Seperti biasa-- seperti hari-hari yang lalu-lalu aku terjaga ketika sang kallam menggaung di udara,menyebut nama-Mu dan keagungan-Mu. Bertaludi antara keheningan sang fajar yang masih berselimut kabut tipis, memanggil mereka untuk lekas bangun dan bersimpuh di ujung kaki-Mu. Dan seperti janji-Mu, mereka yang bersujud di kala yang lain tengah terlelap, akan Kau penuhi semua harap dan pintanya. Bibir kecil penuh buluku pun tersenyum mendengar kalimat indah yang meluncur dari mulut seorang ustadz muda beristri dua yang kabarnya hendak menceraikan salah satu istrinya itu, kemarin. Terserahlah. Tapi aku yakin dengan ucapannya itu. Entah mengapa, tapi aku yakin. Sambil menjilati cakar-cakar lucuku, aku tidur lagi di singgasanaku.
*****---*****
“Di rumah megah ini aku adalah raja!” teriakku memecah keheningan pagi. Kolonel Tambunan hanya tersenyum geli sambil mengusap-usap kepala halusku.
“hahaha… dasar pemalas, mengeonglah terus kalau sudah datang waktu makan.” Kata Kolonel Tambunan sok mengerti apa yang kukatakan.
“cih!”
ingin sekali kutancapkan kuku-kuku tajam ini ke matanya.
Aku tak pernah habis pikir, seorang veteran kacangan sekelas Kolonel Tambunan bisa menjadi seorang konglomerat?! Yang kadang lebih membuatku tak nafsu makan, Kau juga menyertainya seorang perempuan muda nan cantik jelita sebagai istrinya. Alamak.. pantaskah ini? Padahal sama sekali ia tak pernah menjatuhkan kepala dan merebahkan tubuh kerempengnya di hadapan-Mu. Atau bahkan untuk sekedar menyebut nama-Mu, Telinga panjang ini tak pernah mendengarnya.
Tak jarang juga aku menemani Kolonel Tambunan bertemu pejabat-pejabat bermasalah di negeri yang kata orang-orang sangat kaya ini untuk ‘berkonsultasi’. Sambil membelai bulu-bulu halusku, dan sebatang cerutu sebesar gaban di tangan kiri, Kolonel Tambunan tersenyum meringkik menyerupai kuda, kemudian ia berkata,
“itu masalah gampang, asal harganya sesuai saja.” Aarrghh… ingin sekali kucabik-cabik bibir penuh nista itu.
“Mengerti apa kau kolonel Tambunan??” aku mengeong, menggerutu.
“Nah.. dengarkan bapak-bapak, kucing kesayanganku pun berkata demikian. Sesuai! Hahaha….”
Setelah itu meledak tawa tanda sepakat di antara mereka. Lucu.
*****---*****
Pagi meninggi, aku masih belum beranjak dari singgasanaku. Dari sini, bisa kulihat semua gelagat penghuni rumah ini. Mulai dari Kolonel Tambunan yang kerjanya menggoda Ayu, pembantu baru bertubuh wangi. Aku sendiri pernah merasakan kedahsyatan bau tubuh Ayu. Ketika itu, atas perintah Kolonel Tambunan, Ayu menggendong dan membawaku ke kamar mandi.
“Bajingan kau kolonel! Untung Ayu yang memandikanku, kalau orang lain…” laknatku dalam hati ketika itu, pasrah.
Sebenarnya tak jarang juga kolonel ketahuan oleh istrinya ketika sedang mengganggu Ayu. Namun, entah apa yang dipikirkan oleh istri Kolonel Tambunan, ia hanya terpekur,membatu setegar karang. Setelah itu air matanya tumpah, meleleh laiknya lilin. Pertunjukan pun usai.
Pernah juga kudengar percakapan antara Indra dan Soni saat aku sedang asyik bermain. Wajah mereka memerah seperti habis disiram air panas sore itu, setelah keduanya dicaci habis-habisan oleh Kolonel Shadam tanpa sebab yang jelas, dan itu bukan yang pertama kali mereka alami.
“Sial memang tua bangka itu! Jika tidak karena segan pada nyonya Widya, telah kubungkam mulut besarnya dengan mesin pemotong rumput ini!!” Kata Soni sambil menggenggam erat mesin pemotong rumput, perkakas yang setiap hari menemaninya.
“Ya… andai aku punya kesempatan, akan kubawa dia ke hutan di belakang dan kuumpankan pada hewan buas! Atau kugantung tubuh kerempengnya di pohon beringin, biar gentayangan arwahnya!” tukas Indra, adik sepupu Kolonel Tambunan yang dipekerjakan sebagai supir pribadi.
“intinya kita tidak boleh tinggal diam, Son…” Percakapan antara Soni dan Indra di halaman belakang itu terputus ketika tiba-tiba nyonya Widya datang. Ia membawakaknku susu segar.
Sudah kubilang, “aku adalah raja di rumah ini” gerutuku, manja. Sambil mengeong-ngeong dan bermain bola karet. Mereka? Tertawa gemas melihatku.
Sekali waktu, mata abu-abu ini pernah melihat Ayu menangis tersedu di pojokan dapur. Waktu itu, kuikuti Ayu yang baru keluar dari ruang kerja Kolonel Tambunan.
“ya.. ruang kerja! Cih…!!”
entah apa yang sebenarnya Kolonel Tambunan kerjakan di ruangan itu, yang jelas kulihat bibirn Ayu lebam, pakaiaannya acak-acakan tak karuan.
Aku merasa iba melihat pelayan bertubuh wangi ini. Aku coba mendekatinya, kusentuh-sentuh betis putih dan mulusnya dengan kepalaku, lalu kupasang tampang lugu dan mata tak berdosaku, menatapnya. Ya… menatapnya dalam-dalam. Harapanku ia mau merangkulku.
“yes..!”
tangan lembutnya meraih tubuhku, mengangkatku, kemudian memelukku. Erat. Kurasakan ada kepedihan dalam setiap tarikan nafasnya. Semakin erat ia memelukku, semakin tercium bau manusia biadab itu mencemari kemurnian bau tubuh Ayu.
“Ya.. aku hafal betul bau busuk ini!”
*****---*****
Siang mengembang-- surya tenggelam. Lembayung senja kali ini terlihat begitu kelam, pekat. Langit tidak mendung, tidak akan turun hujan. Instingku tak akan salah dalam mengartikan sasmita alam. Ini adalah sebuah pertanda. Entah apa, dari tadi yang kulihat hanya serombongan burung gagak yang mencicit di atas rumah ini. Berkali-kali aku beradu pandang dengan mereka. Ya.. mereka tersenyum, bengis. Sorot matanya seakan tak sabar menanti sesuatu. Malam ini akan terjadi sesuatu sepertinya. Setelah itu mereka terbang lagi. Berputar-putar. Bernyanyi lagu kemenangan, begitu lantang. Pongah benar gagak-gagak itu.
“Ayu… semuanya sudah siap?”
“Sudah nyonya….”
Sudah menjadi suatu kebiasaan di rumah ini, seluruh penghuni rumah selalu makan bersama setiap selasa malam. Kolonel Tambunan sendirilah yang mencanangkannya. Tak peduli siapa dan apa status ia di rumah ini, semua duduk satu meja. Sama rata. Mulanya aku mengira sungguh dermawan benar Kolonel Tambunan. Namun, hari-hari berikutnya aku merasa ada sesuatu yang janggal. Entah apa itu, otakku yang super kecil tak mampu menjabarkannya.
Disela-sela makan malam itu…
“di mana Aria? Aku belum melihat anak itu dua hari ini.” Tanya Kolonel Tambunan pada semua orang yang hadir pada malam itu
Tak ada yang menjawab, semua diam. Begitu hening. Pertanyaan itu mampu menghentikan setiap gerak sendok dan garpu yang menari di atas piring. Aku? Tetap asyik menyantap ikanku.
Setelah beberapa lama membatu, tiba-tiba…
“emmh… itu tuan.. MasAria kemarin minta di antar ke pusat kota. Setelah itu, saya disuruh pulang.” Dengan nada ragu dan sedikit takut, Indra coba mencairkan keheningan selasa malam di meja makan itu.
“apa??? Dasar supir tolol! Kenapa kau biarkan anak itu pergi??!”
Kolonel Tambunanmarah mendengar jawaban dari Indra. Seketika itu pula cerutu sebesar gaban yang tak pernah lepas dari tangan kolonel Tambunan melayang. Tepat mengenai pipi kiri Indra yang hanya terpisah dua kursi dari kolonel Tambunan. Indra diam. Begitu juga yang lain.
“ kau juga Widya! Ibu macam apa kau?? Kenapa kau diam saja?? Tak becus mengurus anak!” berikutnya mangkuk berisi sup panas yang melayang. Tepat jatuh dihadapanku yang memang punya tempat spesial. tepat di samping bawah dekat kaki kolonel.
“hahaha….” Aku tertawa puas.
Sekali lagi kutegaskan pada kalian, “akulah raja di rumah ini.” Aku santap sup itu sebagai hidangan penutup malam itu. Akan tetapi, baru beberapa kali lidah ini menjilat, tak kusadari kaki kolonel Tambunan tepat menendang perutku.
“aahh…” aku menjerit. Tubuhku terpelanting. Sakit.
“pergi kau!!” teriaknya kepadaku.
“sial! Lihat saja kau bajingan. Lengah sedikit akan kucabik-cabik perutmu.” Kataku, tak terima atas apa yang telah kolonel perbuat.
“Arrghh,,, berisik sekali kau kucing budug! Mengeong terus.. hush…! Pergi!” kali ini aku dilempar gelas. Aku lari.
Dari balik pintu tempatku bersembunyi, kuperhatikan raut muka kolonel. Aku sangat dendam, melebihi dendamku kepada kedua orangtuaku yang meninggalkanku di tempat pembuangan sampah setelah melahirkanku. Aah… hancur hatiku jika menginggat kejadian itu.
Dari balik pintu ini juga, kuperhatikan air muka yang serupa denganku pada wajah setiap orang yang ada di ruang makan itu. Nyonya Widya, Indra, Soni dan Ayu, semua kepala mereka tertunduk menghadapi kemarahan kolonel Tambunan. Akan tetapi, dari bawah sini terlihat jelas dari tatapan mata mereka yang menajam, dari gemertak gigi yang beradu menahan amarah, dari bahasa tubuh mereka seakan-akan berkata, “akan kucingcang kau kolonel Tambunan.”
Drama makan malam itu berakhir dengan kegalauan. Tak ada penyelesaian. Semua meninggalkan ruang makan dengan hati yang kalut. Begitu terasa hingga memanaskan udara malam itu. Padahal di luar hujan turun dengan sangat deras. Hingga suara air hujan yang jatuh menimpa genting dapat memekakkan telingaku. Aneh, instingku salah. Berkah yang Kau berikan kepada kami, para binatang dalam membaca sasmita alam bisa meleset.
“pleep….”
Seketika listrik padam setelah petir menyambar begitu dahsyatnya. Berikutnya secara bergantian muncul kilatan membentuk retakan-retakan berwarna biru di langit, diikuti suara gemuruh menyerupai suara dengkuran raksasa.
Aku yang Kau berkahi dengan kelebihan indera penglihatan ini tak merasa kesulitan melihat dalam gelap. Sambil tiduran di atas singgasanaku, kurasakan mual bekas tendangan di perut oleh kolonel tadi saat makan malam. Sambil menatap keluar jendela, menatap deras hujan yang turun disertai kilatan yang membentuk retakan-retakan berwarna biru di langit, diikuti suara gemuruh menyerupai suara dengkuran raksasa, kesadaranku perlahan hilang. Lelah, aku mulai tertidur.
*****---*****
Keseokan harinya…
Seperti biasa—kembali aku terjaga ketika sang kallam menggaung di udara. Menyebut nama-Mu dan keagungan-Mu, bertalu di antara keheningan sang fajar yang masih berselimut kabut tipis, memanggil mereka untuk lekas bangun dan bersimpuh di ujung kaki-Mu. Dan seperti janji-Mu, mereka yang bersujud di kala yang lain tengah terlelap, akan Kau penuhi semua harap dan pintanya. Entah mengapa, aku tetap yakin dengan hal itu. Sambil menjilati cakar-cakar lucuku, saat hendak tidur lagi di singgasanaku se-isi rumah dibuat gempar oleh teriakan histeris dari ruang kerja Kolonel Tambunan.
Aku tak jadi tidur. Bergegas aku lari menghampiri sumber datangnya suara yang hanya terpisah oleh ruang tengah itu. Sebelumnya sudah ada nyonya Widya, Ayu, Indra dan Aria sampai di sana terlebih dahulu. Ada satu orang lagi yang terduduk sambil menangis di dekat sesosok tubuh yang terlentang di lantai. Setelah kucoba untuk lebih mendekat, ternyata yang menangis adalah Aria.
“Ah..? Aria? Kapan dia pulang?” tanyaku membatin.
Dan satu lagi yang terkapar adalah kolonel Tambunan. Isi perutnya terburai mengeluarkan darah. Bibirnya membiru mengeluarkan busa seperti keracunan habis digigit ular mamba, dan dilehernya ada semacam bekas jeratan. Aku kaget bukan main sekaligus senang melihatnya.
“Mampus juga kau bajingan!” teriak kemenanganku.
Semua kembali terdiam, lebih hening dari semalam. Semua terpekur. Bahkan burung pipitpun sepertinya enggan untuk berkicau pagi itu.
“siapa yang melakukan semua ini???” sambil menangis, Aria beranjak dari duduknya. Menghampiri ibunya, menatap dengan penuh tanya. Menarik baju Indra, menanyakan hal serupa. Mendorong pundak Ayu, hingga Ayu terjatuh, begitu juga Aria lakukan pada Soni.
