Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Itulah sekilas gambaran dunia olahraga nasional kita saat ini. Insiden aksi kisruh yang dilakukan suporter Timnas Indonesia kala menjamu timnas sepakbola Malaysia. Selain harus menerima kekalahan tipis 2-3 melawan Malaysia pada laga perdana Kualifikasi Piala Dunia 2022, Indonesia juga harus mengalami kerugian.
Kerusuhan yang tidak semestinya terjadi itu akan menjadi perseden buruk di mata internasional atas gagalnya wibawa Indonesia sebagai tuan rumah yang ideal diperhelatan bergengsi internasional mendatang. Kita boleh saja menyebut bahwa nasionalisme dalam Sepak Bola merupakan salah satu harga diri bangsa.
Namun, budaya sportifitas dan fair play juga seharusnya tumbuh seiring infrastruktur yang kita miliki untuk memajukan prestasi olahraga sudah kian modern. Bukan berarti "Atas Nama Olahraga" kita juga menjadi sewenang-wenang meluapkan kekecewaan dengan cara-cara yang jauh dari budaya fair play tersebut.
Tentu, sebagai generasi bangsa siapa yang tak bangga jika memiliki atlet berprestasi di ajang internasional? Semua pasti menginginkan hal yang sama: Kemenangan dan Kebanggaan. Torehan sejarah prestasi olahraga pastinya akan memberikan nilai tersendiri mengingat banyaknya anak muda produktif harusnya berimbas pada talenta potensial yang bisa dikembangkan lebih baik lagi.
Dilema Pembinaan Atlet
Masih seputar perkembangan dunia olahraga nasional kita. Tak lama dari insiden kisruh yang terjadi di lapangan rumput itu, publik diresahkan dengan polemik pembinaan atlet Bulutangkis antara temuan "Eksploitasi Anak" oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Lentera Anak Indonesia (LAI) dengan program beasiswa atlet muda bulutangkis oleh PB Djarum.
Pro dan kontra masyarakat menanggapi niat baik PB Djarum melalui Djarum Foundation yang konsen dalam membina atlet muda Bulutangkis nasional, sementara KPAI bersikukuh mengklaim bahwa audisi atlet muda berprestasi itu merupakan bagian dari eksploitasi anak yang berdalih pembinaan olahraga. Seperti diketahui bahwa Djarum Foundation merupakan program inisiasi salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia.Â
Dalam klarifikasinya, Ketua KPAI, Susanto menyebutkan bahwa yang dipersoalkan lembaganya tersebut adalah mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tertulis bahwa rokok merupakan zat adiktif yang berbahaya. Hal itu berarti adanya larangan pemerintah terkait penggunaan nama merek, logo dan gambar produk perusahaan rokok dalam program audisi PB Djarum.
Disisi yang lain, KPAI juga telah menjelaskan maksud eksploitasi anak bukan semata tidak mendukung kegiatan audisi PB Djarum yang diketahui bersama telah mendukung penuh prestasi anak bangsa di dunia olahraga Bulutangkis selama ini. Pembinaan bibit atlet muda memang harus terus berjalan. Namun dalam kasus ini, kita tidak bisa membantah bahwa ada hal yang keliru mengenai program tersebut.
Apa jaminannya jika ada sebuah perusahaan rokok besar berkampanye "Hidup Sehat Tanpa Rokok"? Sementara, sangat jelas yang muncul dalam setiap iklan itu terpampang wajah anak-anak muda Indonesia. Dan kita ketahui bersama, iklan yang bermerek Djarum selalu identik dengan produk rokoknya. Terlepas itu adalah program pembinaan namun keresahan masyarakat terutama yang kesehatan anak juga patut jadi bahan evaluasi bersama antara pihak sponsor (swasta) dengan pemerintah.
Hal yang disampaikan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi menyebutkan bahwa anggaran pemerintah terbatas maka membutuhkan sponsor dari pihak swasta. Lalu, bagaimana dengan BUMN yang dikelola oleh negara? Mengapa swasta bisa melakukan pembinaan, sementara negara abai menggelontorkan anggaran untuk aset bangsanya.
Singkatnya, jika PB Djarum masih serius melakukan pembinaan atlet muda Bulutangkis berprestasi pasti banyak hal yang bisa diberikan dengan nilai investasi masa depan olahraga nasional yang tentunya lebih besar dari sekedar membuat program audisi atlet berprestasi.
Modus Baru Eksploitasi Anak
Memang masih banyak kasus lain soal modus baru "eksploitasi anak" yang harusnya diungkap oleh KPAI. Misalnya kasus pekerja anak industri rumahan home industry). Adakah keseriusan pemerintah dalam memberikan perhatiannya kepada masa depan anak?
Ditengah perubahan jaman saat ini, industri juga tak lepas telah mengalamai perubahan sesuai dengan konteks tuntutan perkembangan jaman. Salah satunya industri rumahan yang sedang tumbuh berkembang. Sampai saat ini masih belum ada kejelasan bagaimana perlindungan pekerja anak yang tidak terdata oleh pemerintah kita.
Jangan sampai dugaan KPAI terkait eksploitasi anak yang ada modus dan bentuk baru di era sekarang justru tertutup dengan alasan keuntungan besar yang diterima sebuah korporasi terus berlanjut bahkan tidak berpihak pada pekerja anak yang berbungkus industri.
Semestinya pemerintah perlu mengevaluasi agar masa depan anak tidak sampai tersandera kepentingan korporasi semata. Pendidikan anak sebagai aset masa depan harus mampu diperhatikan lebih matang, mengingat ke depan Indonesia akan mengalamai bonus demografi.
Prestasi pemuda bisa melalui pembinaan salah satunya menghasilkan prestasi diluar akademik seperti bidang seni dan olahraga. Namun, yang menjadi faktor utama adalah jalan terbaik pembangunan sumber daya alam yang bukan semata menguntungkan salah satu pihak untuk mengeruk pundi-pundi dengan dalih pembinaan atlet muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H