Mohon tunggu...
Breedie
Breedie Mohon Tunggu... -

Easy but Spicy | breedie.com ~ kadang nyeleneh, kadang garing, kadang tidak menulis

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Melihat Cara Orang Kota dan Orang Desa Menggauli Internet

22 Desember 2018   12:20 Diperbarui: 22 Desember 2018   12:52 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun tidak diakui, internet sudah mengubah tiga item kebutuhan primer manusia yang pernah tertera di buku IPS. Setelah sandang, pangan, dan papan, kini ditambah satu lagi yakni internet. Item keempat ini tanpa sadar secara masif dan otomatis telah ter-inject sendiri ke lingkaran kebutuhan utama: lapar kalau belum makan, cemas kalau belum update status wasap. Keduanya saling bergandengan untuk mengubah wajah manusia di masa depan.

Di kota enak. Jaringan internet melimpah. WiFi gratis di mana-mana. Makin kekinian bukan lagi pengguna yang cari jaringan, tapi jaringan yang berdesak-desak masuk ke dalam smartphone.

Namun, laku itu dialami berbeda oleh manusia kota dan manusia desa (baca: kampung). Internet memang sudah jadi kebutuhan primer warga kota, sedangkan warga desa belum menjadikannya self problem. Perbandingan ini menurut pengamatan saya di dua "kampung" yang sering saya wara-wari. Artinya, keadaan bisa berbeda di tempat lain. Kalau ada kesamaan, anggap saja itu kebutuhan.

"Kampung" pertama mini city Matangglumpangdua. "Kampung" kedua main city Rembele.

Matangglumpangdua tempat kelahiran saya. Kota kecil ini berjarak 12 kilometer dari ibu kota Kabupaten Bireuen, Aceh. Karena namanya panjang, saya pangkas saja jadi Matang tok. Matang kota kecil yang gersang. Anginnya kering. Tanah cuma basah di bulan-bulan tertentu.

Namun, tak perlu saya ceritakan soal kuliner khas di sini. Itu salah satu kelebihannya hingga saya mencintai kota ini dengan alasan tertentu. Memangnya siapa yang tidak mencintai tanah kelahirannya sendiri?

Matang memang telah berubah banyak dalam dua dekade belakangan. Dulu, simpang kota tak terlalu ramai. Sekarang begitu riuh. Teriakan-teriakan menggema di lampu merah, berpadu aroma sate. Breeders tau di mana simpang Matang, kan?

Ramainya simpang itu menjadi zoom out dari pemukiman padat penduduk di belakang pertokoan tersebut. Namun, itu belum seberapa. Bertambahnya jumlah penduduk ikut melahirkan wajah baru kota yang sesak dengan jaringan internet.

Tak perlu ke warung sate atau warung kopi berdesain interior yang wow untuk menikmati jaringan internet nirkabel gratis ini. Warung leha-leha pinggir sawah tempat anak muda tanggung nongkrong, yang hanya menjual rokok dan cemilan anak-anak, pun sudah melengkapi diri dengan jaringan WiFi.

Belum lagi dengan jaringan WiFi pribadi tetangga yang bertebaran penuh sesak. Jika WiFi smartphone diaktifkan, bakal terlihat banyaknya jaringan yang bertengger di list setting.

Warga kampung kini sepertinya bukan lagi pamer siapa paling tinggi pasang antena TV UHF. Mereka saling unjuk antena WiFi berkecepatan tinggi. Masing-masing tetangga saling update status wasap lalu pamer screenshot download IDM speed 5MB di timeline Facebook. Macam Breeders dulu di awal-awal pasang Speedy, kan? Hayoo ngaku....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun