Bila hibah yang diberikan dalam wujud perbaikan/pelebaran jalan, maka logika sederhananya adalah bahwa aksesibilitas yang baik akan mendukung dan memperlancar mobilitas orang dan barang antar wilayah, yang menggerakkan perekonomian wilayah.Â
Demikian pula bila bantuan sosial yang diberikan berupa bangunan embung yang dapat dimanfaatkan masyarakat yang bermukim pada daerah yang mengalami kekeringan atau bantuan sosial berupa perahu kepada nelayan tradisional nampaknya akan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat yang mengalami kerawanan sosial.
Calon gubernur pasangannya, hanya bisa membenarkan sambil menjustifikasi pernyataan pasangan calon wakilnya dengan mengatakan bahwa peraturan membolehkan praktek pembagian hibah dan bansos kepada berbagai daerah bahkan hingga ke luar provinsi. Praktek seperti itu memang dibenarkan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Akibatnya jelas, berbagai statement yang disampaikan dengan penuh semangat dalam debat calon kepala daerah amat kaya fakta, pengalaman, bahkan janji dan wacana, namun amat miskin ide/gagasan, intelektualitas dan visi tentang pembangunan berkelanjutan. Terlalu banyak hal yang tidak clear dan berpotensi menimbulkan masalah dengan kebijakan pembangunan berbasis hibah dan bansos.Â
Tidak clear karena dalam prakteknya pemberian hibah dan bansos tidaklah selalu senafas dengan regulasi yang mengaturnya, dan amat sulit menghindari kesan adanya nuansa politik sebagai upaya menjaring suara sejak jauh-jauh hari.
Kebijakan tersebut juga berpotensi menimbulkan masalah karena dalam prakteknya, terutama pada tahun-tahun politik, belanja hibah bansos menjadi cenderung lebih diprioritaskan daripada belanja pelaksanaan urusan wajib dan pilihan, sehingga mengganggu cash flow penyerapan belanja-belanja program instansi.Â
Ketika cash flow anggaran terganggu/tidak sesuai perencanaan akibat belanja daerah lebih diprioritaskan pada kebijakan belanja hibah dan bansos, tentunya belanja-belanja program yang menjadi tugas instansi pemerintah selaku pelaksana urusan wajib dan pilihan menjadi terganggu, pelayanan publik pun terganggu. Ini artinya anggaran daerah terindikasi dipolitisasi berlebihan demi mendulang suara pada ajang pilkada.
Di debat lainnya, ada pula calon bupati/walikota yang menyampaikan programnya hanya berbasis pembagian uang pada level lingkungan, RT/RW, desa
Berkaca dari pengamatan tersebut, perkembangan yang terjadi dalam mekanisme rekrutmen politik hingga proses kontestasi politik telah mengalami perubahan mendasar dengan sisi kelebihan dan kelemahannya.
Pertama, proses rekrutmen telah menjadi lebih terbuka, sehingga siapa pun dapat menduduki jabatan publik melalui partai politik, sepanjang seseorang memiliki popularitas dan kekuatan finansial. Sisi lemahnya kendaraan politik bisa disewa atau bahkan dibeli untuk dapat ikut serta dalam kontestasi politik itu sehingga kader partai yang bertarung dalam pilkada bukanlah kader yang ideologis, namun pragmatis.
Kedua, mekanisme sosialisasi kader-kader kepada publik telah berubah dari ajang pentas dangdut dan arak-arakan di jalan ke ajang uji publik yang dilaksanakan kampus dan debat publik yang dilaksananakan KPU. Mekanisme ini "memaksa" peserta kontestasi untuk bisa tampil di publik menyampaikan visi, misi dan program yang akan dilaksanakan untuk membangun daerah.