Mohon tunggu...
Muhamad Bramtalaras
Muhamad Bramtalaras Mohon Tunggu... lainnya -

pemimpi kelas akut.\r\n| @bramt_

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Sela Dedaunan yang Berguguran #1

16 Januari 2014   01:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Arya, lihat... ini seperti salju, bukan?”

“oya..?”

Kemudian Laras berlari. Sedikit tergesa-gesa, Aku mengejar sembari meminta Laras untuk memperlambat langkah.

Alarm penanda kereta akan melintas mulai berderit. Dari sebrang jalur perlintasan kereta, Laras menghentikan langkahnya. Dia membalikan badannya dan tersenyum ke arahku. Portal pembatas jalan sudah tertutup. Terpisah perlintasan kereta, kami saling memandang. Laras tersenyum. Dari matanya, aku seolah membaca sesuatu.

“Aku harap kita bisa melihat dedauanan yang berguguran ini bersama-sama lagi, tahun depan.” Katanya.

Keretapun melintas.

Dear Arya,

Musim panas di sini sangat menyengat. Tapi, jika dibandingkan saat di Bogor, keseharianku di sini jauh lebih cocok. Namun, saat aku pikir lagi, aku sangat senang sekali menghabiskan masa kecil di Bogor. Di sini, jalanan seakan meleleh karena terbakar sinar matahari, gedung-gedung pencakar langit mengepul tersengat awan panas, hawa dingin hanya kudapat dari pendingin ruangan di mall-mall dan kereta. Perjumpaan terakhir kita hampir 6 bulan lalu.

Arya.. apa kau masih ingat aku?

..........

Oya, terimakasih banyak untuk surat balasanmu. Aku sangat senang.

Arya...

“Hey, Kak.. apa yang kau baca? Surat cintakah?” pertanyaan Dinda seketika menghentikan lamunanku.

“ah, ini.. bukan.”

“maaf jika aku banyak bertanya. Oya, kau jadi pindah akhir semester ini? Kemana?” tanya Dinda, lagi.

“oh.. iya.. Malang.”

“Jauh. Aku pasti akan merindukanmu.”

Kemudian Dinda pergi setelah merapikan tasnya.

Beberapa hari yang lalu aku memotong rambutku. Pendek, sangat pendek. Hingga daun telingaku dapat terlihat.Mungkin, kau tak akan mengenaliku jika kita bertemu sekarang.

Arya.. sedikit demi sedikit, banyak yang berubah. Seperti yang terjadi pada diriku...

Aku kemudian terdiam. Surat dari Laras. Lembayung sore. Burung gereja mencicit. Jendela kelas yang berderit karena tersapu angin. Semua yang ada ini semakin membuatku ingat Laras.

“melihat daun berguguran bersama, tahun depan.” Hanya itu yang selalu ada dalam benakku.

Untuk Arya,

Sudah masuk bulan 10. Semakin dekat. Oya, di sini sekarang sudah masuk musim penghujan. Sehari dua hari hujan terus turun. Aku jadi harus membawa banyak benda ke sekolah.

Arya, aku sangat kaget ketika mendengar kau pindah dari Bogor. Entahlah... kata pindah sepertinya menghantui kita...

“Kak Arya.. dari tadi, aku melihatmu diam saja. Ada apa?” kali ini suara Fitria yang memecah lamunanku.

Ya, selalu seperti ini. Aku selalu terhanyut dalam lamunan tiap kali membaca surat dari Laras. Seakan seketika itu pula waktu berhenti berputar. Kemudian bergerak mundur. Kenangan bersama Laras muncul seperti daun-daun yang berguguran. Di setiap daun itu tergambar jelas momen-momen yang tak mungkin bisa kulupa.

Ah ya.. pernah pada satu daun aku menemukan kenangan saat kita pertama berjumpa. Aku yang baru pindah ke Bogor 1 tahun lalu duduk sebangku dengan Laras yang baru pindah ke tempatku sekolah. Tak ada banyak kata. Hanya senyum malu-malu. Di daun lain, terekam kenangan saat kami di perpustakaan. Tubuh kami sama-sama kecil dan lemah. Secara kebetulan, kami lebih memilih pergi ke perpustakaan untuk menghabiskan waktu ketimbang mengikuti ekstrakurikuler olahraga atau lainnya. Duduk di meja yang berhadapan. Tapi tak ada banyak percakapan. Sekalipun ada, tak lain karena Laras yang memulai pembicaraan. Kemudian semua mengalir. Aku, hanya berani menatapnya; diam-diam.