Tak ada juga yang berani menjawab pertanyaan Aria. tatapannya sama menakutkan dengan tatapan Ayahnya. Terlebih sekarang ia sedang di bawah pengaruh minuman keras. Semakin sulit dikontrol.
“Tak ada yang menjawab??! Baik kalau begitu.” Masih dengan tatapannya yang tajam, Aria berjalan sempoyongan ke meja ayahnya. Dari bawah meja itu ia mengambil sepucuk Revolver.
Sambil membuka kotak magazine, ia berkata, “akan kuisikan peluru pada Revolver kesayangan ayah ini. Jika sampai aku selesai mengisi semua peluru ke dalamnya masih belum ada yang mau angkat bicara,… hmmm…. Peluru pertama, untuk kau Soni! Bicaralah!!”
Soni terlihat begitu gugup. Akupun jadi agak takut melihatnya.
“eeh… bukan saya yang melakukannya Mas Aria. Tapi Indra!!” kata Soni.
“Bangsat! Kenapa kau menuduhku Soni?? Bukankah kau juga ingin membunuh Kolonel Tambunan? Benar mas Aria, tempo hari Soni pernah bilang ingin mengeluarkan isi perut Kolonel Tambunan dengan menggunakan mesin pemotong rumputnya. Lihat.. lihatlah! Perut Kolonel Tambunan terburai, di sekitarnya tubuhnya juga ada bekas rerumputan. Pasti itu dari pemotong rumput yang ia gunakan!” dengan sangat yakin Indra menuduh Soni. Berikutnya? Soni dan Indra berkelahi. Soni yang merasa dipojokan melayangkan pukulan tepat di pelipis Indra. Indra terseungkur.
“hentikan kalian berdua!!!” teriak nyonya Widya.
“bukan saya mas Aria.. bukan… demi Tuhan saya tidak melakukannya. Mungkin juga Ayu yang melakukannya!” kata Soni coba membela diri.
“hei.. kenapa aku?” Ayu kaget setengah menangis dituduh.
“ya.. kau pasti ingin membunuh Kolonel Tambunan karena setiap hari selalu digoda. Beberapa kali Kolonel Tambunan tertangkap basah sedang menggerayangi tubuhmu. Aku melihatnya dari luar Ayu. Kau pasti dendam kepadanya kan? Sehingga kau racuni makanan semalam. Lihat! Bibir kolonel membiru. Pasti karena racun yang kau masukan ke dalamnya!”Soni mulai yakin.
“tidaaak…..!!” Ayu histeris, lalu terjatuh. Ia nyaris pingsan. Dengan sisa-sisa kesadarannya, ia pun menuduh nyonya Widya dan Indra yang melakukannya.
“nyonya Widya dan Indra, kalian berselingkuhkan?!” pernyataan Ayu itu sekejap membuat mulutku menganga. Ternyata masih juga yang tak ku tahu di rumah ini.
“berkali-kali kulihat kalian berdua bercumbu ketika kolonel Tambunan tidak ada di rumah. Dan yang terakhir kalian merencanakan untuk membunuh kolonel agar harta kekayaannya menjadi milik kalian berdua. Nyonya Widya, kita sama-sama wanita. Aku tahu seperti apa perasaan wanita yang bahagia dan tidak. Dan semenjak aku bekerja disini, sama sekali tak pernah kulihat kau bahagia ketika di samping kolonel. Berbeda ketika bersama Indra!” sebuah penjelasan yang membuat semua terdiam. Begitu juga Aria.
Aku semakin bingung dengan keadaan pagi ini. Semua tampak begitu abu-abu. Semua kembali hening. Aria yang tadi begitu menakutkan berubah linglung.
“aaarrh…..”
Jemari kolonel Tambunan ternyata bergerak! Ia belum mati. Ia menunjuk padaku. Ah? Kenapa padaku?? Seketika aku jadi takut sendiri. aku mengeong… memberanikan diri menghampirinya. Ku jilati ujung-ujung jarinya. Lalu, ketika aku berjalan memutar melewati pundak kolonel, kucium bau ciu. begitu pekat, hingga membuatku pusing.
“Ah??? Ciu!.” Otakku berpikir keras.
“Aaa…Aria…” tangan kanan kolonel melambai-lambai, memanggil Aria untuk menghampirinya. Ia-pun mendekat.
“ayah… siapa yang melakukan ini ayah?? Katakan ayah, biarku balaskan dendammu!” kata Aria sambil mengangkat kepala kolonel Tambunan.
Dengan perlahan, kolonel Tambunan mengambil Revolver dari tangan Aria. ia kemudian melihat pada nyonya Widya, Soni, Indra, dan Ayu. Bergantian. Setelah itu, ia menarik pelatuk Revolver itu dan menembakannya pada Aria.
“dooooorrr………..”
“bangsat kau ingin coba-coba membunuhku!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H