Reformasi 98 yang meruntuhkan 32 tahun kekuasaan Soeharto terus bermetamorfosis didalam fase sejarahnya. Tuntutan reformasi yang di gulirkan sebagai wujud Umgestaltung Von Grundaus yang merupakan bentuk perubahan kuantitatif menuju ke arah perubahan kualitatif. Namun, didalam tuntutannya, seperti, penegakan Supremasi Hukum yang sampai saat ini belum tuntas, walau sudah didirikannya Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) serta Lembaga-lembaga Ad Hock lainya belum menjawab akan kualitas penegakan hukum indonesia, malah sekarang banyak ahli hukum, banyak orang berbicara hukum, tapi justru mempermainkan hukum. Masih banyak kasus besar yang belum terselesaikan dengan tuntas, seperti halnya kasus BLBI dan kasus Centuri yang diduga melibatkan Cikeas.
Selain itu, pemberantasan KKN hanya terfokus pada kasus-kasus Korupsi saja dan itupun hanya berharap kepada KPK, lain halnya, ternyata kita melupakan atas pemberantasan Kolusi dan Nepotisme yang masih tumbuh subur dalam pelaksanaan semua lini kehidupan penyelenggaraan pemerintahan baik dari pusat sampai di daerah. Beberapa tuntutan reformasi lainya, Amandemen Konstitusi, Pencabutan Dwifungsi ABRI, Pemberian Otonomi Daerah Seluas-luasnya, hanya seperti menampal sulam tanpa mengkaji lebih dalam, sehingga banyaknya Regulasi-regulasi yang ada saling bertabrakan.
Di samping itu gagalnya para purnawirawan gerakan 98, yang menanggalkan tongkat estafet perubahan, dan di serahkan mentah-mentah kepada para politisi, sehingga agenda-agenda perubahan hanya sebatas pemindahan kekuasaan tanpa menjawab tuntutan perubahan. Seharusnya para pejuang reformasi 98 haruslah belajar kepada para pendahulunya di angkatan 66 dan Jika melihat perbedaan itu, angkatan 66 yang dimotori tokoh-tokoh aktivis mahasiswa zaman itu, turut andil dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga pemindahan kekuasaan dengan gerakan, sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Jika kita lihat hari ini, pengesahan RUU Pilkada yang mengundang polemik dan kepentingan, produk hukum hasil reformasi dengan Pemilihan Langsung yang merupakan puncak kedaulatan rakyat di pertentangkan pada ajang politik di senayan, anehnya para pelaku 98 yang sedang menjabat sebagai anggota dewan, kembali menginginkan Pilkada diselenggarakan di pilih lewat DPRD. Mereka tunduk pada interest pimpinan partai, tanpa mengenang integritas tuntutan ketika mereka masih di parlemen jalanan. Luntur sudah kehebatan para pelaku gerakan 98, sebagai hegemoni yang kandas tanpa menguasai kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H