Oh iya.. kau ingat Sashi dan Luna? Kemarin aku melihat 2 ekor kucing yang mirip mereka saat melintasi Pet Shop dekat stasiun. Haha.. lucu ketika ingat wajah takutmu saat hendak menggendong Luna.

Sashi dan Luna adalah 2 ekor kucing yang kami temukan di sebuah dus dekat sekolah. Aku tak sadar awalnya, atau mungkin tak begitu peduli terhadap kucing, atau bahkan binatang apapun sebelumnya. Laras yang kemudian terlihat sangat khawatir ketika melihat 2 ekor anak kucing mengeong di pinggir jalan. Tanpa ragu, Laras menggendong Sashi dan Luna secara bergantian. Aku? Entahlah.. antara jijik, takut, atau entah perasaan macam apa, tak berani mendekat.

“Ini, gendong satu.”

“......”

“kau tak takutkan? Mereka bisa merasakan cinta. Sama seperti manusia. Sentuhlah. Dengan hatimu juga.”

Kalimat tersebut seakan menghipnotisku. Pelan kuarahkan tanganku pada Si Luna. Sedikit gemetar. Dan benar, ada sensasi hangat kurasa saat pertama menyentuh kepalanya. Si Luna terlihat nyaman. Rasa beraniku pun membumbung. Dua tanganku coba meraih badan Luna dan “Meeooong...!” Luna mengerang. Seketika itu juga ku tarik kembali kedua tanganku. Wajahku memucat. Laras terbahak. Luna kembali merapat kepelukan Laras.

“haha.. dia tak merasakannya, Arya. Atau mungkin, belum.”

Tiba-tiba..

“Kak Arya.. hey.. Kak!” Fitria terlihat bingung melihatku yang tiba-tiba menjadi pucat.

“ah.. maaf fit..”

“kau tak apa kak? Ini kesekian kalinya aku melihatmu melamun sambil memegang surat. Dari pacarmu? Tapi.. kali ini kenapa kau malah memucat? Dia menulis sesuatu yang burukkah?”

Aku kaget mendengar ucapan Fitria. Entah mengapa aku malah tertawa. Puas sekali.

“Ah.. tidak. Ayo kita pulang. Kau sudah selesai berlatih volinya kan?”

Sambil melipat surat dari Laras, dan tetap dengan wajah yang berubah dari pucat jadi senang, aku ajak Fitria untuk pulang. Seperti biasa, kami selalu pulang bersama. Kebetulan rumah kami searah.

Arya.. maaf sebelumnya, aku menulis surat ini saat sedang di atas kereta. Jadi agak berantakan. Semakin banyak yang terjadi. Banyak hal baru terjadi beberapa bulan belakangan ini. Ada banyak orang-orang baru di sekitarku. Hilir mudik.

Bagaimana denganmu?

Kadang, aku jadi ragu pada diriku sendiri. Kadang aku juga meragukanmu.

Apa ini akan berhasil, Arya?

“apa ini akan berhasil?” kalimat terakhir dari Laras di dalam suratnya yang kesepuluh itu terus menerus kuulang. Kadang terasa perih ketika menyaksikan kenyataan sekarang. Kita terpisah satu sama lain. Hanya lewat surat. Ya.. sesobek kertas dengan guratan-guratan tinta. Yang kemudian menguatkan adalah dedaunan yang berguguran dengan kilatan-kilatan kenangan di dalamnya.

Fitria.. beberapa bulan terakhir semenjak aku pindah ke Malang, gadis ini yang selalu menemaniku. Seorang gadis anak kenalan Ayahku di Malang. Sejak pertama dipertemukan, Fitria memang diminta Ayahnya untuk menemaniku. Kedua Ayah kami sama-sama sibuk. Hampir tak ada waktu untuk keluarga. Dia gadis yang baik. Entah mengapa, aku seakan mendapatkan apa yang tidak aku dapatkan hampir sepuluh bulan ini. Benar, kenyamanan adalah hasil binaan. Walau sebenarnya aku merasa tak ada yang kubina dengannya. Atau, aku hanya mencoba untuk menutup mata. Aku kadang kasihan kepadanya. Entah karena apa, dia sangat perhatian. Sebenarnya bukan maksud untuk mengacuhkannya. Aku, hanya tak ingin terlalu memandang wanita lain selain Laras. Aku sadar benar, hubungan macam ini sangat rentan. Dan, tak hanya aku rupanya, Laraspun merasakan hal yang sama. Setidaknya, itu yang kurasa dari surat sebelumnya.

Dear Arya.

Tinggal satu bulan. Dan dedaunan itu akan kembali berguguran. Demi Tuhan, aku tak sabar.

Arya..

entah mengapa kau tak membalas suratku yang sebelumnya. Semoga kau baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun