Mohon tunggu...
Bre Dahana
Bre Dahana Mohon Tunggu... -

Member Angkringan Lik Jo & Nonpartisan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemimpin dalam Jangkauan Rakyat

29 April 2014   21:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:03 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa jadinya kalau pemimpin jauh dari rakyat, diluar jangkauan rakyat? Hal yang paling mendasar tentu pemimpin tersebut akan sulit menyerap aspirasi rakyat yang sebenarnya. Komunikasi yang terbangun adalah komunikasi searah bukan komunikasi timbal balik yang dapat menghasilkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Pemimpin yang jauh dari jangkauan rakyat bukan tipe pemimpin yang ngayomi tetapi pemimpin yang ngangkangi rakyat. Kebijakan-kebijakan yang diambil pemimpin yang jauh dari rakyat bersifat top down dan menjadikan rakyat hanya sebatas obyek, bukan subyek pembangunan. Pemimpin seperti ini berwatak ndoro dan priyayi, tertutup, impulsif dan anti kritik. Bukan kepemimpinan yang nguwonge rakyat. Gaya kepemimpinan seperti ini sudah pernah kita alami saat Orde Baru mencengkeram bangsa ini.

Di masa pemilu tentu sulit bagi kita mencermati mana pemimpin yang jauh dari jangkauan rakyat dan mana pemimpin yang dekat dengan jangkauan rakyat. Karena di masa pemilu semua pemimpin akan berpura-pura dekat dengan rakyat. Mudah dijumpai, mudah diajak salaman, mudah merangkul rakyat dan mudah berbincang dengan rakyat. Namun kita dapat menilai watak pemimpin dari keseharian mereka, apakah benar-benar dekat dengan rakyat atau hanya sebatas kepura-puraan untuk menarik simpati rakyat.

Menarik membaca Majalah Tempo edisi 28 April – 4 Mei 2014 halaman 34 – 37 yang berjudul Ring Satu-Dua Penjaga 08. Dalam tulisannya, tim wartawan Tempo mengungkapkan betapa berlapisanya prosedur dan penjagaan terhadap Prabowo Subianto, capres yang diajukan Partai Gerindra. Tidak mudah bagi pengurus Partai Gerindra maupun tetamu untuk beranjangsana ke kediaman Prabowo di Desa Bojongkoneng, Hambalang Bogor. Selain harus “melewati” persetujuan “Kesatria Jedi” – demikian sebutan untuk para ajudan Prabowo – tetamu juga harus melewati tiga lapis penjagaan pengawal Prabowo. Tiap lapis penjagaan Prabowo terdiri dari enam orang, jadi ada 18 personil penjaga Prabowo. Semua pengawal Prabowo dilatih oleh mantan anggota Kopassus dan dipilih oleh Prabowo sendiri.

Bukan perkara mudah untuk bertemu dengan capres yang dinilai banyak kalangan sebagai seorang nasionalis ini. Keluhan juga muncul dari kader Partai Gerindra sendiri. Pengurus di tingkat cabang harus mengajukan permohonan lewat pengurus provinsi yang kemudian meneruskannya ke pengurus pusat untuk bertemu Prabowo. Permohonan lalu disampaikan melalui Dewan Pembina, kalau permohonan disetujui baru ajudan mengatur waktu untuk bertemu. Hal-hal tersebut membuat sejumlah kader Partai Gerindra gusar karena Prabowo sulit untuk mereka jangkau. Sehingga para kader menuduh para ajudan tidak pernah menyampaikan pesan mereka kepada Prabowo. Jadi, kalau pengurus Partai Gerindra saja sulit untuk bertemu langsung dengan Prabowo apalagi kita sebagai rakyat kebanyakan.

Gaya kepemimpinan yang bertolak belakang ditunjukkan dengan konsisten oleh capres yang diusung PDIP dan Nasdem, Jokowi. Sejak memangku jabatan sebagai Walikota Solo, Jokowi selalu menunjukkan gaya kepemimpinan yang mudah dijangkau oleh rakyat karena Jokowi mau hadir di tengah rakyat. Tanpa prosedur yang berbelit dan tanpa pengawalan berlapis, rakyat gampang berkomunikasi dengan Jokowi. Bahkan tidak perlu repot-repot rakyat yang sowan ke Jokowi tetapi justru Jokowi yang sowan ke rakyat. Blusukan adalah langkah nyata Jokowi untuk sowan ke rakyat.

Jokowi melakukan blusukan bukan hanya ketika ingin mengambil hati rakyat untuk memilih dia tetapi dia lakukan secara konsisten untuk memahami problem-problem kerakyatan. Blusukan digunakan Jokowi untuk membangun komunikasi dialogis dengan rakyat guna menyelesaikan problem-problem pembangunan yang ada. Meski banyak dikritik blusukan yang dilakukan Jokowi adalah pencitraan semata tetapi nyatanya Jokowi tetap melakukannya dengan konsisten karena Jokowi ingin selalu hadir di tengah rakyat dan mudah dijangkau oleh rakyat. Jokowi adalah antitesa dari gaya kepemimpinan Orde Baru karena Jokowi ingin pembangunan dilakukan secara bottom up.

Sekarang terserah kepada rakyat, memilih pemimpin yang jauh dari jangkauan rakyat atau memilih pemimpin yang terbukti dekat dengan rakyat. Pemimpin yang duduk di menara gading atau pemimpin yang menghayati bahwa dia adalah bagian dari rakyat itu sendiri.

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun