Apakah kalian tahu bahwa, menurut United Nations Environment Programme (UNEP), sekitar 931 juta ton makanan terbuang sia-sia setiap tahunnya di seluruh dunia? Di Amerika Serikat saja, sekitar 40% makanan yang diproduksi tidak pernah dimakan. Kebiasaan membuang makanan, yang sering kali kita anggap remeh, ternyata memberikan dampak yang sangat besar terhadap lingkungan dan bahkan mempercepat krisis iklim. Sungguh ironis bukan? Di satu sisi, menurut FAO, ada 690 juta orang di dunia yang menderita kelaparan, sementara di sisi lain, makanan dibuang begitu saja dalam jumlah yang tidak sedikit.
Selama ini, ketika kita membahas isu lingkungan, kita hanya berfokus pada polusi udara atau gas rumah kaca dari industri. Namun, siapa sangka bahwa sisa makanan yang terbuang adalah salah satu penyebab utama krisis iklim? Faktanya, menurut PBB, limbah makanan menyumbang hingga 10% dari total emisi gas rumah global. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan emisi yang dihasilkan dari produksi plastik (3,8%) atau ekstraksi minyak (3,8%). Kita seringkali abai terhadap dampak ini hanya karena kita tidak menyadari bahwa perjalanan makanan dari ladang sampai ke meja makan kita membutuhkan sumber daya yang banyak.
Sebelumnya, apa sih limbah makanan itu? Limbah makanan adalah segala jenis makanan yang harusnya dimakan tetapi malah dibuang. Hal ini mencakup makanan yang tidak habis dimakan, makanan yang basi, atau makanan yang dibuang karena dianggap tidak enak. Namun, perlu diingat bahwa limbah makanan tidak termasuk kulit telur, tulang sisa, atau biji yang memang tidak bisa dikonsumsi.
Limbah makanan sering dianggap sepele, padahal dampaknya sangat serius. Ketika makanan dibuang, semua sumber daya yang digunakan untuk memproduksi makanan tersebut, seperti air, energi, tenaga kerja, juga ikut terbuang sia-sia. Misalnya, menurut MoveForHunger, sekitar 70% pasokan air tawar global digunakan untuk sektor pertanian. Jadi, membuang makanan sama saja dengan membuang air yang sangat berharga, sementara di belahan dunia lain, banyak orang yang menderita karena kekurangan air. Selain itu, energi yang digunakan dalam proses penanaman, pemrosesan, dan distribusi makanan juga terbuang sia-sia.
Makanan yang terbuang biasanya dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Di sana, makanan terurai dan menghasilkan gas metana, yang memiliki efek rumah kaca 28 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida. Jadi, semakin banyak makanan yang kita buang, semakin cepat bumi memanas. Gas metana ini berkontribusi langsung terhadap perubahan iklim yang sulit dikendalikan. Selain itu, proses produksi makanan juga menghasilkan limbah dan polusi yang tidak sedikit, mulai dari penggunaan plastik untuk pengemasan hingga emisi dari transportasi distribusi.
Menurut laporan United Nations Environment Program (UNEP), 17% dari makanan yang diproduksi secara global berakhir sebagai limbah. Dari jumlah ini, 61% berasal dari rumah tangga, 26% dari restoran atau layanan makanan, dan 13% dari ritel seperti pasar dan supermarket. Ini berarti bahwa rumah tangga adalah penyumbang terbesar limbah makanan. Jika rumah tangga lebih sadar akan jumlah makanan yang mereka konsumsi dan buang, dampak global bisa berkurang secara signifikan. Dan mengapa sih kita sering kali membuang makanan? Ada beberapa alasan umum, seperti:
- Porsi makan yang berlebihan: mengambil makanan yang terlalu banyak dan tidak habis dimakan. Kebiasaan ini sering terjadi di acara pesta atau saat makan prasmanan.
- Ukuran kulkas yang terlalu besar: Membeli makanan dalam jumlah banyak hanya untuk memenuhi ruang kosong di kulkas, lalu lupa hingga makanan basi. Kulkas yang besar mendorong perilaku pembelian yang tidak terencana.
- Penampilan makanan: makanan yang terlihat kurang sempurna sering dianggap sudah tidak layak makan, padahal masih bisa dikonsumsi.
- Kesalahpahaman tentang tanggal kadaluarsa: banyak orang bingung membedakan antara “use by” (tanggal aman konsumsi) dan “best before” (tanggal kualitas terbaik). Akibatnya, makanan yang sebenarnya masih layak makan dibuang begitu saja
Selain dari beberapa alasan tersebut, kurangnya perencanaan saat berbelanja makanan juga menjadi faktor. Banyak orang membeli makanan tanpa mempertimbangkan apa yang sudah mereka miliki di rumah sehingga terjadi pemborosan.
Kita semua bisa berkontribusi dalam mengurangi limbah makanan, dimulai dari kebiasaan sehari-hari. Misalnya, kita mengatur pola makan menjadi lebih efisien. Kita menyusun jadwal mingguan untuk memasak, memprioritaskan bahan makanan yang mendekati tanggal kadaluarsa nya terlebih dahulu. Makanan sisa bisa kita olah kembali menjadi makanan baru, seperti membuat nasi goreng, cireng, ataupun bubur dari nasi sisa. Banyak resep sisa makanan yang bisa kita cari di internet. Dengan langkah-langkah kecil seperti ini kita berhasil setidaknya mengurangi sedikit limbah makanan yang bisa dihasilkan dari rumah tangga.
Selain dari rumah tangga, di sektor ritel juga bisa melakukan pencegahan limbah makanan yang berlebih. Seperti, memberi diskon untuk makanan yang mendekati tanggal kadaluarsa atau yang bentuknya kurang bagus dan restoran-restoran juga bisa menawarkan porsi yang lebih kecil untuk mengurangi makanan yang tidak habis dimakan.
Limbah makanan adalah masalah serius yang memengaruhi lingkungan, ekonomi, dan kemanusiaan. Namun, dengan langkah-langkah sederhana, kita dapat berkontribusi untuk mengatasinya. Mengambil porsi makan secukupnya, memanfaatkan bahan makanan yang mendekati tanggal kadaluarsa, dan menyumbangkan makanan berlebih adalah beberapa cara yang bisa kita lakukan.
Mari kita bersama-sama mengurangi limbah makanan, demi masa depan bumi yang lebih baik. Setiap tindakan kecil yang kita lakukan hari ini akan berdampak besar bagi generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H