Transisi energi menjadi salah satu topik prioritas yang diperhatikan Indonesia. Kebijakan Energi Nasional terbaru merencanakan target pasokan energi primer yang berasal dari sumber energi terbarukan mencapai 23% dari jumlah keseluruhannya pada tahun 2025. Hal ini sesuai dengan tema presidensi yaitu recover together recover stronger dengan tiga isu prioritas utama yang memerlukan tindakan kolektif secara global, yakni mengenai arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi.
Demi memenuhi target realisasi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. Pemerintah telah membuat dan merencanakan berbagai kebijakan untuk memenuhi target tersebut, karena ini merupakan upaya untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan. Namun, sampai sekarang pengembangan sektor energi terbarukan belum sejalan dengan pemenuhan targetnya karena porsi energi terbarukan Indonesia di tahun 2020 baru mencapai 11%.
Data diatas adalah informasi tahun 2019 Enegy Mix TWh, data yang dihimpun berasal dari berbagai negara didunia seperti Indonesia, Turkey, Iran, United Kingdom, UAE, Denmark, India, China, Amerika Serikat, dan 12 negara lainnya. Data tersebut merincikan total energi masing-masing negara dalam satuan Tera Watt-hours (TWh) dimana energi tersebut berasal dari berbagai alternatif energi yaitu batu-bara, gas, minyak bumi, air, angin, sinar matahari, nuklir atau lain sebagainya, serta ditampilkan juga luas lahan negara dan perbandingan konsumsi listrik per kapita dalam satuan Kilo Watt-hours (KWh).
Berdasarkan data diatas ditunjukkan bahwa pada tahun 2019 Indonesia memiliki total energi sebesar 278,9 TWh dengan konsumsi energi 1.039 KWh per kapita, disatu sisi Turkey memiliki total energi sebesar 290,4 TWh yang tidak jauh berbeda dari Indonesia namun konsumsi energinya mencapai 3.481 KWh per kapita. Ini merupakan peringatan bagi Indonesia agar dapat menyerap listrik lebih banyak guna menumbuhkan perekonomian negara.
Kemudian kita lihat berdasarkan luas lahan di Indonesia memiliki luas lahan yang sangat besar yaitu sebesar 1.811.570 Km2 dibandingkan dengan Iran yang memiliki luas lahan yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 1.628.550 Km2 mampu menyaingi Indonesia dalam konsumsi energi sebesar 3.674 KWh per kapita dan total energinya 306,3 TWh.
Kemudian kita bandingkan dengan negara maju seperti Korea Selatan yang memiliki total energi sebesar 546,4 TWh di luas lahan sebesar 97.230 Km2 mampu menyerap listrik 10 kali lipat Indonesia yaitu sebesar 10.667 KWh per kapita. Indonesia seharusnya mampu memanfaatkan lahan yang begitu luas sebagai sumber energi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) seiring dengan menambah konsumsi listrik nasional sehingga total energi listrik nasional meningkat dengan memanfaat Energi Baru Terbarukan (EBT).
Merujuk sumber energi tersebut, pemanfaatan EBT solar Indonesia hanya berada pada angka kurang dari 0,01 TWh masih sangat jauh tertinggal dari negara-negara lain. Melihat negara tetangga kita Malaysia mampu menghasilkan 0,8 TWh yang hanya memiliki lahan sebesar 328.550 Km2. Ini artinya dalam segi pemanfaatan kelimpahan energi sinar matahari masih sangat rendah padahal kita memiliki lahan yang luas dan disinari matahari sepanjang tahun karena berada di garis khatulistiwa.
PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) merupakan operator pengelola listrik di Indonesia. Dalam hal ini PT. PLN memiliki banyak stakeholder diantaranya adalah Kementrian ESDM yang mengatur tentang keteknisan, untuk direksi dan komisari diangkat oleh Kementerian BUMN sebagai wakil dari pemekarsa dan subsidi harus mendapatkan approve (persetujuan) dari Kementerian Keuangan setelah diaudit oleh BPK. sehingga PLN secara tidak langsung juga dinaungi oleh dua instansi kementerian tersebut. Dimana KESDM berkoordinasi kepada Kementerian Koordinator Bidang Marves, lalu Kementerian BUMN dan Keuangan berkoordinasi kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Selain itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mempengaruhi PLN karena ada rambu-rambu seperti emisi yg harus diikuti oleh PLN. Hal tersebut menunjukkan bahwa PLN sebagai pengelola operator kelistrikan memiliki banyak stakeholder.
PT. PLN adalah pengelola pemegang usaha kelistrikan seluruh wilayah Indonesia. Namun begitu, PLN tidak sendirian dalam mengelola listrik di Indonesia karena PLN mempunyai Wilus (wilayah usaha) sebanyak 53 dan beberapa anak perusahaan seperti Indonesia Power, Pembangkitan Jawa Bali (PJB) dan masih banyak lagi.
Salah satu kebijakan yang terkait dengan pengelolaan energi yang populer adalah UU No.30 Tahun 2007 tentang energi yang dibuat berdasarkan asumsi-asumsi tetentu dan disertai dengan target pemerintah di masa depan. Kebijakan ini diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.79 Tahun 2014 tentang KEN (Kebijakan Energi Nasional) yang menyatakan tentang bauran EBT. Inilah yang menjadi cikal bakal transisi energi yaitu Presidential Regulation No.22 tahun 2017 tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional).
Berbagai kebijakan tersebut akan mengarah ke penggunaan energi bersih dan energi hijau. Akan tetapi asumsi pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, artinya Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat bagus. Jika pertumbuhan ekonomi 8%, maka di tahun 2025 total kapasitas pembangkit terpasang adalah sebesar 135 GW dan kenyataannya di awal tahun 2022 yang terpasang masih sebesar 72 GW.
Kondisi instalasi pembangkit tersebut terjadi sebagai akibat dari economic growth Indonesia mengalami penurunan pada akhir tahun 2021 sebesar 5,8%. Hal tersebut dikarenakan berbagai situasi seperti pandemi serta krisis lokal dan global di indonesia, sehingga pada tahun 2022 Kementerian Keuangan menggunakan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka 5,4-6 %. Artinya terdapat selisih dari asumsi awal.
Jika saat ini dipaksakan agar sesuai target yaitu sebesar 135 GW maka terjadi kelebihan atau over supply. Jadi, over supply energy terjadi karena asumsi dalam perencanaan energi nasional berbeda dengan kenyataan yang terjadi saat ini sehingga dapat menyebabkan kelangkaan energi dan listrik. Oleh karena itu dibangun berbagai infrastruktur kelistrikan pembangkit, transmisinya serta gardu induknya supaya kebutuhan tersebut tercapai.
Kebijakan-kebijakan terkait kelistrikan dan energi di Indonesia memiliki kesamaan tujuan utama yaitu membawa Indonesia menuju Karbon Netral (Net Zero Emission). Peta jalan Indonesia menuju hal tersebut masih cukup panjang, jika direkap mulai tahun 2021 sampai 2030 maka perjalanan tersebut mulai dari perencanaan dan target bauran EBT lalu mulai menghentikan impor LPG dan membuat EBT didominasi oleh Pembangkit Listrik tenaga Surya karena sifat energi ini yang sangat melimpah dan tidak terbatas.
Diharapkan nanti pada tahun 2060 Indonesia berhasil menghentikan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang sumber energinya adalah bahan bakar fosil dan seluruh motor sudah berbasis energi listrik sehingga Indonesia dapat meningkatkan konsumsi listrik sebesar 5.308 kWh per kapita serta mewujudkan Net Zero Emission (Karbon Netral) melalui affordable and clean energy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H