal, langgam Jawa berpotensi besar sebagai daya tarik pariwisata budaya musikal yang memungkinkan berimbas pada peningkatan ekonomi pengusaha lokal di sekitar lokasi sektor tersebut. 

Lantas, tanggung jawab kita dalam merestorasi warisan budaya langgam Jawa yang prestisius ini tentu dimulai dari meningkatkan pemahaman fundamental bahasa Jawa melalui melek literasi. Seperti yang kita ketahui, bahasa Jawa terbagi menjadi basa Jawa kawi (kuno) dan basa Jawa gagrag anyar (modern). Melalui langgam Jawa, kita mampu memperluas kosa kata bahasa Jawa kawi yang kurang familiar dan berangsur-angsur terlupakan dalam percakapan keseharian. Melatih familiaritas terhadap bahasa Jawa diimbangi dengan aktif menggali artikel, jurnal, literatur, dan sumber-sumber tekstual kredibel lainnya yang berbahasa Jawa. Menghadiri seminar dengan pembicara pakar di bidang musik langgam Jawa juga mampu memperlebar wawasan dan pengetahuan kita terkait sastra Jawa. Mulai meningkatkan apresiasi terhadap musik tradisional dengan menghadiri pertunjukan sastra lisan yang melibatkan unsur musik langgam Jawa seperti wayang kulit, ludruk, dan ketoprak. Menonton penampilan pemusik langgam Jawa dan mendengarkan lagu-lagu karya mereka juga merepresentasikan sifat apresiatif terhadap warisan budaya. 

Pagelaran Wayang Kulit diiringi Langgam Jawa (Sumber: iNews Jateng)
Pagelaran Wayang Kulit diiringi Langgam Jawa (Sumber: iNews Jateng)

Kita bisa turut mempromosikan langgam Jawa agar menjangkau audiens lebih luas melalui dokumentasi penampilan langgam Jawa. Penampilan bisa berbentuk nyanyian maupun dipadukan dengan seni pertunjukan lainnya, yang kemudian diunggah ke sejumlah platform media sosial berupa video pendek yang digemari anak muda. Dapat pula disertai informasi singkat mengenai penjelasan makna liriknya. 

Proses kreatif kolaborasi budaya tidak sampai di situ saja, melainkan dapat dikreasikan lewat proyek penggabungan elemen tradisional dan modern. Contohnya proyek kolaboratif antara musisi tradisional Jawa dengan musisi Jawa modern. Tentunya ini tak lepas dari peran pemerintah dalam mendanai organisasi dan seniman pelestari musik langgam Jawa sebagai bentuk komitmen pelestarian warisan budaya, diikuti perlindungan terhadap praktik budaya tradisional seperti upacara keagamaan yang melibatkan musik langgam Jawa. 

Proyek yang telah sukses mengintegrasikan elemen sastra dan musikal dari langgam Jawa salah satunya adalah Yogyakarta Gamelan Festival. Merupakan festival tahunan yang diselenggarakan oleh Komunitas Gayam 16 dengan berbagai komunitas gamelan lainnya dan mahasiswa yang turut berpartisipasi. Proyek ini terbagi menjadi Gaung Gamelan dan Pupuh Tabuh yang bertujuan memperkenalkan langgam Jawa melalui kombinasi pembacaan puisi klasik Jawa diiringi musik langgam Jawa. Perpaduan puisi yang sarat makna filosofis, sejarah dan budaya melebur sempurna dengan ansambel gamelan yang mewakili nuansa tiap puisi melalui untaian nadanya. Adapun festival ini telah memanen apresiasi dan dukungan masyarakat maupun pemerintah daerah. Tak ketinggalan, media lokal bahkan internasional turut menyorot proyek seni ini. Proyek Yogyakarta Gamelan Festival sangat inspiratif sebagai wujud upaya pelestarian langgam Jawa dan merayakan kekayaan budaya musikal Indonesia. 

Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) (Sumber: InfoPublik)
Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) (Sumber: InfoPublik)

Peran andil generasi muda dalam pelestarian langgam Jawa cukup krusial dan berdampak signifikan, baik di masa kini maupun masa mendatang. Seperti yang kita ketahui, langgam Jawa bersumber dari aspek moral, sejarah, dan tradisi turun-temurun masyarakat Jawa yang berfungsi membentuk jati diri sebagai cerminan kualitas persona etnis Jawa. Sudah sepatutnya, generasi muda memiliki rasa bangga terhadap budaya aslinya dan mencegah langgam Jawa dari kepunahan. Dengan berusaha melestarikan langgam Jawa, secara tidak langsung, generasi muda juga mengasah keterampilan berbahasa, kecerdasan musikal, serta kecakapan seni teatrikal. Melalui upaya konservasi yang tepat, langgam Jawa akan terus hidup untuk menyalurkan serangkaian manfaat bagi anak cucu kita ke depannya. 

Adapun cara menggugah kesadaran pemuda dalam melestarikan langgam Jawa dapat dimulai dari lingkup pendidikan. Misalnya dalam materi pembelajaran bahasa Jawa disinggung mengenai sejarah, contoh lagu dan analisis struktur lagu langgam Jawa. Kemudian dalam pembelajaran seni musik, mengulik teknik permainan instrumen pengiring langgam Jawa, serta teknik vokal dalam menyanyikannya. Lebih mengerucut, sekolah bisa membuka ekstrakurikuler khusus mempelajari menyanyi lagu Jawa tradisional dan belajar memainkan gamelan, seperti ekstrakurikuler karawitan. Pada lingkup luar sekolah, komunitas budaya dapat mengadakan pelatihan terkait pendalaman langgam Jawa yang ditujukan khusus untuk mudamudi. Lebih luas, perlu diadakan kegiatan sosial seperti pengadaan festival, pertunjukan, maupun kontes yang menghadirkan kolaborasi generasi tua dengan generasi muda. Hal ini akan memberikan hiburan positif terhadap masyarakat serta memberi kesempatan pemuda untuk tampil di ranah publik. Terjadi pula transfer pengetahuan antar generasi yang berkontribusi dalam kelanggengan pelestarian langgam Jawa. 

Perlu diingat, sastra memainkan peran integral dalam menjembatani kita dengan warisan budaya langgam Jawa, dimana sastra menjadi alat penyampai pesan, cerita, dan nilai budaya yang mengakar kuat pada langgam Jawa. Marilah kita sebagai generasi muda, berpartisipasi secara aktif dalam membudayakan langgam Jawa. Pastikan musik lokal senantiasa bersinar dan menjadikannya bernilai tambah baik di mata domestik maupun mancanegara dari generasi ke generasi. Semua ini dapat terwujud melalui peran serta instansi pendidikan, kontribusi nyata generasi tua hingga muda, seni pertunjukan dan festival budaya, serta kreativitas kita dalam mengkreasikan, mengolah dan mengembangkan langgam Jawa menjadi lebih menarik dan tak lekang oleh zaman. Dengan ini, diharapkan kita dapat merestorasi kejayaan musik langgam Jawa dan menjaga terang pijarnya warisan budaya musikal lokal dalam kehidupan.

---

REFERENSI: 

Prasetyo, B. W. (2015). Pembawaan Lagu Nyidam Sari Dalam Musik Keroncong (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta). 

Marga Riasetyani, S. (2013). Analisis Teknik Permainan Cello Dalam Langgam Jawa Yen Ing Tawang Ono Lintang (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta). 

Noryuliyanti, N., Isawati, I., & Abidin, N. F. (2021). Perkembangan Musik Keroncong Langgam di Solo (1950-1991). Diakronika, 21(2), 136-156. 

Ganap, V. (2006). Pengaruh Portugis pada musik keroncong (Portuguese influence to kroncong music). Harmonia: Journal Of Arts Research and Education, 7(2). 

Sugihartati, R. (2019). Gambang Kromong sebagai Identitas Orang Cina Benteng. Jurnal Desain, 6(02), 129-144. 

Pariwisata, D. (2018). Gamelan Jawa, Seni Musik. http://encyclopedia. jakarta-tourism. go. id. 

Axiaverona, R. G. (2017). Nilai Sosial Budaya dalam Upacara Adat Tetaken (Studi Deskriptif Upacara Adat Tetaken di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan). 

Brandon, J. R. (1967). Theatre in Southeast Asia (Vol. 68). Harvard University Press. 

Sutton, R. A. (1985). Musical Pluralism in Java: Three Local Traditions. Ethnomusicology, 29(1), 56-85. 

Hadi, Y. S. (2018). Revitalisasi Tari Tradisional. Dwi-Quantum. 

Listiowati, N. (2023). Aspek-aspek Kreatif Komposisi Kurang Luwih Berbasis Gamelan dalam Perspektif Musikologi (Doctoral dissertation, ISI Yogyakarta).   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun