Hari itu, setelah makan malam dengan teman dekatnya, Mech merasa ada yang berbeda. Teman dekatnya bercerita tentang hidupnya, berbagi keluh kesah yang tidak pernah ia ungkapkan sebelumnya.
“Aku nggak tahu harus gimana, Mech,” kata temannya dengan suara lesu.
“Terkadang rasanya nggak ada jalan keluar. Semuanya berat banget.”
Mech berusaha memberikannya solusi dan semangat, meskipun tidak ada yang bisa benar-benar memperbaiki keadaan.
Mech mengangguk. “Gapapa banget kamu ngerasain hal ini, tandanya kamu udah mulai dewasa, inget kamu ga sendirian, banyak yang peduli sama kamu...kalau kamu butuh cerita, cerita aja biar lega, jangan dipendam sendirian terus, ngga baik. nggak harus ke aku, bisa ke Tuhan atau teman lain, tapi aku akan selalu ada buat kamu! Semangat terus. Tolong hidup bahagia.”
“Makasih banyak ya Mech,” jawab temannya, tersenyum tipis.
Setelah itu Mech pergi menggunakan kereta malam menuju kota kelahirannya. Perjalanan yang selalu memiliki kenangan, namun kali ini Mech merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Seminggu berlalu, Mech kembali ke kota yang ditujukan untuk menempuh studinya. Ia disambut dengan suasana yang janggal. Mech bertemu dengan teman-temannya, yang dulu sangat dekat dengannya. Namun, hari itu mereka memilih menghindar. Mech merasa seperti berada di ruang yang tak sepenuhnya milik dirinya, seperti ada batas yang tak terlihat di antara dirinya dan teman dekatnya.
“Ada yang aneh di sini,” gumam Mech pada dirinya sendiri setelah sadar akan hal itu.
Esoknya, Mech kembali ke rumah, namun bukan rumah yang biasanya ia tinggali. Ada sesuatu yang berubah, dan hilang. Ketika Mech pergi ke luar untuk mencari udara, ada sebuah warung di pojok gang.
“Ibu, boleh aku duduk sebentar?” tanya Mech dengan sedikit ragu.