Siang itu Jakarta sangat panas, saya yang sedari pagi sudah menjadi pria kurir bukan pria karir yang duduk sambil menikmati sejuknya AC. Satu persatu undangan untuk media saya antarkan, tidak ada pilihan karena acaranya tinggal H-2 lagi, kalau menggunakan jasa pos pasti baru akan diterima besok dan kebetulan beberapa media yang saya datangi memang dekat dari tempat tinggal saya..
Beberapa undangan telah sampai di meja recepsionis. Maaf, bukannya saya mau menjudge jelek profesi yang satu ini, tapi “hey I’m not kurir” recepsionis yang saya sambangi banyak yang membuat saya kesal. Mereka tidak bisa menghargai pekerjaan yang saya bilang ini tidak segampang yang saya kira awalnya. Apakah karena pagi-pagi saya sudah membawa kerjaan untuk mereka, sehingga mereka sedikit terganggu karena tidak bisa bergosip.
“Mba kita tuh sama-sama kerja, jadi jgn ketus kalau saya tanya” gumam saya dalam hati, lagipula bukannya salah satu pekerjaan mereka itu harus melayani tamu kantor yang datang?saya akan menambahkan melayani tamu kantor dengan ramah dan tidak judes.
Saya tidak mau merusak rabu pagi saya, semakin si recepsionisnya membuat jengkel semakin senang saya timpali dengan ulah saya yang menyebalkan. Lumayan bisa menghibur diri sendiri.
Sekitar 20 undangan telah sampai sesuai dengan alamat yg dituju. Saya langsung mengambil undangan selanjutnya yang sudah saya atur berdasarkan rute.
“PRIME - jalan mulaboh no.50”. Saya ingat salah satu teman baik saya kerja di majalah tersebut.
“@prasetyo cuy lo di kantor ga?makan siang bareng dong. Kebetulan ad undangan nih dr kantor gue buat majalah lo..”
“@bram boleh-boleh, gue d kantor kok?y ud yuk kita makan bareng sambil ada yang mau gue ceritain”
“@prasetyo y udah gue berangkat kesana y..”
Tepat jam 12 kurang saya sampai di majalah PRIME, yang letaknya cukup jauh kalau saya harus jalan di bawah terik matahari siang itu,
Undangan Prime langsung saya berikan untuk si beauty editor.
“Tyo, makan dimana kita??”
“Udah lo ikut aja..ini kan daerah gue!” Tegas teman saya.
Sop Iga menjadi pilihan menu makan siang kami berdua. “Sop iga dua, sama es jeruk satu es teh manis satu” ujar Tyo tidak mau mengulur-ulur jam makan siang yang cuma sejam.
“Eh, gw udah putus!” Pancingan tyo memulai perbincangan
“Hah?kok bisa?” Tanya saya heran. Karena menurut saya mereka pasangan yang lucu.
“Yah gitulah..selain keyakinan yang beda, kayaknya kita emang udah nggak bisa bareng. Beda pandangan kali ya.” Jawab tyo sambil menyuap menu siangnya.
“Tapi kalian berdua masih berhubungan baik kan?maksud gue lo putus baik-baik kan?” Tanya saya, kebetulan keduanya teman baik saya dari kuliah.
“Gue juga maunya gitu. Tapi dia’nya nggak mau. Dia udah g mau ketemu gue katanya.” Jawab tyo.
“Kok gitu yah?” Tanya saya heran dan menyayangkan kejadian itu.
“Iya, emang nggak adil, gw yang harus mutusin dan gw juga yang harus menanggung resikonya.”
Awalnya baik, kenapa endingnya harus tidak baik? Saya sering menonton film yang endingnya tidak melulu happy ending. Banyak juga yang endingnya membuat saya gemas. Kenapa akhirnya harus ada perpisahan, kenapa dia harus memilih pasangan yang lain, kenapa mereka harus dipisahkan oleh maut, Banyak pertanyaan “kenapa” di tiap ending film. Well, ternyata memang semuanya tidak melulu berakhir bahagia. Tetapi mungkin juga, proses menuju kebahagiaan itu dilewati dengan cara yang berbeda-beda. Yang kita tidak pernah bisa menebak.
“Tyo, gw harus cabut nih udah jam 1, ada janji interview abis jam makan siang. abis itu gw jadi kurir utk beberapa jam lagi.”Ujar saya
“Gila lo! Interview trus kayaknyaa..hobi baru lo ya?” Sindir Tyo kepada saya.
“Ya..namanya juga mau cari peluang yang lebih baik. Kenapa nggak gw coba?” Jawab saya sambil tertawa kecil.
Kami berdua pun berpisah di depan kantor PRIME, teman saya masih harus menyelesaikan beberapa kerjaannya. Obrolan tadi membuat saya sempat berpikir.
“Kenapa mereka harus tidak berhubungan baik lagi? Apa iya itu akan lebih baik daripada harus berhubungan baik?” Sebelumnya banyak yang mereka lewati berdua. Masalah mereka lewati berdua, kerjaan mereka yang mereka selesaikan berdua, kemana-mana selalu berdua. Kalau kondisinya seperti sekarang, apa iya kebiasaan mereka bisa dilakukan tanpa berdua? Bukan saya tidak percaya dengan diri sendiri. Saya percaya, saya sendiri pun bisa. Saya punya 2 kaki untuk berjalan, saya punya 2 tangan untuk menyelesaikan pekerjaan, 2 mata untuk melihat lebih jelas, 2 telinga untuk bisa mendengar lebih baik. 2 otak kanan dan kiri yang saling melengkapi. Sepertinya sudah tidak ada alasan saya bilang tidak bisa.
Mungkin itu salah satu alasan Tuhan, menciptakan sesuatunya akan lebih baik berpasangan. Seperti misalnya tangan kiri saya terluka. Pasti secara otomatis tangan kanan saya akan membelai dan merangkul tangan kiri saya. Karena tangan kanan saya yakin dia membutuhkan tangan kiri. Ketika saya harus membersihkan kotoran, ketika saya harus memgang sendok dan garpu. Pasti berat kalau harus dikerjakan semuanya oleh tangan kanan.
Seperti kisah sahabat saya, Mungkin perpisahan bukan hal yang buruk, tinggal bagaimana kita bisa menyikapinya dengan baik. Intinya Any heavy problems, two legs are good but four legs are better.
@jakartastorytelling
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H