Mohon tunggu...
Angga Bratadharma
Angga Bratadharma Mohon Tunggu... lainnya -

Pembaca dan Penulis More Info visit my blog : Bratadharma.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mempertahankan Kedamaian Seutuhnya

2 September 2015   21:52 Diperbarui: 2 September 2015   21:52 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi (sojo.net)"][/caption]Bekasi, AnggaBratadharma (2/9/2015) - Pada dasarnya tiap individu memiliki keinginan untuk bisa mendapatkan rasa damai dalam dirinya, termasuk melihat sebuah perdamaian atas apa yang mampu dilihat dari sekelilingnya. Namun, individu sekarang terasa sangat jauh dengan rasa damai itu, termasuk melihat sebuah perdamaian pada sekelompok masyarakat di suatu negara.

Ketika abad ke-20 dimulai, ada keyakinan umum bahwa kemajuan manusia itu tidak terbatas. Namun, idealisme besar dan tujuan luhur yang di dambakan sejak permulaan abad itu justru harus luntur oleh ideologi kaum ekstremis yang menyebar cepat ke seluruh pelosok di dunia, yang selanjutnya ada sebuah peristiwa besar tentang pembantaian manusia secara besar-besaran.

Bahkan, pada abad selanjutnya, sulit untuk tidak melihat adanya sebuah tragedi dan kebrutalan manusia yang tiada henti, kerusakan berat terhadap lingkungan hidup secara global, kesenjangan sosial yang teramat keras, bahkan ketimpangan dari segi perekonomian antara mereka yang disebut orang kaya dengan mereka yang lazim disebut orang miskin.

Indonesia sendiri hingga sekarang bisa dikatakan belum terbebas dari berbagai penjajahan dan masih jauh dari rasa perdamaian yang menyelimuti sanubari tiap individu. Meski sudah berpuluh-puluh tahun Indonesia merdeka dan terbebas dari belenggu penjajah, namun kenyataanya Indonesia belumlah terbebas dari belenggu penjajahan yang sebenarnya, baik itu kemiskinan akut, penjajahan dalam aspek ekonomi, kekerasan, ketidakadilan pada lini-lini kehidupan, penghilangan hak-hak manusia, kehilangan hak hidup layak maupun mendapat pendidikan memadai.

Bahkan, umat manusia di seluruh penjuru dunia masih terus dihantui dengan rasa ketakutan yang begitu mendalam, seperti adanya ancaman senjata pemusnah massal, praktek-praktek konspirasi besar yang berorientasi kepada harta, tahta dan wanita, perusakan lingkungan besar-besaran tanpa belas tanggung jawab dan dampaknya kepada pemanasan global, dan merebaknya kejahatan-kejahatan yang brutal dan belum ada tindakan teramat tegas untuk memberikan efek jera.

Sebut saja persoalan yang menyangkut aksi premanisme di Indonesia, pemberontakan yang dilakukan terhadap pemerintahan Indonesia, pembantaian massal di Palestina oleh zionis Israel, pembantaian massal di Afghanistan, dan kasus pembantaian para warga di Mesir.

Pada hakikatnya, tidak bisa dipungkiri kehidupan kita sekarang lebih layak dibandingkan saudara-saudara kita saat hidupnya dalam keadaan perang dunia, termasuk saat penjajahan merajalela di Tanah Air. Kita termasuk orang-orang yang menikmati indahnya matahari pagi yang bersinar cerah, menikmati dinginya air hujan yang turun, menikmati sepoinya angin tertiup, dan menikmati pemandangan jingga saat matahari terbenam.

Meski kita mampu merasakan itu, namun jauh dari lubuk hati yang mendalam masih banyak persoalan yang belum tuntas dan terbatas pada persoalan gengsi, tanggung jawab, keserakahan akan harta, kekuasaan, dan tidak tahu malu akan keberadaanya sebagai mahluk sosial. Hal-hal itu membuat kita, atau masyarakat Indonesia masih jauh dari rasa damai. Perdamaian seakan hanya selintas waktu, yang sulit dipertahankan pada waktu yang lama.

Apa yang diperlukan agar sejarah bisa berubah, yakni keluar dari era kegelapan menuju era cahaya terang? Cahaya terang yang seperti apa, yang bisa bertahan begitu lama untuk menyinari perjalanan kedamaian bagi tiap individu di Indonesia, termasuk di dunia? Dan, siapakah yang bisa membawa cahaya terang itu dan bertahan hingga batas waktu yang telah ditentukan, untuk nantinya dilakukan estafet perubahan pemegang cahaya terang itu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin harus kita ajukan kepada diri sendiri.

Presiden Soka Gakkai International Daisaku Ikeda, seorang penulis yang merupakan tokoh penerima Medali Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1983, mengatakan, perdamaian merupakan anugerah atas pengendalian diri dan dialog yang tulus, serta suatu pengungkapan rasa hormat yang paling tinggi. Perdamaian harus dimulai di tingkat individu, barulah kemudian menyebar ke sendi-sendi masyarakat yang terdalam.

Ikeda sendiri merupakan di antara tokoh yang terus memperjuangkan perdamaian terjadi di seluruh tanah didunia ini. Asal muasal pemikiran tentang perdamaian sendiri bermula dari terjadinya perang di negara asalnya, Jepang. Saudaranya merupakan korban peperangan. Saudaranya menjadi korban penyebrangan fatal ke Imphal, India.

Dalam suatu tulisanya, Ikeda pernah menuliskan hal ini, "Saya menentang perang! Saya sungguh-sungguh menentangnya! Banyak orang muda segenerasi saya yang terpikat oleh pemerintahan militer, dengan bangganya pergi ke medan perang dan menyerahkan nyawa di sana. Sanak keluarga yang ditinggalkan dipuja-puji atas pengorbanan mereka sebagai para "ibu militer" dan "keluarga prajurit perang".

Cerita yang didapatkan saudaranya itu pada akhirnya membuat Ikeda memiliki pemikran bahwa dalam kenyataanya, betapa rasa tersiksa dan berduka memenuhi batin para keluarga yang ditinggalkan sanak keluarganya untuk berperang. Betapa tanpa kepedulian akan kegaluan batin ini, pujian dan simpati orang lain yang dibuat-buat itu hanya menancapkan luka yang dalam di hati para ibu dan anak-anak yang ditinggalkan.

"Cinta kasih ibu, kearifan ibu, terlalu besar untuk dikecoh oleh slogan semu "demi bangsa", tulis Ikeda

Karenanya, tidak ada salahnya kita memerlukan sebuah dialog-dialog yang mengedepankan rasa idealisme dan kesadaran akan keadilan dalam kehidupan yang mendasari rasa kemanusiaan, semangat, kejelasan dan luasnya pengetahuan dalam seruan untuk perdamaian. Dan, melucutinya senjata sangat diperlukan bila kontras dengan kebisuan atau anjuran yang bertentangan dari para pemimpin politik negara-negara militeristik masa kini.

Untuk satu hal ini, semoga para pembaca yang terhormat memiliki keinginan menganugerahkan suatu pemikiran dan kontribusi nyata meski hal itu kecil, untuk sebuah perdamaian umat manusia di abad sekarang ini, tidak peduli apapun agama pembaca, tapi perdamaian yang memang sepatutnya didasari oleh agama yang di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, jika kedamaian tidak datang dan dimulai dari kita sendiri, lalu dari mana kedamaian itu datang. Saatnya menyebarkan kedamaian dan mempertahankan rasa kedamaian itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun