Mohon tunggu...
Angra Bramagara
Angra Bramagara Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Orang biasa yang sedang belajar menulis, dan belajar menggali ide, ungkapkan pemikiran dalam tulisan | twitter: @angrab

Selanjutnya

Tutup

Money featured Pilihan

BUT Facebook, Google, Twitter: Hidup Kembali ke Zaman Klasik?

28 Februari 2016   22:34 Diperbarui: 12 April 2016   18:04 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi (sumber: money.cnn.com)"][/caption]Perusahaan platform digital top dunia yang dapat diakses dan menjadi favorit di Indonesia terancam jika perusahaan tersebut tidak berbadan usaha tetap (BUT). Belum jelas bentuk ancamannya, isunya akan diblokir, namun Menkominfo masih belum mempertegas ancaman semacam apa yang akan diberikan. Jika ancamannya diblokir, malapetaka akan menimpa netizen Indonesia. Bayangkan hampir semua netizen pasti memiliki akun email dari Yahoo! atau Google dalam beraktivitas di dunia maya.

Hampir semua netizen pasti memiliki akun media sosial dari Facebook, Twitter, Instagram. Hampir semua netizen pasti mencari informasi dari mbah Google, dan beberapa netizen mendapatkan penghasilan dari Google Play Store. Hampir semua netizen pasti melihat banyak video dari Youtube, dan sebagiannya lagi mendapatkan penghasilan dari Youtube.

Bagaimana jika seketika semua situs platform itu diblokir alias tidak dapat diakses? Indonesia barangkali akan kembali ke zaman behuela. Berkomunikasi dengan berkirim SMS dan telepon memanfaatkan jaringan operator telekomunikasi, serta berkirim surat lewat pak pos. Kembali melihat televisi sebagai media visual bergerak. Mencari informasi dari klipingan koran dan majalah. 

[caption caption="Kliping Koran (sumber: 3.bp.blogspot.com)"]

[/caption]Jika perusahaan platform digital asing itu menjadi BUT alias memiliki kantor tetap di Indonesia, tentu saja akan menguntungkan pemerintah dan masyarakat. Pemerintah bisa memungut pajak dari setiap transaksi mereka di Indonesia, seperti pajak dari jual-beli iklan di Indonesia, atau pajak dari berlangganan layanan yang diakses masyarakat Indonesia. 

Google sebenarnya sudah memiliki kantor perwakilan di Jakarta walaupun hanya sebagai kantor marketing untuk menjual iklan bagi perusahaan maupun UMKM di Indonesia, begitu juga Twitter dan juga Yahoo! walaupun sudah tutup. Namun sampai saat ini mereka tidak bisa dipungut pajak karena status kantor mereka yang hanya perwakilan untuk Indonesia.

Entah status yang bagaimana yang bisa dipungut pajak oleh pemerintah. Padahal perusahaan platform digital asing tersebut beroperasi di Indonesia layaknya perusahaan pada umumnya, di mana ada jajaran manajemen, ada karyawan, hanya saja data center dan aktivitas "bengkel" aplikasi mereka tidak berada di Indonesia.  

Masyarakat pun akan mendapatkan perlindungan, karena perusahaan tersebut dapat dituntut di pengadilan jika ternyata layanan mereka merugikan masyarakat Indonesia, bisa saja dituntut sekian triliun rupiah pada kantor pusat mereka di Amerika Serikat karena sudah bisa melalui jalur hukum. Selama ini barangkali hal tersebut tidak bisa dilakukan karena kantor tetap mereka tidak berada di Indonesia, sehingga belum tersentuh hukum Indonesia.

Sebenarnya tidak menjadi soal mereka membuka kantor tetap di Indonesia, permasalahan yang ditakutkan adalah bagaimana jika ternyata platform asing itu tidak mau mendirikan badan usaha tetap di Indonesia? Apakah kemkominfo benar-benar akan melakukan pemblokiran?

Jika pemblokiran terjadi, Sebenarnya dalam berapa hal tidak menjadi masalah. Karena sebenarnya sudah ada developer lokal yang mampu menciptakan aplikasi platform seperti yang dibuat perusahaan platform digital top dunia tersebut, walaupun belum keren-keren banget. Sampai saat ini mereka masih timbul tenggelam karena pasar kurang mengakses mereka. Namun jika platform digital asing tersebut diblokir, tentu saja platform digital lokal akan gampang unjuk gigi di negerinya sendiri.

Hanya saja, kemungkinan besar pasar mereka hanya lokal, dan batas komunikasi hanya sebatas komunikasi lokalan. Jadi setidaknya untuk sharing informasi atau komunikasi secara lokalan masih tidak menjadi masalah.

Namun dalam beberapa hal tentu saja akan merugikan netizen terutama yang ingin merambah wadah global. Untuk mencapai wadah global di mana informasi dari dunia luar dapat diakses maka platform digital lokal Indonesia tersebut harus juga diakses oleh masyarakat luar negeri untuk berbagi informasi. Ini berarti platform digital lokal harus go global, dan mampu bersaing dengan platform digital asing yang sudah menguasai dunia. Bisakah?

Jika melihat China, Pemerintah China pernah memberlakukan pemblokiran terhadap platform digital asing. Oleh karena itulah perusahaan platform digital di China seperti Alibaba, Baidu, dkk. bisa tumbuh pesat hingga saat ini. Banyak yang menduga bahwa Alibaba, Baidu, dkk. bisa berkembang karena masyrakat China terpaksa menggunakan platform-platform lokal tersebut akibat pemblokiran pemerintah terhadap platform asing, beruntungnya China memiliki penduduk 1.3 miliar orang, baik yang berada di dalam negeri sendiri maupun menyebar di banyak negara.

Bayangkan saja, sekian ratus juta saja yang berkomunikasi dengan menggunakan aplikasi pltaform digital lokalan China dengan sekian banyak perusahaan asal China yang mulai menguasai ekonomi dunia membeli iklan di platform tersebut, dengan jumlah yang sedemkian besarnya tentu saja pertumbuhan platform lokalan China mampu tumbuh dengan pesat bahkan mampu bersaing dengan platform digital asing seperti Amazon, Facebook, Google, dkk.. 

Tercatat pengguna internet di China sekitar 200 jutaan pada tahun 2007 dan 600 jutaan tahun 2015, mencatatkan China sebagai negara nomor satu pengguna internet di dunia saat ini. Perlu dicatat, jumlah itu baru di dalam negeri saja, kira-kira berapa penduduk China di perantauan yang menggunakan internet serta aplikasi platform lokalan China? Bayangkan jika semua mereka menggunakan platform digital lokal China untuk berkomunikasi dengan saudara sebangsanya di China. Jadi tak heran membuat trafik pada platform digital asal China itu semakin ramai.

Bandingkan dengan pengguna internet di negeri asal platform digital asing seperti USA hanya sekitar 227 juta pada tahun 2007 dan 279 juta pada tahun 2014, mencatatkan USA sebagai negara pengguna internet terbanyak kedua di dunia, masih sangat jauh jumlahnya dengan China. Jika ditambah dengan pengguna internet di Indonesia yang tercatat sebagai negara ke-12 pengguna internet di dunia dengan jumlah 13 jutaan pada tahun 2007 dan 42 jutaan pada tahun 2014 masih belum mampu menjangkau China.

Bisa saja Indonesia seperti China di mana komunitas industri digital benar-benar dikuasai oleh anak negeri dengan dukungan puluhan juta netizen. Namun, itu perlu waktu yang tidak sebentar, karena harus melalui semacam "pemberontakan" dari para netizen di mana harus memaksa netizen berpindah dari platform yang sudah advanced serta nyaman menggunakannya kepada platform yang  baru beginner.

Masyarakat yang sudah tergantung betul dengan dunia digital, maka mau tidak mau mereka harus menggunakan platform lokalan itu walaupun tidak sesempurna platform asing. Namun, jika platform lokalan itu ingin mengalahkan Facebook, apalagi Google, apalagi Baidu atau Alibaba rasanya masih sangat jauh karena pengguna platform lokalan saat ini hanya netizen indonesia yang jumlahnya masih puluhan juta, kecuali kualitas platform lokal mampu menjangkau netizen asing dengan memberikan kualitas yang menyamai platform digital asing yang sudah mendunia itu, bisakah?  

Selain memaksa masyarakat menggunakan platform digital bahkan konten digital lokal, pemerintah pun harus mendukung penuh developer lokal untuk terus berkarya, seperti izin usaha, regulasi, modal, dan tak kalah penting adalah mudah memperoleh software legal baik yang berbayar maupun yang open source. Pemerintah diharapkan mensubsidi sofware legal berbayar agar developer lokal bersemangat mengembangkan aplikasi dari segala macam platform agar mampu bersaing untuk masuk ke wadah global.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun