Usia tak halangi Sunardi untuk tetap mencari rejeki. Ditemani istri, Sunardi gelar tikar buka jasa pijat urut jalanan.
Sunardi (66) atau biasa akrab disapa Mbah Nardi memulai jasa pijat jalanan sejak 3 tahun lalu. Bersama istri bernama Ani (50), ia melayani pijat mulai pukul 19.30 WIB hingga 00.00 WIB. Sebuah trotoar yang berada di Jalan Gejayan, tepatnya terletak di depan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menjadi lokasi bagi keduanya untuk memainkan jari jemarinya di tubuh pelanggan yang membutuhkannya.
Mbah Nardi mengaku telah menekuni pijat urut sejak 1974 silam. Tanpa melalui latihan khusus, ia merasa dapat memijat secara otodidak yang juga turunan dari orang tua. Awalnya, Mbah Nardi mendapat panggilan pijat dari hotel ke hotel. Namun, sejak 3 tahun lalu panggilan kian menurun. "Ya dulunya di hotel-hotel e mas. Karena sepi gak ada manggil lagi makanya disini aja." Kata Mbah Nardi saat ditemui sembari memijat pelanggan pada Sabtu malam (9/11/2019).
Setiap malam, kaki rentan Mbah Nardi dan Ani harus mengayuh sepeda ontelnya menuju tempat yang menjadi peruntungannya kini. Bertempat tinggal di kawasan Klebengan, keduanya merasa tidak letih menggunakan sepeda. "Ya kalo capek ya gimana, udah biasa e mas. Dua kilo ada dapat ya." Ujar Ani. Menembus dinginnya malam, keduanya harus tetap berangkat untuk mencari rejeki. Tidak lupa membawa spanduk bertuliskan "Pijat Urut Jalanan" yang akan dipasang di sepeda saat tiba di lokasi.
Menggunakan karpet yang sederhana sebagai alas serta kasur kecil dan tipis, Mbah Nardi melayani jasa pijat untuk salah urat, keseleo, stroke, sakit kepala dan pegal-pegal. Tarif standar yang diberikan sebesar Rp50.000. Cepat dan lambatnya disesuaikan dengan pelanggan. "Biasanya pijat 25 menitan. Ya tergantung orangnya kalau sudah merasa baik, enak ya udah. Kalau belum lanjut." Jelas Mbah Nardi.
Pendapatan yang diperoleh tidak menentu. Pasalnya, tidak setiap malam ada yang datang untuk pijat. Menurut Ani, pelanggan tidak menentu. Paling banyak 4-6 orang. "Gak nentu uangnya, kalo 50 ribu ya buat Ibu aja kata Bapak." Ujar Ani. Terkadang hujan menjadi faktor bagi rejeki Mbah Nardi. Kehujanan dan sepi pelanggan adalah hal pilu yang harus dihadapi. Tidak membuka praktek beberapa hari lantaran hujan juga duka yang harus dirasakan.
Hidup yang dijalani keduanya terbilang sangat sederhana. Mereka hanya mengharapkan penghasilan dari jasa pijat jalanan. Terkait tempat tinggal, keduanya menghuni sebuah kos-kosan di daerah Klebengan. Ani bercerita, terdapat dua kamar yang disewa. Satu kamar untuk pribadi, satunya untuk praktek jasa pijat. Pendapatan yang tidak menentu membuat Ani kesulitan untuk mengatur uang makan dan keseharian. Terpaksa Ani harus menggunakan uang bayar sewa kos untuk keseharian bila tak ada pemasukan. Â "Ya pake uang kemarin itu. Uang untuk kosnya dipinjam lagi, dipake lagi." terang Ani.
Bekerja di usia lanjut bukanlah perkara yang mudah. Ini pula yang dirasakan oleh Mbah Nardi dan Ani. Rasa lelah seringkali menghampiri. Namun, praktek pijit harus tetap berjalan. "Capek pernah. Ya tetap pijit. Kalo capek sekali ya Bapak aja yang mijit." Kata Ani. Â Kepada penulis, Mbah Nardi berkata mereka harus tetap bekerja meski telah berumur lantaran perekonomian yang buruk. "Ya orang gak mampu, siapa yang mau ngasih kalo ga nyari sendiri."
Sementara itu, Mbah Nardi dan Ani kini tinggal berdua. Mereka memiliki 6 orang anak, 1 laki-laki dan 1 perempuan. Kelimanya kini telah berkeluarga dan bekerja diluar kota. Sedangkan, anak yang bungsu entah dimana keberadaannya. Penulis sempat menanyakan terkait tanggung jawab kelima anaknya kepada mereka. Menurut Ani, anak-anaknya telah memiliki penghasilan. Namun, itu hanya cukup untuk keluarga dan anak-anak mereka. "Ya menghasilkan, tapi untuk keluarganya, anak dan istrinya. Kalau banyak pasti udah dikasih. Gak perlu pijit gini. Maunya juga gitu." tutur Ani dengan raut wajah yang berbeda.
Tidak ada pekerjaan lain yang dilakukan selain pijat urut. Mbah Nardi dan Ani hanya mengharapkan rejeki dari penghasilan pijat urut. Penghasilan yang diperoleh hanya untuk menghidupi kehidupan Mbah dan Ani.Â