Mohon tunggu...
Brigita Talentiana
Brigita Talentiana Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Hi, I'm a tourism student.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Dalam Pilihan Kenaikan Harga Tiket Masuk di Destinasi Berbasis Ekowisata: Studi Kasus Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo

6 Desember 2022   14:55 Diperbarui: 6 Desember 2022   17:10 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pariwisata menjadi salah satu aktivitas ekonomi multinasional terbesar (Friedman via Yvette Reisinger,1995:1) dan industri ekspor yang menduduki peringkat 5 besar di 83% negara di dunia (Fayed dan Fletcher via Yvette Reisinger, 2002:8).  

Kini pariwisata mulai dianggap sebagai kebutuhan sekaligus gaya hidup bagi wisatawan. Bahkan, di Indonesia, keberadaan pariwisata terus dikembangkan, dipromosikan, dan digencarkan oleh pemerintah. Pemerintah membentuk 5 destinasi super prioritas yang masif dilakukan pembangunan, antara lain Danau Toba di Sumatera Utara, Borobudur di Jawa Tengah, Mandalika di Nusa Tenggara Barat (NTB), Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT), serta Likupang di Sulawesi Utara. 

Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur memiliki berbagai destinasi wisata, salah satunya Taman Nasional Komodo. Taman Nasional Komodo ini mengusung konsep ekowisata sebagai penerapannya. Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata yang muncul akibat keresahan dari adanya mass-tourism. Pro-kontra mengenai konsep dan praktik ekowisata selalu hadir dari waktu ke waktu. Definisi ekowisata pun mengalami banyak perkembangan. Perkembangan tersebut mengungkap bahwa ekowisata merupakan sebuah pariwisata yang sangat kompleks, tidak hanya terkait pada lingkungan sebagai aspek utama, tetapi juga memiliki kaitan besar dengan ekonomi, wisatawan, masyarakat tuan rumah, dan budaya setempat. 

Definisi ekowisata dari Hetzler disebut sebagai yang menggunakan term ecotourism yang dipakai hingga saat ini. "Eco" dalam ecotourism merujuk pada kata ecological yang dapat diartikan sebagai hubungan erat antara lingkungan, wisatawan, dan budaya di mana tempat mereka membangun interaksi (Hetzer: 1965, dalam Fennel, 2008:17). Lebih lanjut, terdapat definisi ekowisata terbaru oleh The International Ecotourism Society (TIES). Ekowisata didefinisikan sebagai perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat lokal, serta melibatkan interpretasi dan pendidikan (TIES, 2015).

Ekowisata merupakan pariwisata bertanggung jawab yang memiliki empat pilar utama yaitu untuk meminimalisir dampak negatif yang timbul pada lingkungan alam dan budaya, mendukung perlindungan dan penghormatan maksimum terhadap budaya lokal untuk meminimalkan dampak negatif, meningkatkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat tuan rumah, serta kepuasan rekreasional yang maksimal bagi wisatawan didukung dengan kesadaran konservasi dari masyarakat lokal dan pengunjung. Hal-hal tersebut merupakan kelebihan dari ekowisata dibanding bentuk wisata yang lain. Namun sayangnya, penerapan ekowisata tidak semudah ketika mendengar definisi dari konsep tersebut. Hal ini juga terjadi di Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo.

Pariwisata di Labuan Bajo memang sempat sepi akibat kenaikan pandemi Covid-19. Akan tetapi, tren liburan mengunjungi Labuan Bajo mulai mencuat kembali pasca terjadi penurunan angka penyebaran Covid-19 di Indonesia pada kisaran bulan September 2021 hingga saat ini. Faktanya, pada awal kembali bergeraknya pariwisata di Labuan Bajo, wisatawan yang datang di dominasi dari domestik. Kini, wisatawan mancanegara pun turut memenuhi destinasi wisata untuk melihat keindahan Labuan Bajo dan pulau-pulau yang mengitarinya, termasuk fauna yang hanya ada di tempat tersebut. Jumlah wisatawan domestik yang datang mengunjungi Labuan Bajo pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 2022 tercatat mengalami banyak penurunan, sedangkan kunjungan wisatawan mancanegara mulai dari bulan April hingga Agustus 2022 terus mengalami peningkatan. Bahkan, termuat dalam website Kemenparekraf bahwa lebih dari 12 ribu wisatawan mancanegara datang mengunjungi Labuan Bajo pada Agustus 2022. 

Jika dibayangkan secara logika, semakin banyak wisatawan yang datang berarti hasil ekonomi yang didapatkan akan semakin banyak. Hal itu mungkin memang dapat terjadi. Akan tetapi, permasalahan lingkungan, sosial, dan budaya merupakan suatu hal yang akan terus mengiringi. 

Keadaan ini telah dibuktikan oleh penulis ketika mengunjungi Labuan Bajo pada kuartal IV tahun 2021. Penumpukan wisatawan terjadi dimana-mana, sampah yang berceceran, banyaknya wisatawan membuat ketidaknyaman dan waktu wisata tidak maksimal karena harus bergantian satu sama lain. Kenyataan tersebut juga terjadi ketika mengunjungi Taman Nasional Komodo, yang mana pengembangan prinsip ekowisata seakan tidak dapat diterapkan secara maksimal. Banyaknya kunjungan wisata membuat ranger harus bergantian membawa grup-grup wisata dengan waktu yang ditentukan, cerita edukasi yang disajikan terkesan minimum karena berfoto-foto ria bersama komodo yang disandingkan lebih menjadi fokus utama. Lebih lanjut, beberapa sampah dari makanan dan minuman juga merusak lingkungan dan mengganggu pemandangan. Alhasil, esensi dari prinsip ekowisata sendiri tidak dapat dirasakan di sini.

Dengan adanya fakta-fakta tersebut, pemerintah menyadari bahwa penerapan konsep ekowisata yang seharusnya dapat menjaga keseimbangan alam, ekonomi, dan sosial-budaya tanpa melupakan kepuasan wisatawan ternyata belum terlaksana dengan baik. Oleh sebab itu, Pemerintah Pusat dan Pemprov NTT sepakat untuk menaikkan harga tiket masuk Padar-Taman Nasional Komodo menjadi Rp3.750.000,00 per tanggal 1 Agustus 2022. Alasan utama menggagas kebijakan ini adalah keinginan untuk memaksimalkan konservasi, melibatkan masyarakat lokal dengan pemberdayaan agar mendapatkan hasil ekonomi yang maksimal, menertibkan wisatawan yang datang sekaligus memberikan pengalaman yang berkualitas, serta kepentingan keberlanjutan pariwisata di masa depan. Namun, banyak pertentangan yang terjadi antara berbagai pihak yang menimbulkan banyak problematika dalam pilihan menaikkan harga tiket masuk di Taman Nasional Komodo. Oleh sebab itu, Pemerintah Pusat dan Pemprov NTT memutuskan untuk menerapkan kebijakan tersebut per tanggal 1 Januari 2023.

Menaikkan harga tiket masuk memang pernah dicoba oleh beberapa destinasi berbasis ekowisata di Indonesia dan terbukti berhasil untuk mengurangi dampak negatif yang terjadi tanpa mengurangi hasil ekonomi yang didapatkan. Hal ini terjadi salah satunya di Desa Wisata Nglanggeran yang pada tahun 2018 memutuskan untuk menaikkan harga tiket masuk 2 kali lipat dari sebelumnya. Alhasil, para pengelola mengemukakan bahwa mereka mendapatkan dampak yang positif dari kebijakan tersebut, mulai dari dampak bagi lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya. Keadaan tersebut juga diharapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemprov NTT melalui kebijakan kenaikan harga yang sebelumnya Rp4.500,00 bagi WNI dan Rp150.000,00-Rp225.000,00 bagi WNA menjadi Rp3.750.000,00 untuk WNI dan WNA.

Keadaan tersebut wajar jika menimbulkan pertentangan dan problematika dari banyak pihak. Tercatat dari BPS Pusat tahun 2020, data menunjukkan bahwa rerata Upah Minimum Regional (UMR) di Indonesia sebesar Rp2.672.371,00 yang mana DKI Jakarta masih menduduki UMR tertinggi di angka Rp4.276.350,00. Hal yang menjadi pertanyaan adalah jika Pemerintah Pusat dan Pemprov NTT menaikkan harga tiket masuk Padar-Taman Nasional Komodo menjadi Rp3.750.000,00 dipukul rata untuk WNA dan WNI, apakah benar tujuan untuk menyeimbangkan lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya, serta memberikan pengalaman berkualitas bagi wisatawan ini tertuju pada wisatawan domestik juga? Nyatanya, rata-rata UMR di Indonesia dalam sebulan belum bisa membeli tiket untuk masuk ke Padar-Taman Nasional Komodo. Jika muncul alasan bahwa wisatawan domestik yang datang ke Labuan Bajo tentu sudah mempersiapkan uang, memiliki perekonomian yang sangat cukup, lalu upaya dari pemerintah untuk menyaring wisatawan yang berkualitas datang ke Labuan Bajo, apakah kualitas dapat dinilai dari seberapa banyak uang yang dimiliki? Kenyataannya, belum tentu juga. 

Dengan berbagai hal yang sudah dipaparkan tersebut, sependek pengetahuan penulis, sangat memungkinkan bahwa kenaikan harga mampu mendukung penerapan prinsip ekowisata di destinasi wisata. Akan tetapi, masyarakat lokal dan wisatawan domestik juga harus menjadi perhatian yang besar bagi pemerintah. Pemerintah mungkin saja memberikan kenaikan harga yang dibedakan untuk WNI dan WNA. Meskipun nantinya masih cenderung mahal dan naik berlipat kali ganda, setidaknya masih terukur sehingga WNI dari berbagai kelas sosial bisa merasakan pengalaman berkunjung ke Padar-Taman Nasional Komodo. Kenaikan harga ini perlu diperhatikan. Penulis berasumsi jangan sampai kenaikan harga ini memberikan dampak yang signifikan terhadap "orientasi ekonomi" yang sangat tinggi ketika masyarakat lokal "melihat" wisatawan.  Namun, lagi-lagi kebijakan ini belum terlaksana sehingga belum terlihat bagaimana ke depannya. Harapannya, kebijakan yang dilaksanakan dapat memaksimalkan upaya dalam menerapkan pilar-pilar ekowisata demi keberlanjutan pariwisata di masa yang akan datang.

Referensi:

Lebih dari 12 Ribu Turis Asing Datang ke Labuan Bajo pada Agustus 2022. Diakses dari https://pedulicovid19.kemenparekraf.go.id/lebih-dari-12-ribu-turis-asing-datang-ke-labuan-bajo-pada-agustus-2022/#:~:text=Sebelumnya%20pada%20Juli%202022%2C%20kunjungan,19.210%20orang%20pada%20Agustus%202022. 

Kenaikan harga di Labuan Bajo. Diakses melalui https://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-akan-sosialisasikan-kenaikan-harga-tiket-taman-nasional-komodo/6698693.html#:~:text=Kementerian%20Pariwisata%20dan%20Ekonomi%20Kreatif,berlaku%20pada%201%20Januari%202023. 

Kenaikan harga di Desa Wisata Nglanggeran. Diakses melalui https://travel.kompas.com/read/2020/10/16/203100127/harga-tiket-masuk-wisata-di-nglanggeran-dan-cara-menuju-ke-sana?page=all 

 Protes kenaikan harga tiket di Labuan Bajo. Diakses melalui https://regional.kompas.com/read/2022/08/05/064054578/kisruh-kenaikan-harga-tiket-di-labuan-bajo-sandiaga-bentuk-tim-untuk-dengar 

Data UMR di Indonesia tahun 2018 - 2022. Diakses melalui https://www.bps.go.id/indicator/19/220/1/upah-minimum-regional-propinsi.html

Lohmann, G. dan Netto, A. Panosso. 2017. Tourism Theory (Concepts, Models, and Systems). Wallingford, United Kingdom: CABI

Asero, V., & Skonieczny, S. (2017). Cruise Tourism and Sustainability in the Mediterranean. Destination Venice. In  (Ed.), Mobilities, Tourism and Travel Behavior - Contexts and Boundaries. IntechOpen. https://doi.org/10.5772/intechopen.71459

Higham, James. 2017. Critical Issues in Ecotourism: Understanding a complex tourism phenomenon. United Kingdom: Elsevier

Kester, J. G. C. (2003). Cruise Tourism. Tourism Economics, 9(3), 337--350. https://doi.org/10.1177/135481660300900307

Mowfort, 2016. Tourism and Sustainability: Development, globalization and new tourism in the Third World.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun