Di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir ini, menjaga kondisi tubuh agar tetap fit adalah hal yang wajib dilakukan. Namun untuk membantu tubuh agar selalu sehat, kondisi mental kita juga harus stabil. Tidak sedikit masyarakat yang berusaha keras memperkuat imun dengan makan makanan bergizi dan teratur, serta mengonsumsi berbagai macam vitamin, meskipun akhirnya jatuh sakit juga dikarenakan terlalu stress.
Stress merupakan sebuah tekanan psikologis dan fisik yang bereaksi saat menghadapi situasi yang dianggap berbahaya atau suatu ancaman. Dengan kata lain, stress adalah cara tubuh setiap manusia dalam menanggapi segala jenis tuntutan dan tekanan apapun di situasi yang sulit. Hal ini dibuktikan ketika manusia merasa terancam, maka sistem saraf akan merespon dengan melepaskan aliran hormon adrenalin dan kortisol.Â
Dan stress yang berkepanjangan akan membuat tubuh rentan terhadap penyakit. Kupriyanov dan Zhdanov dalam penelitian milik Nasib Tua Lumban Gaol pada jurnal Bulletin Psikologi dengan judul Teori Stress : Stimulus, Respons, dan Transaksional Vol. 24, No. 1, 2016, mengungkapkan bahwa stress merupakan masalah yang sering terjadi dalam kehidupan manusia, dan menjadi sebuah atribut untuk kehidupan modern.
Menurut Ilham Akhsanu Ridlo dalam risetnya yang dimuat pada INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental yang berjudul Pandemi COVID-19 dan Tantangan Kebijakan Kesehatan Mental di Indonesia Vol. 5, No. 2, 2020, bahwa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) telah melakukan survei kesehatan mental melalui swa periksa yang dilakukan secara daring dan menjelaskan sebanyak 63% responden mengalami kecemasan dan 66% responden mengalami gangguan depresi akibat pandemi COVID-19.
 Gejala cemas yang utama tersebut ditandai dengan rasa khawatir akan sesuatu yang buruk akan terjadi, tingkat emosi yang tidak stabil ( sentimental ), serta sulit sekali untuk merasa tenang (rilex). Sementara gejala depresi tanda utama yang muncul yaitu gangguan tidur, ketidakpercayaan diri ( lack of confidence ), mudah merasa lelah, tidak bertenaga, dan kehilangan minat.Â
Kemudian sebanyak 80% dari responden memiliki gejala stress pasca trauma psikologis akibat sebagian besar dari mereka mengalami atau menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait COVID-19. Gejala stress berat dialami oleh sekitar 46% responden, gejala stress sedang dialami oleh 33% responden, dan gejala stress ringan dialami 2% dari responden, sementara 19 %-nya tidak mengalami ketiga tingkatan dari gejala stress tersebut.
Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan antara kondisi tubuh yang fit dengan kondisi mental yang stabil seharusnya masyarakat bisa menyempatkan waktu untuk melakukan olahraga rutin. WHO menganjurkan untuk orang dewasa agar dapat melakukan olahraga sekitar 150 menit per minggu dengan intensitas sedang atau 75 menit per minggunya dengan intensitas yang lebih berat.Â
Namun untuk para pemula (jika hal tersebut dirasa terlalu berat) bisa memulainya secara bertahap, seperti per 2 sesi setiap harinya yaitu 15 menit dilakukan di pagi hari dan 15 menit dilakukan di sore hari atau bisa juga dilakukan sekitar 10-15 menit per harinya untuk membiasakan diri. Berolahraga sendiri tidak perlu dengan gerakan sulit seperti yang dilakukan oleh para profesional, cukup lakukan secara bertahap seperti jalan-jalan setiap pagi, lari kecil, naik turun tangga, treadmill atau dengan melihat tutorial pemanasan ringan (senam aerobik, zumba, workout ringan) di Youtube.
Seperti salah satu contoh yaitu dalam quasi eksperimen yang dilakukan oleh Nyahmini Ambar Sari dan Siti Sarifah yang ditulis pada Jurnal Profesi Vol. 13, No. 2, 2016, memberi hasil bahwa senam aerobik low impact dalam intensitas sedang dapat membantu menurunkan tekanan darah karena terjadi relaksasi pada pembuluh-pembuluh darah di tubuh, terutama bagi para lansia penderita hipertensi. Jadi, aerobik dapat dikatakan sebagai "manajemen hipertensi" (tekanan darah tinggi). Dan seperti yang kita ketahui bahwa faktor pendukung timbulnya hipertensi adalah tingkat stress seseorang.