Mohon tunggu...
Bryan Pasek Mahararta
Bryan Pasek Mahararta Mohon Tunggu... Freelancer - Youth Society

Youth Empowerment | Diversity Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Teuku Hasan Sampai Ignasius Jonan

24 Februari 2017   03:43 Diperbarui: 24 Februari 2017   03:58 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://kidnesia.com

Sudah bukan rahasia lagi jika kekayaan sumber daya alam Indonesia memang menjadi primadona dunia. Lokasi yang sangat strategis di antara garis khatulistiwa dan diapit oleh 2 (dua) samudera yang menghasilkan kekayaan hayati tumbuh beraneka ragam dan akan membuat iri bukan hanya negara tetangga saja, tetapi juga seluruh negeri di penjuru dunia.

Wajar, jika dalam salah satu pidatonya, Sukarno pernah berkata :

"Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimagination. Gali ! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia".

Ya! Sukarno bahkan sering mengatakan bahwa Indonesia sebagai taman sari dunia yang selalu menggoda bangsa-bangsa lain di seluruh penjuru dunia. Untuk itu, Sukarno menegaskan agar pemuda-pemudi Indonesia dapat memahami apa itu namanya nasionalisme.

Tapi bukan nasionalisme tiruan barat atau yang chauvinis seperti halnya nasionalisme yang digembar-gemborkan oleh Hitler di masa kepemimpinan Nazi ataupun Mussolini di tanah Eropa. 

Jauh sebelum itu, ketegasan tersebut juga telah Sukarno sampaikan pada saat pidato sidang PPKI 1 Juni 1945 dalam mencari dasar negara Indonesia merdeka yang mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia harus hidup dalam taman sari-nya Internasionalisme.

Jika salah seorang founding father negeri ini berkata demikian, lalu bagaimana dengan semangat para generasinya? Apakah kita sudah benar - benar menjalankan apa itu yang dimaksudkan nasionalisme yang tidak chauvinis dan tumbuh sebagai taman sari-nya Internasionalisme?

Belakangan ini ramai bermunculan terkait tindakan tegas pemerintahan Jokowi yang menginginkan adanya progres nasionalisasi aset sebagai bentuk kemandirian bangsa Indonesia ditengah perkembangan politik - pertumbuhan ekonomi dunia.

Sebagai suatu keharusan yang telah diatur dalam UUD Pasal 33 mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam bagi kemaslahatan rakyat Indonesia.

Adalah menjadi kewajiban pemerintah dalam memanajemen segala kekayaan alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebutuhan rakyatnya, dari Sabang sampai Merauke.

Salah satu permasalahan saat ini mengenai Kontrak Karya (KK) PT. Freepot sebagai perusahaan tambang terbesar dunia yang berada di Indonesia. Sekilas jika dikaji lebih mendalam, adapun dampak-dampak yang diberikan oleh perusahaan ini tidaklah sebanding dengan apa yang diterima oleh negara. Bahkan, tampak jelas ketimpangan dan kesenjangan sosial yang diberikan.

Mengulik dari sejarahnya, PT. Freeport yang merupakan perusahaan asal Amerika Serikat mulai beroperasi di Papua sejak tahun 1967. Dan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun saja, yang semula hanyalah perusahaan tambang kecil kemudian berhasil membesarkan perusahaannya dengan mengeruk perolehan bersih sebesar US$ 60 juta dari hasil tambang berupa tembaga.

Perusahaan ini juga melakukan eksplorasi di pegunungan Grasberg yang diperkirakan memiliki kandungan cadangan biji emas sebesar 2,5 miliar ton. Dan dalam perjalanannya kurun waktu sepanjang tahun 1992 - 2002, PT. Freeport telah berhasil meningkatkan produksinya dan memperoleh keuntungan triliunan rupiah sepanjang tahun.

