Sabtu kemarin (2 November) menjadi hari yang paling dinantikan Kompasianer seluruh Indonesia. Pasalnya, saat itu ada event tahunan "Kompasianival" yang digelar Kompasiana.
Meski lokasinya berbeda dengan sebelumnya, namun acaranya tetap meriah. Kali ini event acaranya diadakan di Chillax, Setiabudi, Sudirman, bukan di Bentara Budaya Jakarta.
Festival yang mempunyai tagline "Every Story Matter" ini dihiasi oleh beberapa kegiatan acara. Pertama, Kompasiana Clinic yang dimentori beberapa orang, termasuk di antaranya Mbak Puspa dan Mbak Efa dari KOMiK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub).
Di Kompasiana Clinic, kita bisa konsultasi dengan konten kreator atau blogger yang mempunyai pengalaman di bidang tersebut. Namun, sebelum konsul kita harus registrasi terlebih dahulu di meja yang terletak di samping kanan area.
Selain Kompasiana Clinic yang memberikan saya banyak saran tentang kepenulisan, antusiasme saya karena bisa berkenalan dengan teman baru, dan diskusi-diskusi oleh beberapa narasumber, di "Kompasianival 2024" juga terdapat dua materi presentasi yang dibawakan oleh penulis Ratih Kumala serta sutradara kondang Wregas Bhanuteja.
Ratih merupakan penulis buku yang novelnya pernah diangkat menjadi series Indonesia, yaitu "Gadis Kretek." Sementara, Wregas Bhanuteja adalah film maker Indonesia yang sebelumnya pernah membuat film "Budi Pekerti" yang bisa ditonton di Netflix, hingga film pendek "Lemantun" yang bisa disaksikan di Youtube.
Ratih Kumala membahas tentang bagaimana dia membagi waktunya menulis skenario juga tulisan untuk buku novelnya. Bagaimana dia melakukan riset saat memproduksi novel "Gadis Kretek" plus langkah-langkah dia saat membuat cerita fiksi.Â
Lalu, Wregas Bhanuteja membicarakan tentang cara dia membuat ide cerita film, grup media sosial yang dia buat khusus untuk menyimpan ide-ide untuk film yang akan dia buat, dan kamera-kamera yang dia gunakan beserta fungsinya.
Yang sama dari pandangan mereka adalah bagaimana mereka menciptakan ide dari orang terdekat ataupun kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka. Baik itu karakter ataupun gagasan cerita, mereka brilian mampu mendapatkan ide tersebut.
Selain itu, saya juga tertarik dengan cerita Ratih Kumala yang membahas kalau series "Gadis Kretek" adalah series yang diproduksi BASE Entertainment dan Fourcolors Films 11 tahun setelah novelnya rilis. Dia juga berkata, 12 tahun sebelum novel "Gadis Kretek" diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Ratih sempat mengalami kesulitan menaruh tulisannya di Harian Kompas.
Menurutnya, di tahun 2000 dapat memasukkan cerpen ke koran merupakan sebuah pencapaian teramat unik, sebab peristiwa tersebut cuma ada di negara kita saja. Selain rangkaian acara yang saya nikmati di dalam "Kompasianival", di depan aula serbaguna juga terdapat beberapa tenant makanan.
Yang paling menggugah saya adalah es krim "Minang Kakao." Es krim rasa matcha dan cokelat yang bahan bakunya didapat dari Sumatra Barat ini saya dapatkan dengan harga sekitar Rp15.000. Lalu, saya juga mencicipi kue-kue kering yang diberikan cuma-cuma di salah satu tenant di sana, yang rasanya juga tak kalah enak.
Event ditutup dengan malam penganugerahan "Kompasiana Awards" yang dimenangkan oleh Komunitas Traveller Kompasiana (Koteka), Budi Susilo sebanyak 2 kategori, dan Akbar Pitopang sebagai peraih "Kompasianer of the Year 2024."Â
Saya merasa senang sekaligus bangga bisa menghadiri acara "Kompasianival" tahun ini. Harapan saya, semoga di tahun depan saya bisa menghadirinya lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H