Teori Realisme Klasik dan Neo-Realisme dalam Ilmu Hubungan Internasional
Dalam ilmu hubungan internasional mempelajari isu-isu yang sedang terjadi di dunia. Prespektif dalam bidang keilmuan ini dimaksudkan untuk melakukan analisi yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan ataupun kajian. Ada beberapa teori dalam hibungan internasional, salah satunya adalah teori realisme yang kemudian dapat dibagi menurut perkembangannya yaitu realisme klasik dan neorealisme yang juga dapat dibagi menjadi neorealisme ofensif dan defensif.Â
Realisme Klasik
Realisme merupakan teori yang memandang negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional dan memandang dunia internasional sebagai hubungan yang anarki, dalam hubungan internasional tujuan utama yang dicapai suatu negara adalah power demi mempertahankan keamanan dan keberlangsungan hidup negaranya. Sehingga dalam teori ini isu atau fenomena yang dapat dianalisis dan dikaji adalah Perang Dunia I yang merupakan fenomena besar atas terjadinya perang di sebagian besar dunia yang juga melibatkan beberapa negara sebagai aktor utamanya. Di dalam peperangan tentu negara menjadi aktor utamanya, walaupun setelahnya muncul aktor lain seperti Liga Bangsa-Bangsa(LBB) sebagai aktor non-negara.Â
Perang ini awalnya terjadi di Eropa yang melibatkan beberapa blok negara yang memiliki power dan pengaruh yang besar yaitu Blok Sekutu yang beranggotakan Inggris, Perancis, dan Rusia. Tentunya melawan kelompok yang berseberangan yaitu Blok Tengah yang beranggotakan Jerman, Italia, dan Austria-Hongaria.Â
Perang Dunia I memberikan dampak yang besar kepada hampir seluruh dunia secara masif sehingga walaupun terpusat di Eropa namun dampak buruknya dapat dirasakan hampir di seluruh dunia. Realisme berpantangan bahwa negara adalah aktor yang rasional sehingga keputusan yang diambil suatu negara sudah mewakili apa yang menjadi keputusan warga negaranya, namun dapat ditinjau kembali dalam fenomena Perang Dunia I, Jerman mengalami kekalahan yang membawa dampak besar dikarenakan kurangnya dukungan warga negaranya yang sudah tidak mau membela negaranya dengan ikut berperang.Â
Dalam teori realisme keamanan dan keberlangsungan hidup suatu negara adalah hal yang sangat penting untuk dipertahankan, dengan alasan lain dimulainya Perang Dunia I ketika terbunuhnya Franz Ferdinand yang merupakan putra mahkota Autria-Hungaria serta ideologi imperialisme yang mendorong suatu negara untuk menduduki dan menguasai wilayah negara lain sehingga dengan alamiah memicu terjadinya peperangan.
Neo-Realisme
Neo-realisme merupakan pengembangan prespektif dari teori yang lebih tradisional yaitu realisme klasik, teori ini dikembangkan oleh Kenneth Waltz dalam tulisannya Foreign Policy and Democratic Politics: The American and British Experience tentang Neo-realisme, setiap tindakan, aktivitas, kepentingan, serta kebijakan luar negeri yang diambil oleh suatu negara karena ada pengaruh dari sistem internasional berlangsung. Sistem internasional memberi pengaruh pada bagaiman suatu negara berperilaku dan bertindak, termasuk dalam proses perumusan dan pembuatan kebijakan luar negeri negara tersebut yang dibuat untuk mencapai suatu kepentingan dan dipengaruhi oleh sistem internasional. Teori Neo-realisme dibagi menjadi 2 yaitu defensif dan ofensif.
Perbedaan utama antara kedua prespektif teori tersebut adalah seberapa banyak power yang diperlukan agar dikatakan cukup. Menurut neo-realisme ofensif, strategi terbaik untuk suatu negara dalam sistem hubungan internasional yang anarki adalah dengan mempeoleh power sebanyak-banyaknya. Jika dalam kondisi yang tepat akan berguna untuk menjadi hegemon. Kepemilikan akan kekuatan yang luar biasa adalah cara terbaik untuk memastikan kelangsungan hidup negara. Bertolak belakang dengan pandangan tersebut neo-realisme defensif mengatakan bahwa, tidak dibenarkan bagi suatu negara untuk memaksimalkan untuk menghimpun power, karena sistem internasional yang anarki akan mendatangkan hal buruk bagi suatu negara,maka tujuan suatu negara untuk menjadi hegemon adalah sesuatu yang tidak bijaksana.Â
Seperti dalam fenomena yang terjadi antara Cina dan jepang, ketika Cina memberlakukan kebijakan Zona Identifikasi Pertahanan Udara sebagai bentuk kebijakan yang diberlakukan Cina memang menuai kontroversi, karena dianggap berbeda dengan negara lain. Â Dalam hal ini, Cina memberlakukan Zona Identifikasi Pertahanan udara dan menjadikan kebijakan ini sebagai instrument legitimasi atas klaim kepemilikan Kepulauan Senkaku. Kebijakan Tiongkok merupakan kebijakan ofensif dan sesuai dengan faktor pendorong perumusan kebijakan luar negeri oleh Lovel, strategi pemberlakuan Zona Identifikasi Pertahanan Udara merupakan strategi yang konfrontatif.Â
Dalam merespon kebijakan luar negeri Cina, yaitu Zona Identifikasi Pertahanan Udara, Jepang tetap bersikap tenang namun tegas, sesuai dengan karakteristik negara Jepang yang penuh damai. Melalui kebijakan non-recognized dan non-acceptance yang diberlakukan Jepang, Jepang melarang seluruh perusahanan penerbangan untuk tidak memberikan rencana penerbangan dan memberikan identitas diri kepada Badan yang berwenang. Jepang berusaha untuk memaksa secara halus Cina untuk menarik kembali kebijakannya dan untuk menjaga stabilitas keamanan negaranya. Yang paling utama adalah untuk mempertahankan kedaulatan Jepang atas Kepulauan Senkaku.Â
Respon yang diberikan Jepang sepadan dengan stimulus yang diterima, dan Jepang akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan bertindak untuk ke depannya, sesuai kebutuhan. Jika dirasa Cina tidak bertindak agresif yang mengancam keamanan dan kedamaian di kawasan, maka Jepang juga akan bersikap tenang -- juga sebagai upaya untuk menjaga hubungan antara kedua negara. Namun Jepang juga melakukan langkah defensif yang lebih maju untuk berjaga-jaga, dengan mempererat aliansi dengan sekutunya dan juga meningkatkan kemampuan militer negaranya.
Dapat diamati dalam fenomana yang terjadi antara Cina dan Jepang tentang bagaimana kedua negara yang saling bertolak belakang dalam hal mempertahankan keamanan dan keberlangsungan hidup negaranya. Cina dengan jelas dilihat dari prespektif neo-realisme memberlakukan kebijakan ofensif dengan melakukan tindakan unilateral dan agresif serta dianggap melanggar hukum internasional. Sebaliknya, Jepang melakukan tindakan yang cenderung defensif yang dengan tenang menanggapi sikap Cina atas kebijakan luar negerinya yang konfrontatif demi menjaga hubungan antara kedua negara. Namun langkah defensif tetap dilakukan dengan memperkuat hubungan aliansi dan kemampuan militer negaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H