"Bah, samanya apa bedanya" protes ku dalam hati.
"Suara -i-nya harus terdengar" kata Pak Sinaga memelototi ku.
"Ulang" katanya lagi.
"Disis e teibel" kataku pelan, dia berlalu dari samping ku dengan gerutuan yang tak jelas kudenger. Lutut ku lemas, jantung ku hampir copot.
Aku melirik gadis cantik di sampingku.
"Mariani, Mariani...". Engkau adalah dara cantik jelita, rambutmu yang panjang bagaikan mayang terurai, pinggul mu yang aduhai dan suara mu yang merdu.
Aku menyadari kebodohanku dibandingkan dengan teman-teman sekelas yang kebanyakan dari salah satu SD di kota ini. Sesekali aku melirik Mariani tapi dia cuek saja. Pura-pura menulis "Rasakan....", mungkin itu yang dia pikirkan.
Tak terasa, bunyi lonceng pergantian pelajaran pun berbunyi. Dari kejauhan, Pak Buaton guru matematika berjalan menuju kelas kami belajar. Sebelum pelajaran dimulai, dia berjalan ke arah ku. "Tak salah lagi, hari ini hari paling apes sedunia" batinku, lalu aku menundukkan kepalaku.
Lama dia memperhatikan apa yang ku kerjakan. Aku merasakan jari-jari tangannya yang sudah keriput itu membelai rambut ku pas di atas telinga. Awalnya, tidak sakit. Lambat laun, tangannya bergerak ke atas, pelan tapi pasti. Kalau bisa berteriak aku pasti melakukannya. Sampai-sampai aku berdiri mengikuti gerakan tangannya. Luar biasa sakitnya, sampai-sampai beberapa helai rambut ku copot.
"Jangan tanya kenapa", katanya datar. Aku terdiam. Kulihat kakinya berjalan ke belakang. Aku menoleh sedikit, dan ketiga temanku yang kemarin bolos menundukkan kepala dalam-dalam. Menunggu giliran.
Beberapa menit kemudian, Pak Buaton sudah asyik dengan Himpunan Penyelesaiannya. Suasana hening melebihi kuburan. Ku lirik ke belakang, Santun-temanku main kiu-kiu kemarin- mengangguk-angguk mendengar penjelasan Pak Buaton. Padahal aku tahu kapasitas otaknya, tidak lebih baik dariku. Aku tersenyum.