Berjumpa dengannya, kala hati secerah pagi, seiring kampung halamannya, sedang menyambut masa gemilang. Ia ada dalam barisan awan, bertahta di langit biru tempatku mengadu, atas kembaraku yang tak jua menemukan pelabuhan.
Perasaan yang lama kucegah, harus mekar. Pandanganku terpaku, menghayati setiap peluh yang jatuh dari keningnya, ketika tebu perlahan runtuh oleh tebasannya. Kukulum senyum, ketika lain waktu, jari lentiknya menggoyang sejumlah pemuda, untuk sama-sama menghunus parang, ramai-ramai terjun ke lahan.
Karenanya, aku memahami kekuatan yang disembunyikan dalam kelembutan. Menggunakan tenaga sesuai waktunya. Membaca celah atas pertahanan yang lemah Menggunakan kekuatan dengan tepat, jauh dari khotbah soal itu, yang sering kudengar di atas mercusuar.
Dengannya, aku merasa segan, meminum kopi yang ia suguhkan. Gentar ketika berboncengan, kala pagi lalui jalan-jalan tikus memburu sungai. Tak enak hati, pada nasi yang ia sediakan, waktu marung kami berdiri ditengah hamparan padi.
Mungkin ini waktunya, ini waktuku terhenti dari pelarian…
Dan suatu pagi, suara sandal jepitku, nyaring dan gagah, mendekati pintu rumah berdinding bambu. Itulah rumahnya, kadang terlihat dari kejauhan dapurnya tak berasap. Konsekwensi hidup dalam kepungan perkebunan tebu. Mengandalkan upah harian yang jumlahnya lebih besar pasak daripada tiang.
Sebelum ku ucap salam, sebuah pesan muncul di layar handphone, bahwa aku harus penuhi tugas yang lain, di tempat yang jauh, tempat yang tak pernah aku bayangkan.
Jikapun waktunya tiba bagiku mengutarakan isi hati dan merancang masa depan, mencangkul lahan yang telah terhampar. Aku meyakini, Ia takkan menerimanya. Baginya, sebagaimana gadis yang tumbuh di perkampungan, keadaan telah  lama mendidiknya. Pikirannya jauh melampaui usia yang tergambar dari paras lembutnya. Baginya, ilusi dan kenangan manis, cukuplah tersimpan dalam lembar-lembar ijazah  dan masa sekolah. Tak mungkin merengkuh masa depan bersamaku, kembara yang lupa jalan pulang.
Meski terdengar isak dari kejahuan, aku meyakini, secepatnya akan terhapus oleh pohon karet yang tumbuh seiring musim, hilang oleh bulir padi setiap kali panen tiba, luruh oleh tangisan kecil, kelak jika ia telah menimangnya.
Senja luruh sinari bibit karet yang baru tumbuh, anak-anak kecil berlarian di setapak jalan, muda-mudi kini percaya diri untuk saling mengikat  janji masa depan.
Sandal jepitku berbalik arah, menjauh tinggalkan isak tangis itu…
Catatan lain perjalanan, menunggu bis Pahala Kencana datang.
BJ-SS- 2009.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H