Mohon tunggu...
Angra Bramagara
Angra Bramagara Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Orang biasa yang sedang belajar menulis, dan belajar menggali ide, ungkapkan pemikiran dalam tulisan | twitter: @angrab

Selanjutnya

Tutup

Money

Proyek Infrastruktur Listrik, Ayam atau Telur?

7 September 2015   16:32 Diperbarui: 3 Februari 2016   18:30 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Soft Launching Proyek Listrik 35000 MW (sumber gambar: detik.com)"][/caption]

Presiden Jokowi berfokus menjadikan negara ini sebagai negara yang berbasis produksi. Produksi yang bahan bakunya dari dalam negeri tentunya, dimana beliau berkali-kali menyebut harus ada nilai tambah dari sumber daya alam Indonesia. Investor dari dalam maupun dari luar negeri yang sektor industrinya berbasis produksi diajak untuk berinvestasi di Indonesia, dengan syarat produksinya harus menggunakan bahan baku lokal dan tidak hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar namun produk-produk yang dihasilkan nanti itu pun harus berbasis ekspor. Diharapkan di masa depan, Indonesia bisa sejajar dengan negara China, Jepang, Amerika, serta negara-negara Eropa, dimana Indonesia termasuk negara yang mandiri dan mampu memiliki peran utama dalam mengendalikan perekonomian dunia karena sebagian besar produk di dunia nantinya akan dibuat dan bersumber dari Indonesia, itu cita-cita kita.

Kebijakan mengurangi import sudah dilakukan pemerintahan Jokowi, walaupun harus menanggung risiko dimana pabrik yang sumber bahan bakunya dari import terpaksa menjadi korban, mereka terpaksa mengurangi produksi bahkan tutup produksi, sehingga pada ujungnya harga jual produk menjadi mahal dan bahkan terjadi PHK. Apalagi ditambah dengan melonjaknya nilai tukar rupiah terhadap dolar, yang semakin menjadikan industri yang bahan bakunya dari import benar-benar terpuruk. Kini saatnya lah industri yang murni dari lokal unjuk gigi, namun sayangnya mereka harus perlu waktu untuk bisa menjadikan produknya sebagai substitusi import, karena sejak lama mereka tidak dibiasakan berkembang akibat kebijakan import pemerintahan masa lalu. 

Untuk mendukung kebijakan pemerintahan Jokowi yang berbasis produksi tersebut. Sarana prasarana pendukung produksi mulai digagas, baik sarana fisik seperti jalan, kawasan industri, waduk, jalur kereta-api, pelabuhan, energi beserta kelistrikan, maupun infrastruktur non fisik seperti regulasi, aturan perizinan, perpajakan, sistem informasi, sumber daya manusia, dsb. Pembangunan keduanya, fisik dan non fisik, yang dilakukan secara simultan tidak mudah karena harus banyak menemui tantangan. Tantangan datang dari mental para birokrat yang mengurusi pembenahan dan pembangunan infrastruktur-infrastruktur tersebut, juga mental masyarakat yang seringkali mau enak sendiri dan seakan tidak mendukung proyek pemerintah yang padahal akan berujung juga untuk kesejahteraan mereka di masa depan, serta tak lupa pula tantangan dari para mafia yang masih berkuasa di setiap infrastruktur itu yang mana ada diantara mereka merasa sudah keenakan menikmati keuntungan dari kebijakan berbasis konsumsi yang telah diterapkan pada era masa lalu.

Ibarat cerita, investor dan infrastruktur bagai ayam dan telur, mana yang terlebih dahulu harus ada. Investor yang berbasis produksi mau menanamkan modalnya di Indonesia, asalkan sarana dan prasarana pendukung produksinya tersedia, serta juga mereka ingin dimudahkan untuk berproduksi di Indonesia. Hal ini berarti, jika semakin banyak sarana dan prasarana yang tersedia, maka semakin tertarik pulalah investor menanamkan modalnya di Indonesia. Oleh karena itu, hadirkan dulu sarana dan prasarananya, barulah investor bersedia masuk. Investor tidak suka dengan ketidakpastian, apalagi modal yang akan ditanamkannya sangat besar. Sehingga, wajar sekali jika pemerintahan Jokowi mengebut dan manergetkan proyek yang menurut sebagian orang tidak masuk akal.

Tidak hanya memancing investor datang, pembangunan besar-besaran ini pada ujungnya untuk menghadapi bonus demografi yang akan diterima Indonesia tahun 2020. Tersisa waktu hanya 5 tahun lagi. Jangan sampai jumlah penduduk produktif Indonesia yang nantinya jauh lebih besar daripada penduduk usia tidak produktif pada tahun 2020-2030 akan menjadi biang kerok kerusuhan Indonesia di masa depan karena mereka tidak bekerja alias menganggur akibat dari minimnya lapangan kerja atau perusahaan/dunia usaha. Enterprenuer dan para investor berbasis produksi harus secepatnya masuk ke Indonesia, agar penduduk-penduduk muda Indonesia nantinya ada pekerjaan. ketika penduduk Indonesia banyak yang bekerja, hasil pekerjaannya pun berdampak besar bagi perekonomian negara karena ekonomi negara sudah berbasis produksi. Insyallah kesejahteraan akan hadir di Indonesia. 

Bagaimana mungkin mengerjakan proyek besar (biaya dan fisiknya) hanya dalam waktu lima-enam tahun saja? sayangnya di Indonesia saat ini tidak ada orang seperti bandung bondowoso atau sangkuriang.

Salah satu proyek yang paling menimbulkan kontroversial saat ini adalah proyek listrik 35.000 MW. Proyek yang kabarnya digagas oleh Wapres JK. Sebelumnya di masa pemerintahan SBY, dimana JK berposisi juga sebagai wapres sempat mewacanakan proyek listrik 10.000 MW, namun kala itu proyek tersebut tidak berjalan karena berbagai faktor. Kali ini Pak JK bersama Pak Jokowi lebih terobsesi lagi, tidak tanggung-tanggung yaitu 35.000 MW. Membangun proyek listrik 10.000 MW aja tidak bisa, apalagi 35.000 MW, dalam waktu 5 hingga 6 tahun pula, barangkali begitu sindiran Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli. Proyek yang tidak masuk akal menurutnya.

Hari ini, Rizal Ramli semakin menegaskan pendapatnya terkait proyek listrik 35.000 MW. Beliau mengatakan bahwa proyek listrik tersebut bisa merugikan PLN. Hal ini karena kebutuhan listrik di Indonesia untuk tahun 2019 diperkirakan hanya 74.000 MW. Sehingga jika terbangun 35.000 MW di 2019 maka PLN akan menanggung beban idle sebesar  21.331 MW. Sesuai dengan aturan yang ada PLN harus membeli listrik yang dihasilkan swasta yang menggarap proyek tersebut sebesar 72% dari nilainya. 

“Kalau 35.000 MW dilaksanakan sampai 2019, akan ada kapasitas lebih 21.000 MW. Dan dalam kesepakatan pembelian dengan swasta PLN harus membayar 72 persen, dipakai atau tidak dipakai. Dan itu akan membuat PLN mengalami kesulitan,” -Rizal Ramli, Menko Maritim dan Sumber Daya-

Tampaknya Pak Rizal Ramli akan mengubah besaran proyek listrik 35.000 MW ini. Beliau sepertinya akan membangun 16.000-18.000 MW saja hingga tahun 2019. Barangkali Pak Rizal Ramli lebih fokus pada pekerjaan bertahap daripada langsung total.

“Sisa-sisanya kita perlu revisi. Misalnya bisa dilanjutkan dalam lima tahun yang akan datang. Tapi yang paling penting, program ini tidak boleh membuat PLN rugi. Karena kalau ada excess kapasitas PLN harus bayar,”  -Rizal Ramli, Menko Maritim dan Sumbe Daya-

Tampaknya bakalan ada yang kecewa dengan rencana merevisi besaran proyek listrik ini, selain investor yang berharap sarana dan prasana kelistrikan di Indonesia memadai, dimana mungkin dapat mengurangi minatnya berinvestasi di Indonesia.  Tidak mungkin investor masuk terlebih dahulu, nanti barulah listriknya dibangun, karena akan ada perasaan ketidakpastian apalagi ini di Indonesia yang tingkat ketidakpastiannya tinggi. Investor maunya bangun dulu listriknya, baru mereka masuk. Ya, bagaikan ayam dan telur, yang mana ayamnya dan yang mana telurnya serta siapa yang seharusnya lebih dahulu ada?. Selain para investor, mungkin juga kekecewaan datang dari pihak swasta yang awalnya akan masuk pada proyek ini, siapa ya kira-kira?  

Walaupun nantinya besaran proyek direvisi demi menyelamatkan PLN, namun setidaknya harus ada kepastian yang diberikan oleh pemerintah kepada calon investor. Kita ingin PLN tidak rugi, namun juga investor tetap tertarik ke Indonesia. Mungkin, boleh saja proyek listrik hanya 18.000 MW saja, namun pemerintah sebaiknya juga menyiapkan spare sarana dan prasarana kalau-kalau besaran kebutuhan listrik ternyata di luar perkiraan awal yang harus segera cepat teralisasi, dimana nanti ketika investor memerlukan listrik yang ternyata butuh tambahan daya secepatnya maka pemerintah sudah tinggal instal saja. Spare Sarana dan prasarana itu ibarat sebagai komponen kepastian dari pemerintah yang dipegang oleh calon investor. Salah satu sarana dan prasarana itu misalnya adalah mempersiapkan lahan untuk target 35.000 MW atau mungkin 100.000 MW walaupn pada kenyataannya hanya butuh lahan untuk 18.000 MW dalam 5 tahun namun setidaknya untuk kebtuhan 10-30 tahun mendatang pemerintah sudah punya lahan yang siap digunakan untuk menambah daya, serta tentu saja mesin-mesin pembangkit dan transmisi yang sudah "standby" siap dibuat dan dipasang kapan saja yang tentu saja diharapkan menggunakan komponen lokal dan dibuat di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun