Indonesia adalah salah satu negara di yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk di Indonesia menurut data sensus penduduk yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik per-tahun 2020 sebesar 270,20 jita jiwa.Â
Seiring berjalannya waktu jumlah ini terus menerus bertambah dengan periode satu dekade terakhir, jumlah penduduk bertambah hingga 1,25 persen poin pertahun. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan kehidupan ekonomi masyarakat berbarengan dengan kesejahteraan sosial.Â
Dengan tidak meratanya kehidupan ekonomi dan kesejahteraan sosial di masyarakat, menimbulkan angka kejahatan di negeri ini tegolong salah satu yang tertinggi di asia tenggara.
Angka kejahatan di Indonesia menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik yang di rangkum dari data Biro Pengendalian Operasi Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di tahun 2019 tercatat sebanyak 269.324 kejadian kejahatan.Â
Angka tersebut adalah angka total aritmatika sederhana yang menggabungkan seluruh jenis kejahatan yang terjadi diluar dari tingkat keseriusan kejahatannya.Â
Jumlah ini termasuk besar karena kalau di konversikan ke tingkat resiko terdampak kejahatan atau Crime Rate, per- 100.000 Penduduk di Indonesia, ada sekitar 103 orang yang berpotensi terdampak kejahatan tersebut ditahun 2019.Â
Walaupun angka ini sudah menurun selama 3 tahun terakhir tetapi masih saja dianggap besar karena jumlah Crime Rate tersebut.
Dengan jumlah penduduk yang tingkat kehidupan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang rendah menyebabkan angka kejahatan yang terbilang besar, sehingga menimbulkan terjadinya overcapacity di beberapa Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara selama proses peradilan pidana di Indonesia dengan hukuman penjara sebagai akhir dari proses peradilan tersebut.
Menurut Direktur Teknologi dan Informasi Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Dodot Adikoeswanto, dalam wawancaranya dengan salah satu media online mengatakan bahwa per 14 Februari 2021 ada sekitar 252.384 warga binaan pemasyarakatan yang terdiri atas narapidana dan tahanan yang dimana kapasitas Lapas dan Rutan negara saat ini hanya untuk maksimal 135.704 orang.Â
Hal ini membuat beberapa Lembaga Bantuan Hukum dan dan pakar hukum di Indonesia mencari alternatif peradilan pidana yang dimana hukumannya bukan berujung pada penjara untuk bisa menekan overcapacity dibeberapa Lapas dan Rutan.
Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berujung kepada Penjara ini juga menimbulkan adanya kepentingan lain diluar dari menegakkan keadilan yang dimana peraturan dijadikan sebuah tameng untuk kepastian hukum saja sehingga mengenyampingkan nilai nilai keadilan yang timbul di masyarakat. Hal ini menjadi kompleks ketika sistem hukum kita yang mengatur aturan formil. Aturan formil sistem peradilan ini di jadikan sebagai alat represif oleh orang-orang yang berseragam atas nama keadilan.Â
Sebagai contoh ada beberapa kasus yang sebenarnya sepele tetapi di bawa hingga ke meja hijau.
Dengan pelbagai permaslahan pelik dan kompleks dalam sistem peradilan pidana di Indonesia mulai dari aturan formil yang dijadikan sebagai bahan represif kelompok berseragam atas nama negara, hingga overcapacity Lapas dan Rutan membuat para praktisi dan akademisi dibidang hukum menyarankan alternatif peradilan pidana salah satunya adalah melalui sistem Restorative Justice.
Keadilan Restoratif memiliki makna memberikan keadilan dengan cara merestorasi keadaan dari setelah terjadinya suatu tindak kejahatan ke keadaan semula.Â
Hal ini bertujuan untuk memberikan keadilan kepada kedua belah pihak baik itu untuk para korban dan untuk pelaku tindak kejahatan dengan menggunakan prosedur mediasi sebagai jalan menuju kesepakatan antara kedua belah pihak.Â
Didalam peradilan pidana sendiri ada yang dikatakan proses peradilan pidana konvensional yang didalamnya ada memuat bentuk restitusi atau ganti rugi terhadap korban tetapi bukan berarti mengesampingkan perkara secara formilnya atau menghentikan proses formil peradilan pidananya begitu saja sehingga tidak bisa menjamin terpulihkanya keadaan kedua belah pihak setelah menjalani proses peradilannya sedangkan untuk restorasi sendiri masih luas pemaknaannya dalam usulan usulan penerapannya.
Keadilan Restoratif sendiri juga memiliki mekanisme yang sederhana dan tidak berbelit belit dan melibatkan pihak korban dan pihak pelaku untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan perkaranya sehingga bisa jadi permasalahan selesai dengan kembaliya ke keadaan semula para pihak tersebut tanpa adanya ujung pemidanaan kepada pihak pelaku.Â
Hal ini sudah bisa dikatakan cukup untuk menekan overcapacity Lapas dan Rutan yang ada di Indonesia dan kemudian bisa mencapai keadilan yang sebenarnya.
Untuk keadilan restoratif sebenarnya tidak ada aturan baku yang mengatur tentang proses peradilan pidana yang seperti ini, akan tetapi hal ini sebenarya sudah bisa diterapkan melalui proses formil apabila aturan tentang sistem peradilan pidana lebih kepada penanganan yang humanis dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.Â
Namun, karena sekarang kita dihadapkan oleh aturan baku yang menetapkan kepastian hukum terhadap pelaku melalui kewenangan polisi yang tidak memiliki kebijakan diskresi terhadap kasus, yang dimana apabila telah cukup bukti maka perkara yang ditangani harus dilanjutkan sesuai dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.Â
Oleh karena itu, para praktisi dan akademisi hukum menyarankan diracangnya Undang Undang KUHAP yang baru dengan mengedepankan pendekatan keadilan restoratif demi mewujudkan keadilan yang sebenarnya, dan memang sangat perlu untuk dikaji kembali tentang pendekatan restoratif ini apakah memang sesuai dengan kultur masyarakat yang terbangun atau memang tidak sesuai sehingga diperlukannya alternatif lain untuk mencapai keadilan yang seadil-adilnya sekaligus menekan overcapacity Lapas dan Rutan yang ada di Indonesia saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H