Sepulang dari tempat kerja, saya sempatkan diri untuk ke toko buku. Sementara membaca salah satu novel karangan Noveni Adelia "Hold On, It Hurts", tanpa disengaja, dari samping sebelah kiri saya mendengar tiga orang wanita sedang menceritakan temannya yang lain.
Konsentrasi membaca saya seketika teralihkan karena ada satu pernyataan menggelitik yang di ceritakan oleh salah satu dari mereka, begini: "Dia kalau udah ngomong, gak pernah ada titik. Komaaaaaaaaa terus. Kayak gak ada dialognya sama sekali! Kayak monolog gitu." Freaking annoying gak sih? Gak cuma itu tau gak. Dia juga sering bikin aku ngerasa kaya pendengar yang gak penting. Aku cuma jadi tembok buat dia ngelepas monolognya. Gimana, ya, biar dia sadar?
Mendengarnya, saya lantas berbalik membelakangi mereka lalu tersenyum tipis sambil "mengamini" curhatannya si mbak itu. "Ya... Kamu benar mbak!". Memang ada tipe orang yang kalau bicara, kita hampir tidak bisa menyela. Kita dipaksa untuk mendengar dia. Dan dia lupa bahwa orang yang mendengar juga punya tingkat "Kebosanan" (kalau tidak mau dikatakan tingkat "Kemuakan").
Dari ketidaksengajaan "menguping" pembicaraan mereka tadi, penting untuk dipahami bahwa yang namanya setiap perjumpaan baru akan berarti kalau ada komunikasi dua arah, karena komunikasi dua arah memberi peluang untuk saling memberi dan menerima, atau saling mengisi satu sama lain.
Jika seseorang hanya dipaksa untuk menerima atau mendengar saja, maka jelas mekanisme memorinya akan kendor dan cepat bosan bahkan muak, sehingga apa yang di dengar akan dianggapnya sebagai "sampah". Alhasil perjumpaan itu tidak ada artinya.
Makanya banyak kejadian, baru sekali ketemu, eh... salah satunya sudah "ilfeel" gak mau ketemuan lagi. Gara-garanya salah satu pihak terlalu mendominasi, sering menyela sebelum selesai atau menempatkan teman bicara sebagai pendengar saja, bukan sebagai teman ngobrol.
Ya kalau kayak gini siapa juga yang mau ketemuan lagi? Berasa lagi dengerin Monolog Live Show gak sih?
Saya rasa siapapun, tentu tidak akan mau ucapanya tidak dihargai. Kalau mau agar ucapan kita dihargai, kita mesti bersedia mendengarkan teman bicara kita.
Begitu kita obral bicara, sudah harus tahu bahwa di akhir pembicaraan, semua yang kita ucapkan segera "dicampak" karena orang merasa ia hanya dijadikan objek saja, bukan subjek yang dihargai karena ia pun sebetulnya mempunyai pengetahuan yang dapat ia berikan pada kita.
Percakapan yang sehat pasti melibatkan keseimbangan antara berbicara dan mendengarkan. Pastikan untuk memberikan ruang kepada lawan bicara untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat mereka. Jika kita merasa sudah cukup banyak berbicara, berikan kesempatan kepada mereka untuk bicara. Sebaliknya, jika kita merasa lawan bicara cenderung monolog, upayakan untuk memasukkan diri kita ke dalam percakapan dan berbagi pandangan atau pengalaman.
Tentang realitas bicara tanpa henti, orang tibet mempunyai nasihat. Nasihatnya gini: "Banyak bicara banyak bahaya. Diam menjauhkan nasib buruk. Burung kakatua berceloteh dikurung dalam sangkar. Burung-burung yang tak bisa bicara (diam) terbang bebas melayang."
Selamat belajar mendengarkan dan jangan obral bicara, kalau Anda ingin dihargai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H