Mohon tunggu...
Brilian Ghol Jiddan
Brilian Ghol Jiddan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Halo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stereotip Terhadap Dialek Ngapak

2 Januari 2023   14:40 Diperbarui: 2 Januari 2023   14:57 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pesisir utara Pulau Jawa membentang luas dari ujung barat hingga ujung timur. Tegal menjadi satu bagian dari panjangnya pantai utara Pulau Jawa. Mempunyai dialek ngapak menjadi keunikan tersendiri bagi Tegal. 

Jargon "ora ngapak ora kepenak" menjadi satu bukti dari eratnya dialek ngapak dengan kehidupan masyarakat sekitar. Kata "nyong" yang memiliki makna 'saya' menjadi satu dari banyaknya kata ngapak yang terkenal seantero negeri. Namun tak jarang kemunculan dialek ngapak hanya dijadikan lelucon oleh sebagian kalangan.

Eksistensi dialek ngapak masih terjaga hingga kini, masyarakat yang tinggal di lingkungan ngapak masih menggunakan dialek tersebut. Namun, hal yang berbeda terjadi pada masyarakat ngapak yang tinggal diluar daerahnya, stereotip terhadap dialek ngapak menjadi bayang bagi mereka. Dialek ngapak acapkali dinilai sebagai lelucon semata. 

Penekanan vokal yang berbeda serta ada pengucapan huruf yang tebal menjadi salah satu alasan dialek ngapak menjadi bahan lelucon. Dialek ngapak sudah menjadi ciri khas yang sangat kuat, hal ini tentunya harus dijaga agar eksistensinya tidak hilang dimakan waktu. 

Lelucon terhadap dialek ngapak terjadi karena banyak orang yang jarang mendengar dialek ngapak dan mengangapnya suatu hal yang lucu. Keunikan dari dialek ngapak ini yang harus dijaga agar dialek ngapak akan tetap ada.

Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar banyak didiami pelajar atau mahasiswa dari berbagai daerah. Tentunya hal ini dapat dimanfaatkan untuk memupuk nilai toleransi disana. 

Hidup berdampingan tanpa memperdulikan minoritas atau mayoritas yang terjadi. Meski terkadang hidup penuh toleransi dan damai hanya menjadi angan semata. 

Gejolak pasti tetap terjadi didalamnya, di Kota Pelajar ini saja banyak permasalahan yang muncul karenanya. Perbedaan bahasa atau bahkan dialek dapat menjadi sumbu lelucon yang berujung pada perundungan. Dialek ngapak terkadang menjadi korban lelucon dari mereka yang tidak mendengarnya.

Kerap kali mahasiswa yang berdialek ngapak menjadi bahan lelucon ketika berada di perantauan. Lelucon bukan karena bentuk fisik yang berbeda, melainkan dialek yang diucapkan terkesan unik menurut mereka. Saat ini dialek ngapak mulai mengalami pergeseran. 

Salah satu faktor adanya pergeseran tersebut adalah adanya stereotip terhadap dialek ngapak, menurut hasil penelitian (Susmono 2006 dalam Khotimah, 2017) diperoleh kesimpulan bahwa mahasiswa Cilacap yang merupakan salah satu kelompok masyarakat penutur dialek ngapak di Yogyakarta secara psikologis merasa terganggu dengan stereotip bahasa dan budaya ngapak yang dianggap marjinal sehingga mereka enggan menggunakan dialek tersebut.

Mempertahankan keadaan seperti ini tentunya bukan solusi yang baik, perlu perubahan yang harus segera dilakukan. Dialek ngapak termasuk kebudayaan yang harus dipertahankan dan tentunya dilestarikan, bukan malah menjadi lelucon atau bahkan terjadi perundungan. 

Ada atau tanpa alasan sekalipun dialek ngapak tidak bisa menjadi lelucon semata, bagi masyarakat yang menuturkan dialek ngapak hal ini sudah menjadi identitas yang tidak bisa lepas darinya. 

Namun keunikan tersebutlah yang menimbulkan dialek ngapak memiliki ciri khas sehingga mudah teridentifikasi melalui ciri khas identitas dialek ngapak-nya. Identitas dapat dilihat dari pengucapan huruf "a, b, d, g, h, y, k, l, o, w" dengan mantap, tegas, lugas, tidak ngambang atau setengah-setengah (Herusatoto, 2008).

Dalam pertemuan antarbudaya, harapan berbeda mengenai identitas serta gaya komunikasi yang ditampilkan berpotensi menimbulkan kegelisahan, kesalahpahaman, dan bahkan konflik. Oleh karena itu, Imahori dan Cupach menganggap "Identitas budaya sebagai elemen utama dalam komunikasi antar budaya"(Samovar et al., 2010, 199).

 Ketika adanya perbedaan budaya seharusnya rasa dan sikap toleransi dapat lebih ditingkatkan, mengingat perbedaan ini bukan hal yang dapat memisahkan melainkan dapat menyatukan. Dialek ngapak sudah seharusnya diterima menjadi kekayaan budaya bangsa ini, keunikkannya menjadi pertanda betapa kayanya Indonesia. Dialek ngapak bahkan sudah dikenal hingga pelosok negeri, sudah banyak karya baik di media sosial atau pun media lainnya yang mengangkat dialek ngapak.

Sudah saatnya merubah stereotip terhadap dialek ngapak menjadi pemikiran yang lebih baik terhadapnya. Dialek ngapak memiliki keunikkan yang dapat menjadi ciri khas tersendiri. Kekuatan ini yang seharusnya ditonjolkan dan menghilangkan berbagai pemikiran terhadap lelucon dialek ngapak. Memiliki rasa bangga terhadap budaya sendiri harus ditingkatkan, tidak meninggalkannya menjadi pilihan agar budaya ini tetap ada. 

Generasi muda yang harus meneruskan budaya ini, memiliki rasa toleransi harusnya ditanamkan dalam benak generasi muda. Dialek ngapak menjadi satu dari banyaknya contoh kasus perundungan terhadap minoritas yang terjadi di sekitar kita. Sudah saatnya melawan perundungan, hormati sesama manusia tidak peduli berasal dari golongan mayoritas atau minoritas. Bersama menciptakan generasi gemilang, demi terwujudnya Indonesia yang cemerlang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun