Baru-baru ini operator penyedia internet di Indonesia memblokir Netflix. Berita ini menghebohkan berbagai pihak terutama dari komunitas internet di Indonesia baik para netizen, praktisi internet hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Netflix merupakan perusahaan asal Amerika yang menyediakan aplikasi streaming video dimana konten produknya adalah film. Ratusan film dapat ditonton oleh para netizen dengan cara berlangganan. Konten film yang disajikan oleh Netflix merupakan film yang diproduksi oleh berbagai rumah produksi, dimana Netflix membeli hak dari film tersebut atau melakukan kerjasama (kontrak) dengan rumah produksi. Walaupun Netflix dididirikan sudah lama dan hanya dapat dinikmati di Amerika, namun di Indonesia baru satu bulan ini Netflix bisa dinikmati oleh para netizen terutama yang memiliki akses internet cepat dan stabil. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di banyak negara sebagaimana kebijakan manajemen Netflix untuk memperluas akses penjualannya.
Salah satu harapan dari hadirnya Netflix ini adalah menekan aksi pembajakan, karena dengan hanya membayar biaya bulanan maka berbagai film yang jumlahnya ratusan dapat ditonton oleh netizen secara legal. Bisa saja nanti para sineas Indonesia bisa mamanfaatkan Netflix untuk memasarkan karyanya ke seluruh dunia. Dari sisi ini, sebenarnya hadirnya aplkiasi semacam Netflix dengan jangkauan yang begitu luas cukup menguntungkan bagi pekarya film dan penikmat film di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Posisi Netflix dan Operator, serta Permasalahannya
Netflix merupakan perusahaan digital karena semua produk dagangannya berupa produk digital, namun aliran cara kerja penjualan produknya mirip dengan berdagang barang fisik.
Dipandang dari jaringan bisnis model internet, maka Netflix bisa dikategorikan sebagai marketplace alias pasar. Diibaratkan seperti pasar retail barang-barang kelontong atau toko DVD film yang banyak ditemui di Indonesia, namun yang berbeda hanyalah dari produk yang didagangkan serta cara mengkonsumsinya. Toko DVD mejual piringan DVD yang di dalamnya tersimpan konten film dimana jika ingin menonton filmnya maka piringan DVD tersebut harus diputar melalui DVD player, sedangkan Netflix hanya menjual konten filmnya saja dimana jika ingin menontonnya harus melalui fasilitas streaming internet (di download) di komputer atau smartphone. Tentu saja untuk era sekarang, orang lebih memilih untuk mendownload saja daripada harus memutar DVD.
Sedangkan operator dalam bisnis model internet berperan sebagai pihak yang mendistribusikan konten digital. Kalau diibaratkan seperti pihak logistik atau kurir dalam bisnis perdagangan barang berwujud fisik. Jika dalam perdagangan barang fisik, barang yang dihantarkan menggunakan alat transportasi seperti truk, kapal, kereta api, pesawat adalah barang-barang yang dapat diraba atau disentuh, namun dalam model bisnis digital yang dihantar adalah bit-bit digital dalam bentuk elektron-elektron listrik yang tidak dapat diraba dengan media pengantar berupa gelombang udara, optik bahkan tembaga.
Konten-konten film yang disajikan dalam bentuk digital tersebut disimpan di dalam perangkat komputer yang sering disebut dengan server dimana terhubung pada media penyimpanan elektronika (hardisk), sedangkan barang fisik disimpan dalam ruangan yang disebut dengan gudang. Server dalam dunia e-commerce produk digital bisa juga dianalogikan selain sebagai gudang juga sebagai pasar untuk menyajikan barang dagangan, dimana semua konten digital yang akan dijual diletakkan di sana. Jika server nya di luar negeri berarti lokasi pasarnya berada di luar negeri. Permasalahan yang sering melanda berbagai negara termasuk di Indonesia adalah lokasi penyimpanan objek barang dagangan tersebut. Jika barang dagangannya berupa fisik maka dimanapun gudangnya, tidak menjadi masalah. Namun jika barang jualan berupa digital, lokasi server menjadi permasalahan terutama jika letak server berada di luar negeri.
Jika netizen di Indonesia ingin menikmati konten yang letak servernya di luar negeri, berarti mereka harus mendownloadnya, maka ini berarti peran netizen di Indonesia pada prinsipnya sama dengan peran importir pada perdagangan barang fisik. Bedanya, yang diimport adalah bit-bit digital berupa elektron-elektron listrik, dimana bit-bit itu berjalan menyeberang negara. Kalau disamakan dengan importir pada perdagangan barang fisik, maka bit-bit yang masuk itu harus lah dikenai biaya-biaya (cukai) layaknya biaya yang dibebankan dalam proses ekspor import. Kalau di perdagangan fisik, mungkin dihitung berdasarkan pada jenis produknya dan jumlah produknya, namun pada perdagangan digital mungkin bisa dihitung berdasarkan bit yang masuk (per KB, MB. GB, Terrabyte, dst). Cara seperti ini barangkali bisa diterapkan oleh pemerintah Indonesia dan para operator. Selama ini biaya per bit yang dibayarkan oleh konsumen operator sama saja antara bit yang berasal dari akses server dalam negeri maupun akses server dari luar negeri.
Operator barangkali sering mengeluh dengan hadirnya aplikasi aplikasi yang membanjiri dunia internet di seluruh dunia saat ini. Aplikasi-aplikasi seperti facebook, twitter, instagram, youtube, dan juga netflix dinamakan OTT (Over The Top), dimana mereka tidak membayar apa-apa kepada operator dimana bit-bit yang berasal dari server mereka lalu lalang melewati jaringan operator secara free. Di sinilah bedanya antara perdagangan fisik dan digital. Kalau pada perdagangan fisik, kurir atau pihak logistik dibayar oleh pengirim untuk menggunakan jasa nya, sedangkan pada perdagangan digital tidak lah demikian. Isu lain yang membuat operator bisa saja was-was adalah tersainginya produk mereka dengan kehadiran produk dari aplikasi perusahaan lain apalagi dari luar negeri yang kualitas nya memang diakui di atas rata-rata.
Selama ini, pembayaran bit-bit yang melewati jaringan operator dibebankan pada konsumen. Diibaratkan konsumen membayar ongkos kirim per bit dari pengiriman bit-bit dari berbagai server di seluruh dunia. Jika dipandang dari sisi ini, maka jasa kurir sebenarnya telah dibayarkan oleh konsumen operator. Penetapan harga ongkos kirim per bit sebenarnya ditetapkan oleh operator sendiri. Namun seperti nya operator tidak puas, apalagi jika melihat aplikasi OTT itu untung besar, coba lihat pendapatan facebook, google, dll sedangkan operator dibebani dengan traffik jaringan yang semakin tinggi. Semakin tinggi traffik maka kehandalan jaringan menjadi ancaman. Biaya pengelolaannya pun akan semakin tinggi. Belum lagi besar biaya sewa jaringan internasional. Sehingga kadangkala operator mengancam menutup atau memblokir akses terhadap aplikasi OTT yang bersangkutan jika tidak mau bekerjasama atau membagi persenan dari keuntungan yang diperoleh para OTT. Memblokir akses aplikasi yang kontennya secara garis besar sebenarnya tidaklah merugikan masyarakat sebenarnya sangat disayangkan. Barangkali cara lain bisa saja diterapkan oleh operator untuk mendapatkan kompensasi biaya tersebut, adalah dengan cara membedakan biaya per bit antara jika konsumen mengakses server dari OTT itu atau server dari luar negeri (dikenai biaya import per bit) dengan biaya jika mengakses server dari dalam negeri.
Permasalahan lain dari letak server yang berada di luar negeri adalah masalah pengawasan dan perlindungan konsumen terhadap kerugian pelayanan. Dalam UU ITE serta PP tentang sistem dan transaksi elektronik telah mengatur berbagai hal terutama terkait dari pengawasan para penyelenggara serta perlindungan konsumen dari sisi pelayanan secara teknis (kehandalan perangkat keras, software, maupun informasi) maupun jaminan terhadap kerahasiaan data yang disimpan pada server, namun kebijakan itu hanya bisa menyentuh penyelenggara sistem elektronik maupun transaksi elektronik yang servernya berada di Indonesia. Namun pengawasan untuk penyelenggara sistem elektronik yang berada di luar negeri yang transaksi elektroniknya berlangsung di dalam negeri tidak dapat dilakukan. Untuk pengawasan kehandalan perangkat sistem elektronik yang perangkatnya berada di luar negeri, barangkali telah “diwakillkan” oleh pemerintah negara setempat.
Hanya saja untuk menangani masalah kerugian konsumen masih dirasa bias, dalam aturan UU ITE ada sedikit menyinggung jika terjadi kerugian dari pihak yang melakukan transaksi online maka bisa dilakukan proses melalui hukum dalam transaksi internasional didasarkan pada pada asas hukum perdata internasional (pasal 18 UU ITE) dan bisa diproses melalui berbagai forum hingga arbitrase, serta juga adanya kerjasama dengan penegak hukum negara lain untuk menyelesaikan kasus semacam ini. Namun sejauh mana prakteknya tidak begitu diketahui.
Permasalahan lain adalah terkait dari pajak usaha. Para OTT itu bisa melakukan transaksi di Indonesia karena adanya kesepakatan antara pihak OTT dan konsumen yang dilakukan di wilayah Indonesia melalui agreement yang disepakati melalui tanda tangan elektronik antara pihak OTT dan para netizen(konsumen), walaupun letak servernya di luar negeri. Apakah pajak usaha terkait ini juga dibeban kan kepada konsumen? Atau dibebankan pada pihak ketiga yang menyediakan layanan E-payment untuk membantu proses pembayaran dari konsumen kepada OTT? Di negara asalnya, para OTT itupun pastilah dikenakan pajak atas usahanya oleh pemerintah negara setempat, apakah pemerintah Indonesia tidak bisa bekerjasama dengan pemerintah negara asal para OTT tersebut untuk membagi persenan dari pajak yang didapat dari OTT yang melakukan transaksi di Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H