Angkutan udara atau penerbangan adalah salah satu transportasi sistranas yang aman dan efisien. Penerbangan ini tergolong dalam sistranas atau sistem transportasi nasional karena diatur oleh DJU atau Direktorat Jenderal Perhubungan Udara atau lebih dikenal dengan Directorate General of Civil Aviation (DGCA).
Sama seperti Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Hubdat) dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA), DJU adalah salah satu dari tujuh direktorat jenderal yang berada dibawah kementerian perhubungan (kemenhub). DJU memiliki satu tugas pokok dan tujuh fungsi.
Dikutip dari hubud.dephub.go.id, “Sekretariat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mempunyai tugas melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas dan pemberian pelayanan dukungan teknis dan administratif kepada seluruh satuan organisasi dalam lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.” Jika dilihat dari struktur organisasi DJU, lingkup kerja mereka mencakup bandar udara, keamanan penerbangan, navigasi, hingga kelaikudaraan pesawat. Maka, merekalah yang mengatur sebagian besar hal yang bersangkutan dengan jalur udara di seluruh Indonesia.
Pada 14 Agustus tahun 2022, Kemenhub menerbitkan Keputusan Menhub Nomor 142 Tahun 2022. Melalui ikatan nasional angkatan udara atau dalam bahasa inggris disebut Indonesia National Air Carrier Association (INACA). Putu Eka Cahyadi, ketua direktur angkatan udara, dibawah ketua DJU Maria Kristi Endah Murni.
Menandatangani keputusan Menhub tersebut. Didalam keputusan tersebut berisikan hal krusial yang menentukan nasib dunia penerbangan komersil domestik terjadwal Indonesia kedepannya. Didalam keputusan tersebut berisikan mengenai besaran biaya tambahan, yang mereka sebut dalam bahasa inggris surcharge.
Surcharge ini diberlakukan karena adanya fluksuasi harga bahan bakar untuk penumpang ekonomi penerbangan komersil domestik terjadwal. Dikutip dari inaca.or.id “Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG BESARAN BIAYA TAMBAHAN (SURCHARGE) YANG DISEBABKAN ADANYA FLUKTUASI BAHAN BAKAR (FUEL SURCHARGE) TARIF PENUMPANG PELAYANAN KELAS EKONOMI ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL DALAM NEGERI.” Dengan ketentuan yang dijelaskan pada poin kedua, yang membagi kriteria menjadi dua:
Pesawat udara jenis jet paling tinggi 15% dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan masing-masing Badan Usaha Angkutan Udara
Pesawat udara jenis propeller paling tinggi 25% dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan masing-masing Badan Usaha Angkutan Udara.
Sesuai dengan tarafnya, peraturan ini hanya ditetapkan kepada penerbangan komersil domestik terjadwal.
Menurut juru bicara Kemenhub, Adita Irawati, adanya batas atas dan bawah dari harga tiket pesawat ditetapkan untuk tujuan. Batas atas ditetapkan agar pelanggan tidak membayar terlalu mahal kepada maskapai. Dan penetapan batas bawah agar tidak adanya perang harga antar maskapai. Dengan adanya batas atas dan bawah ini, penerbangan komersil domestik terjadwal tidak bisa melakukan perang harga hingga rendah.
Namun, karena cakupan DJU dan INACA bersifat nasional, penerbangan komersil internasional terjadwal masih dapat melakukan perang harga. Maka, ketika penerbangan internasional melakukan perang harga dan penerbangan domestik tidak, akan muncul sebuah situasi unik. Dimana harga tiket penerbangan komersil internasional terjadwal lebih murah jika dibandingkan dengan harga tiket penerbangan komersil domestik terjadwal.
Keadaan unik ini lah yang menjadi perhatian publik di media sosial belakangan ini. Menjelang libur lebaran yang panjang, media sosial diramaikan dengan kemunculan konten-konten seputar hal unik ini. Keadaan unik ini menjadi perhatian publik karena dinilai merugikan pariwisata lokal.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik Nasional (BPS), Jumlah penumpang pesawat di Bandara Soekarno Hatta pada bulan Januari 2024 menurun sebesar 42,297 penumpang jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dan penurunan sebesar 1,419,611 penumpang jika dibandingkan dengan tahun 2019 (precovid).
Jika kita lihat gambaran besarnya, sektor pariwisata memang memiliki potensi untuk dirugikan. Namun, disisi lain, adanya batas bawah ini meminimalisir kemungkinan adanya perang harga antar maskapai, menjaga kesehatan dan keseimbangan pasar. Kita tidak bisa berharap agar semua negara mengaplikasikan hal yang sama.
Namun kita juga tidak bisa membiarkan sektor pariwisata dirugikan. Pada akhir diskusi, akan muncul sebuah pertanyaan. Untuk menjamin kesehatan sektor pariwisata atau sektor penerbangan domestik? Salah satu solusi yang paling mendekati adalah untuk mengembangkan sektor transportasi non-terbang. Seperti Hubdat dan DJKA.
Dengan begitu, kesehatan sektor pariwisata Indonesia terjamin dan juga membantu mempromosikan daerah-daerah di Indonesia yang jarang terlihat oleh wisatawan lokal maupun mancanegara.
Tentunya, perang harga antar maskapai akan terminimalisir. Karena dengan begitu, pengguna penerbangan komersil domestik terjadwal tidak berisi wisatawan. Pengembangan sektor Hubdat dan DJKA juga dapat membuahkan hasil yang sangat menarik bagi wisatawan lokal. Yaitu, harga yang dapat bersaing dengan tiket penerbangan komersil internasional terjadwal. Contohnya, dengan elektrifikasi jalur-jalur KAJJ.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H