*****

Nasi telah menjadi bubur,

Mungkin demikian yang bisa disampaikan sambil mengelus dada. Karena, bagaimana mungkin, Sukarno yang telah berkoar-koar memperebutkan tanah Papua (saat itu masih bernama Irian Jaya) dari yang namanya kolonialisme Belanda.

Dengan harapan suatu saat nanti akan dinikmati oleh para generasinya, tapi sampai ia mangkat tidak juga dapat dirasakan oleh generasi Republik ini atas kekayaan alam yang dimiliki Indonesia.

Namun, melihat sepak terjang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini, Ignasius Jonan, mengingatkan pada sosok Teuku Hasan, salah satu pendiri Taman Siswa di Kutaraja, yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Darurat (1948 - 1949).

Pengupayaan nasionalisasi aset, terutama perusahaan minyak asing di Indonesia dimulai pada saat ia menjadi Ketua Komisi Perdangan dan Industri DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara) pada tahun 1951 yang mengadakan suatu penelitian dengan kesimpulan, antara lain :

1. Terdapat alasan kuat bahwa jika dilakukan nasionalisasi, hasil minyak Sumatera Utara dapat digunakan sebagai alat pembayaran.

2. Indonesia tidak memperoleh bagian yang wajar dari perusahaan minyak asing berdasarkan Let Alone Agreement dan sistem pembayaran pajak yang berlaku.

Hasil dari penelitiannya tersebut kemudian diusulkan menjadi sebuah mosi yang didukung oleh Kabinet pada tanggal 2 Agustus 1951, yang berbunyi sebagai berikut :

1. Mendesak kepada pemerintah untuk dalam jangka waktu 1 (satu) bulan membentuk sebuah Komisi Negara tentang perminyakan.

2. Mendesak kepada pemerintah supaya menunda pemberian konsesi dan izin eksplorasi baru sampai tugas yang diberikan kepada Komisi Negara tentang masalah pertambangan selesai.

Menariknya, dari pembahasan isi mosi diatas dengan kondisi bangsa kita saat ini adalah mengenai kemiripan pembagian keuntungan berdasarkan pola 50:50. Hal ini diungkapkan saat terjadi pembicaraan antara Teuku Hasan dengan para pejabat perusahaan minyak asing tidak lama setelah mosi tersebut diumumkan.

Namun, jawaban dari seorang Teuku Hasan, yakni pemberlakuan biaya operasi yang akan di mark up menjadi lebih tinggi lagi, justru membuat para bos perusahaan minyak asing tersebut tercengang dan tidak berani berkomentar.

Tak lama kemudian, terbentuklah Panitia Negara Urusan Pertambangan pada tahun 1956 yang diketuai langsung oleh Teuku Hasan dan telah berhasil menasionalisasi beberapa perusahaan minyak asing menjadi PERMINA (1957) dan PERTAMIN (1961).

Kedua perusahaan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal PERTAMINA, yang pada tahun 1968 telah terjadi penggabungan perusahaan.

Tidak berhenti disitu, polemik tentang nasionalisasi aset di negeri ini sebenarnya sudah berlangsung sejak masa kepemimpinan Sukarno - Hatta. Mengutip apa yang disampaikan oleh Erwiza Erman (Peneliti LIPI), ia menyebutkan bahwa terdapat perbedaan pandangan tentang nasionalisasi aset bagi seorang Sukarno dan Hatta tentang How to Manage? 

Bagi Hatta, perlu menunggu waktu yang tepat untuk melakukan nasionalisasi terlalu cepat disebabkan karena Indonesia belum memiliki sumber daya manusia / keahlian dalam mengelola perusahaan asing tersebut.

Namun, bagi Sukarno bersama kelompok Nasionalis lainnya bahwa dengan jiwa nasionalisme yang tinggi itulah bangsa Indonesia harus menunjukkan sebagai bangsa yang Merdeka dan berazaskan TRISAKTI, yaitu : Berdaulat dibidang politik, Berdikari dibidang ekonomi, dan Berkepribadian dalam berbudaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun