Mohon tunggu...
Angra Bramagara
Angra Bramagara Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Orang biasa yang sedang belajar menulis, dan belajar menggali ide, ungkapkan pemikiran dalam tulisan | twitter: @angrab

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama featured

Kebijakan Simultan Pemerintah Bikin Dolar Naik?

25 Agustus 2015   23:05 Diperbarui: 9 Mei 2018   08:17 5562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (playbuzz.com)

Isu panas, dolar tembus Rp. 14000. Peristiwa yang baru pertama kali dalam sejarah RI setelah tahun 1998. Kalau tidak salah pada tahun 1998, rupiah pernah mencapai Rp. 17.000 / dolar. Saat ini banyak diantara kita mengomel. Kengomelan yang datang dari masyarakat itu adalah sesuatu yang wajar karena bisa berdampak pada kehidupan ekonomi mereka. Walaupun rupiah sedang anjlok, namun kita patut bersyukur karena inflasi masih tetap stabil. 

Kenapa harga dolar bisa sampai setinggi itu? banyak faktor yang menyebabkannya. Sebelum menjabarkan faktor-faktor itu, alangkah baiknya kita samakan persepsi kita. Prilaku uang itu mirip seperti barang, ada supply dan demand. Dikala persediaan dolar di pasar dalam negeri rendah sedangkan permintaannya tinggi maka dipastikan harga dolar akan tinggi, begitu juga sebaliknya yang mana ketika persediaan dolar di pasar dalam negeri tinggi sedangkan permintaannya rendah maka harga dolar akan jatuh. Nah, dari sudut pandang prilaku uang inilah titik patokan kita untuk mengetahui kenapa dolar itu harganya saat ini tinggi?

Sebelumnya, salah satu kompasianer lain telah menjabarkan sudut pandang terkait dolar yang saya pahami dari sudut pandang ekstenal terutama ekspor import indonesia, bahkan beliau melengkapi pandangannya dengan data-data. Saya mencoba melangkapi juga dengan data seadanya saya, dan selanjutnya dicampur dengan dugaan dan opini saya.

Data Inflasi (sumber: Bank Indonesia) -- BI.go.id
Data Inflasi (sumber: Bank Indonesia) -- BI.go.id
Sejak Agustus 2013 hingga Septembar 2013, harga dolar menunjukkan trend naik dari Rp. 10.000 an hingga Rp. 12.000 an. Dolar sempat turun pada Oktober 2013 yaitu berkisa Rp.11.000 an. Kemudian tren naik lagi hingga Maret 2014,  memasuki Maret 2014 dolar kembali turun yaitu berkisar Rp. 11.000 an. 

Kemudian dolar kembali menunjukkan tren naik dari Maret 2014 hingga pertengahan Mei 2014 yang mencapai Rp. 12.000 an walaupun sempat turun sebentar beberapa hari selama Mei 2014 Rp.11.000 an, namun setelah itu dolar kembali naik hingga akhir Juni 2014 yang mencapai Rp. 12.500 an. Setelah akhir Juni 2014, dolar turun lagi walaupun masih berkisar Rp. 12.000 namun tetap stabil di bawah Rp.12.500 sampai pada akhirnya dolar kembali naik setelah memasuki September 2014 yang kemudian menunjukkan tren naik terus hingga saat ini, 

Agustus 2015 yang menyentuh Rp.14.000. Namun setelah bulan Agustus 2013, dolar tidak pernah lagi menembus RP. 10.000. Begitulah kira-kira perjalanan si dolar. Di sini menunjukkan kestabilan dolar dikisaran Rp.11.000 hingga Rp.12.000 an sejak pertengahan 2013 hingga November 2014. Setelah itu dolar menginjakkan kakinya di kisaran Rp.13.000 an hingga Rp. 14.000 hingga saat ini.

Sumber: BI.go.id
Sumber: BI.go.id
Kalau dilihat dari sudut politik, setelah Prabowo mengundurkan diri dari ajang pilpres dan Jokowi terpilih menjadi presiden pada Juli 2014, dolar menunjukkan kestabilan nya pada titik Rp.12.000 an. Namun sebelum Jokowi dilantik menjadi Presiden RI pada Oktober 2014 dan sebelum para ketua DPR DPD RI yang sempat ricuh itu dipilih pada Oktober 2014, ternyata pada bulan sebelumnya, September 2014, dolar mulai merangkak naik. 

Apa yang terjadi pada bulan September 2015? sepertinya turun naiknya dolar kala itu terjadi bukan karena isu politik tanah air yang memang sempat ricuh. Namun para pengamat menduga karena faktor ekstenal, seperti isu ISIS yang mulai merebak kala itu, dan mulai bangkitnya ekonomi Amerika Serikat, dan kebijakan ekonomi Rusia kala itu.

Selain karena faktor ekstenal yang terjadi pada bulan September 2014 itu, barangkali faktor internal juga bisa ikut mempengaruhi dolar tidak bisa direm untuk tidak terus naik. Belum diketahui berapa besar persentasi porsi keterlibatan faktor eksternal dan internal dalam menaiknya tren dolar itu sejak September 2014. Mungkin saja benar, bahwa faktor eksternal lah yang lebih dominan mempengaruhi persediaan dolar di pasar tanah air seperti yang disampaikan oleh pemerintah saat ini yang mana selalu "menudh" bahwa faktor eksetenal lah sebagai biang kerok dolar begitu perkasa hingga saat ini.

Terlepas dari persentase besar kecilnya pengaruh faktor intenal, kira-kira faktor intenal apakah yang bisa ikut menyumbang tren dolar tidak bisa direm?

Sebagian orang menduga bahwa kebijakan Presiden Jokowi lah yang menyumbang pengaruh dolar tidak bisa direm. Beberapa kebijakan Jokowi yang diperkirakan ikut mempengaruhi persediaan dolar di tanah air adalah menaikkan harga BBM bersubsidi, kebijakan mempeketat import terutama bahan pangan dan produk-produk jadi maupun komponen pendukung industri tanah air, kebijakan pajak. 

Di luar kebijakan itu, para penegak hukum pemberantas korupsi seperti KPK, Kejaksaan, dan Polri sepertinya juga ikut mempengaruhi dolar tidak bisa direm. Sayangnya, kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan secara simultan alias hampir bersamaan oleh pemerintah. Penerapan kebijakan secara hampir bersamaan ini membuat masyarakat dan industri seperti tidak dikasih napas untuk terus bergerak.  

Selama ini ekonomi Indonesia dominan ditopang oleh tingkat konsumsi dan ekspor sumber daya alam terutama minyak bumi dan batubara. Di saat pemerintah saat ini mengganti fokus perekonomian Indonesia dari yang bersifat konsumsi menjadi negara yang bersifat produksi maka pasti akan benyak fondasi ekonomi yang berubah. Dampaknya mungkin untuk sementara adalah tingkat komsumsi masyarakat akan turun. Padahal tingkat konsumsi itulah sebagai daya tarik indonesia bagi investor untuk menyimpan dolarnya di Indonesia. Ketika tingkat konsumsi turun, maka Indonesia untuk sementarawaktu ditinggal investor dengan menarik dolarnya dari Indonesia.

Kebijakan Import 

Dulu masyarakat atau industri bisa mengkonsumsi apapun dengan murah, maka saat ini kebiasaan itu sudah mulai terbatas. Industri tidak bisa lagi dengan bebas meng import produk jadi maupun komponen pendukung industrinya karena kebijakan perketatan import oleh pemerintah. Pemerintah menyarankan untuk menggunakan produk atau komponen lokal tanah air. 

Sayangnya produk-produk yang diperketat untuk diimport itu masih langka di Indonesia, kalaupun ada kualitasnya tidak sesuai kebutuhan industri. Akibatnya harga produk-produk yang berafiliasi dengan produk import di masyarakat menjadi lebih mahal, karena stok yang terbatas, industri membatasi produksinya. Akibatnnya daya beli masyarakat menjadi menurun, tingkat konsumsi pun otomatis ikut turun. Bahkan industri pun mulai mem PHK karyawannya akibat kesulitan produksi, akibatnya makin rendahlah tingkat konsumsi masyarakat.

Langka atau tidak berkualitasnya komponen atau produk pengganti import itu barangkali karena kebijakan masa lalu yang fokus ke konsumsi sehingga keran import di buka selebar-lebarnya, industri lokal gulung tikar. Saat ini ketika mereka dibutuhkan untuk menutupi produk import, mereka belum siap dan bahkan harus memulai dari nol dulu, padahal dibutuhkan kecepatan ketersediaan akan produk mereka. 

Seharusnya pemerintah menyiapkan dulu segala hal terkait produk pengganti import itu sebelum menerapkan perketatan import. Tapi kemudian timbul pertanyaan, darimana sumber dayanya baik itu dana, infrastruktur, maupun keahlian SDM nya? itulah tugas kita bersama, bekerjasama menyediakan segala sumber daya itu. Dana penyediaan sarana dan prasarana itu konon kabarnya dari pengelihan subsidi BBM, serta juga utang.

Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

Naiknya harga BBM, karena subsidinya dialihkan ke hal-hal yang produktif, menyebabkan dampak kepada faktor logistik industri dan beban energi industri. Ditambah pula infrastruktur fisik dan kondisi alam di Indonesia yang tidak menentu, mengakibatkan biaya logistik semakin mahal. Dampaknya adalah harga produk di masyarakat menjadi mahal. 

Selain industri, masyarakat pun terkena imbas dari naiknya harga BBM, terutama masyarakat yang menggantungkan aktivitas seharinya-harinya menggunakan BBM. Porsi pengeluaran mereka untuk itu menjadi besar, sedangkan pendapatan mereka tetap atau bahkan menurun. Akibatnya daya beli masyarakat menjadi turun, otomatis tingkat konsumsi masyarakat turun.

Pengawasan Oleh Penegak Hukum Pemberantas Korupsi

Setelah Polri dan Kejaksaan mulai ikut nimbrung dalam hal pemberantasan korupsi, maka KPK kini tidak sendiri lagi dalam memberantas korupsi. Walaupun belum optimal kinerja dua institusi "adik" KPK itu, namun setidaknya kehadiran mereka membuat para pejabat pusat maupun daerah semakin berhati-hati dalam berbelanja menggunakan APBD maupun APBN. Tidak heran jika penyerapan anggaran baik APBD dan APBN saat ini rendah, salah satunya karena ketakutan pejabat daerah untuk membelanjakannya.

Padahal pemerintah mengharapkan betul peran serta penyerapan anggaran APBN maupun APBD untuk segera dibelanjakan agar tingkat kosumsi segera bangkit kembali, karena untuk saat ini masyarakat sepertinya tidak mungkin memberikan peran besar untuk meningkatkan tingkat konsumsi tanah air.

Turunnya Harga Komoditas

Diluar kebijakan pemerintah, faktor lain yang bisa membuat persediaan dolar di Indonesia turun adalah kinerja ekspor. Ekspor Indonesia masih mengandalkan komoditas. Komoditas andalan Indonesia untuk meraup dolar adalah minyak bumi, batubara, serta juga sawit. Semua komoditas itu harganya turun. Tingkat penjualan sedikit, yang ada malah merugi. 

Dampaknya adalah pengurangan beban industri, salah satunya melalui PHK ataupun pengurangan gaji. Tidak sedikit masyarakat kita yang menggantungkan hidupnya di industri komoditas bahan mentah ini, karena fokus pemerintah masa lalu adalah di industri ini. Sehingga dengan adanya PHK atau pengurangan gaji di industri ini, maka otomatis tingkat komsumsi masyarakat bisa tergerek turun

Kalaupun komoditas itu terjual, maka dapat dolarnya sedikit. Apalagi ada beberapa pengusaha yang tidak menyimpan dolarnya di Indonesia, akibatnya persediaan dolar di Indonesia sedikit.

Beberapa faktor itulah yang membuat investor sepertinya tidak ragu lagi untuk menarik investasi dolarnya dari Indonesia, selain juga termotivasi oleh faktor eksternal seperti terjadinya devaluasi yuan, serta kebijakan The FED yang semakin membuat mereka menggebu-gebu untuk menarik dolar nya dari Indonesia. Bagaimana dengan politik tanah air? Rasanya kegaduhan politik tidak terlalu punya peran besar dari naik turunnya nilai dolar.

Mungkin untuk mengbah haluan menadi negara produksi dari negara konsumsi, memang perlu ada yang dikorbankan, salah satunya mungkin adalah nilai rupiah terhadap dolar. Namun kita harapkan harga pangan yang sebenarnya tidak terlalu berafiliasi dengan dolar, bisa segera turun harganya. Jika harga pangan tidak terkendali, maka chaos akan dengan mudah terjadi, karena ini urusan perut seluruh masarakat Indonesia baik masyarakat miskin maupun kaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun