Ketika kita berbicara tentang tarot, respons masyarakat biasanya terbagi dua. Ada yang percaya penuh pada kekuatan mistis kartu tarot, dan ada pula yang menganggapnya sebagai hiburan semata. Tapi pertanyaannya, dari perspektif logis dan empiris, apakah tarot benar-benar bisa dipercaya?
Asal-Usul Tarot: Dari Permainan ke Alat Refleksi
Sebelum kita membahas kepercayaannya, kita perlu tahu dulu asal-usul tarot. Tarot awalnya adalah permainan kartu di Eropa pada abad ke-15. Deck klasik terdiri dari 78 kartu yang terbagi menjadi dua bagian: Arcana Mayor dan Arcana Minor. Pada akhir abad ke-18, kartu tarot mulai digunakan untuk ramalan dan refleksi spiritual.
Dari sini saja, sudah terlihat bahwa tarot tidak diciptakan untuk meramal masa depan. Tarot lebih menyerupai "alat bantu" untuk refleksi daripada alat mistis.
Psikologi di Balik Tarot
Tarot sering dianggap akurat karena efek Barnum atau Forer Effect---fenomena psikologis di mana orang merasa deskripsi umum tentang kepribadian mereka sangat akurat. Misalnya, ketika pembaca tarot mengatakan, "Kamu sedang menghadapi keputusan sulit," kemungkinan besar hampir semua orang bisa merasa relevan dengan pernyataan itu.
Kartu tarot bekerja dengan simbolisme yang sangat universal, seperti "The Fool" yang menggambarkan awal baru atau "The Tower" yang melambangkan perubahan mendadak. Simbol ini memberikan ruang interpretasi yang luas, sehingga pembaca dan klien dapat menyesuaikan maknanya dengan konteks hidup mereka.
Tarot sebagai Refleksi Diri
Sebagian besar pembaca tarot profesional saat ini tidak mengklaim bahwa kartu mereka bisa "meramal masa depan". Sebaliknya, mereka melihat tarot sebagai alat refleksi diri. Dalam sesi tarot, klien biasanya diminta untuk merenungkan situasi mereka berdasarkan kartu yang muncul. Proses ini sebenarnya lebih mirip terapi dibanding ramalan.
Studi dari perspektif psikologi menyebutkan bahwa praktik ini mirip dengan projective techniques seperti tes Rorschach (tes bercak tinta). Dengan melihat simbol-simbol pada kartu, seseorang cenderung memproyeksikan pikiran, perasaan, atau masalah yang sedang mereka alami.
Perspektif Empiris: Mana Data yang Mendukung?