Bekasi, AnggaBratadharma (14/6) - Pemerintah sekali lagi akan berhadapan dengan keputusan yang teramat berat dampak politisnya dalam waktu dekat ini, yakni kebijakan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Bahkan, Pemerintah terbilang terlambat dalam menyikapi permasalahan BBM bersubsidi ini, yang akhirnya persoalan bukan fokus berada pada lingkup fiskal anggaran Pemerintah.
Menjelang pesta rakyat, Pemerintah kembali dilema dengan tarik-menarik kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi. Pihak oposisi dan pihak koalisi langsung saling merespon manakala Pemerintah melakukan komunikasi politik terkait kenaikan harga BBM bersubsidi kepada khalayak luas. Beragam pandangan meruak ke permukaan melalui media massa, sang pembawa pesan. Manuver politik saling sahut menyahut menyambut pesta rakyat itu.
Dari dua sisi pandang berbeda, pihak industri menyambut positif kepastian kenaikan harga BBM bersubsidi. Bahkan, industri sudah melakukan sejumlah langkah untuk menghadapi shock atas dampak kenaikan harga BBM bersubsidi. Namun, satu sisi lain para politis yang bergelut dalam kursi-kursi bayangan kekuasaan saling bentak-membentak membawa-bawa nama rakyat atas BBM bersubsidi.
Dalam konteks ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus mampu melakukan sejumlah langkah dalam meredam aksi-aksi yang berujung kepada kesemerawutan dan kekacuan atas nama rakyat. Komunikasi politik yang dilontarkan Presiden SBY menjadi penentu, apakah mampu menegaskan kehadiranya sebagai pemimpin yang mampu membuat rakyat segan, ataukah lawan politiknya bermain menggunakan mesin politik untuk memanfaatkan ketidaktegasan Presiden SBY perihal BBM bersubsidi ini.
Menjabarkan melalui komunikasi politik, Pemerintahan terbilang rawan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak perlu dan cenderung mengarah kepada kemarahan rakyat. Sebab, dari sisi ekonomi perihal kenaikan harga BBM bersubsidi sudah harus dinaikkan pada tahun-tahun sebelumnya. Ketika ditahun-tahun sebelumnya current account defisit sudah menunjukkan angka peningkatan, maka pemerintah seharusnya menyadari adanya ketidakberesan atas keseimbangan itu.
Bahkan, ketika keseimbangan impor dan ekspor semakin timpang, baik akibat buruknya kinerja ekspor akibat krisis global maupun semakin membengkaknya impor migas Indonesia dari waktu ke waktu, seharusnya disikapi dengan tidak memanjakan masyarakat dengan subsidi energi secara terus menerus. Sewajarnya masyarakat diberikan kesadaran akan tidak seimbangnya anggaran pemerintah. Hal-hal inilah yang harusnya bisa dijadikan data oleh pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya dalam menyejahterakan rakyat ketika subsidi dicabut.
Terlepas dari itu semua, upaya pemerintah sekarang dihadapkan pada perkara politik, bukan kepada kemampuan daya beli masyarakat ketika BBM bersubsidi dinaikkan, dan dampaknya kepada inflasi. Pemerintah dan DPR sendiri sudah menyepakati bahwa inflasi akan diangka 7% pada tahun ini. Artinya, risiko kenaikan harga barang kebutuhan dan transportasi sudah tidak mungkin akan menyesuaikan atau tepatnya mengalami peningkatan.
Ketika pemerintah sudah menetapkan hati untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, lagi-lagi pemerintah dihadapkan pada sebuah tantangan yang datang dari sisi politik. Bila membedah dari sisi komunikasi politik, maka jelas sekali komunikasi politik yang dilakukan pemerintah sering sekali diorientasikan kepada partai politik yang tidak setuju dengan rencana pemerintah dan pelaku industri, minim sasaran komunikasi politik kepada masyarakat, terutama masyarakat menengah ke bawah.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), merupakan dua partai politik besar di Indonesia yang cukup lantang menolak kenaikan harga BBM bersubidi. Ini jelas menjadi tantangan bagi Partai Demokrat, dan Presiden SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai berlambang Mercys itu. Karenanya, perihal kenaikan harga BBM bersubsidi ini sudah bercampur pada masalah poltik, sehingga komunikasi politik yang dilakukan pemerintah cenderung high conteks.
High yang dimaksudkan sendiri komunikasi terkait kebijakan pemerintah tidak to the point, atau berputar-putar. Meski beralasan untuk memperluas wawasan pengambilan keputusan, tetap saja keputusan yang diambil jarang melihat dari sisi kerakyatan, meski membawa-bawa nama rakyat.
Padahal, para pengamat politik dan pengamat ekonomi cenderung melihat bagaimana pemerintah mampu membangun paradigma perekonomian kerakyatan yang dapat bertahan manakala dihadapkan pada sebuah persoalan multidimensi seperti soal BBM bersubsidi ini. Seperti membangun sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) dengan membangun sistem pendanaan yang memadai dan pelatihan serta pendampingan.