Lapar mata merupakan salah satu perilaku hidup konsumtif yang dicirikan dengan membeli barang, makanan, maupun minuman yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan.
Hal ini dipicu ketika seseorang dihadapkan pada beberapa makanan maupun minuman yang menggoda, kemudian berakhir dengan membeli beraneka ragam jenis makanan maupun minuman tersebut.
Sebagai contoh, ketika kita melihat berbagai macam menu, kita tidak hanya membeli satu macam menu namun memiliki keinginan untuk membeli berbagai macam menu.
Contoh lain, ketika kita berbelanja di pasar, ada keinginan untuk membeli berbagai macam bahan pangan sebagai stok.
Mungkin budaya lapar mata bisa memberi rasa puas pada konsumen namun ternyata hal ini dapat meningkatkan jumlah food waste yang berujung pada peningkatan timbunan sampah dan risiko krisis pangan. Apa hubungannya?
Membeli makanan maupun minuman dalam jumlah banyak meningkatkan risiko pada tingginya food waste atau yang sering kita sebut sebagai limbah pangan.
Konsumen kerap kali tidak menghabiskan makanan maupun minuman yang dibelinya apalagi jika terlalu banyak karena melebihi kapasitas lambung dalam sekali konsumsi.
Berdasarkan hasil kajian dari Bappenas, jumlah food loss dan food waste di Indonesia dari tahun 2000-2019 mencapai 28 -- 48 ton/tahun. Food waste disebut-sebut memiliki pengaruh yang signifikan pada krisis pangan.
Sejatinya, food waste merupakan pangan yang sudah diolah yang seharusnya dikonsumsi dan terhitung sebagai pangan yang diolah namun terbuang sia-sia dan tidak dapat diolah kembali menjadi pangan yang dapat dikonsumsi.
Di waktu kemudian, konsumen cenderung akan membeli makanan baru untuk memenuhi rasa laparnya. Hal ini tentunya akan mengurangi jumlah ketersediaan bahan pangan dan pangan menjadi semakin sulit didapatkan karena kebutuhan pangan yang semakin meningkat. Lalu bagaimana cara mengantisipasi hal tersebut?
Sebagai seorang konsumen, kita harus bijak dalam menerapkan kebiasaan pola konsumsi yaitu membeli makanan maupun minuman sesuai kebutuhan.