Sederhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti bersajaha, tidak berlebih-lebihan. Belakangan ini wacana tentang kesederhanaan menjadi isu hangat. Mengemukanya wacana kesederhaan, gaya hidup bersahaja, tidak berlebih-lebihan, bukan tanpa sebab. Kesederhanaan muncul menjadi wacana publik karena kegundahan, kemuakan masyarakat terhadap aksi pamer, parade, jor-joran kekayaan/gemilang kemewahan oleh para artis, selebriti, pengusaha, pejabat publik/penyelenggara negara, politisi, bahkan penceramah agama, atau anak, istri, hingga menantu para tokoh/figur publik tersebut. Media sosial menjadi sarana ampuh para "sultan" atau crazy rich itu untuk menunjukkan dan mengukuhkan "kuasa" mereka atas berbagai jenis barang-barang keduniawian itu.
Rasanya belum luntur dari ingatan kita betapa rakyat Indonesia merindukan, mengagumi dan mendukung sosok figur publik yang menganut kesederhanaan dalam kesehariannya. Kesederhanaan dalam tutur kata, kesederhanaan dalam penampilan. Kesederhanaan karena bersedia menyatu dan membaur dengan rakyat Indonesia yang berdasarkan data BPS mencapai 9,36 persen atau sekitar 25,8 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan.
Kesederhanaan karena rela masuk ke selokan, belanja di pasar tradisional, ke rumah-rumah kumuh, untuk berempati dan merasakan apa yang rakyat miskin rasakan. Dukungan besar itu terhadap sosok yang bisa menjalani kesederhanaan terjadi karena bagi rakyat, itulah kondisi mereka. Kesederhanaan itulah kehidupan mereka.
Persoalan perilaku kesederhanaan itu hanya sekadar pencitraan, bukan sesuatu yang orisinal dalam dirinya, itu tentunya wallahualam, hanya yang Maha Kuasa yang mengetahui kesejatiannya. Kesederhanaan menjadi "jurus" yang amat sangat bermanfaat bila dimaksudkan untuk sekadar mendongkrak citra dan popularitas seseorang, agar mendapatkan stempel sebagai sosok yang merakyat.
Di kutub yang lain, masih belum luntur pula dalam ingatan publik ihwal perilaku selebriti, artis, pengusaha, pejabat, penyelenggara negara, politisi, pengacara  atau keluarganya (anak, istri, menantu, mungkin juga cucu) yang amat sangat aktif "berkontribusi" memajukan platform media sosial yang notabene adalah milik para kapitalis asing. Mereka menjadi kaum selebriti di "media sosial", mengisi ruang-ruang digital dengan berbagai konten yang sarat akan parade kemewahan.Â
Parade kekayaan ini ditunjukkan dengan berbagai postingan yang serba "wah", seperti pakaian mewah, perhiasan mahal, mobil mewah, rumah mewah, makan makanan mewah, rumah mewah, Â jalan-jalan ke luar negeri, hingga bepergian dengan pesawat jet. Bila seorang pengusaha kakap, yang namanya kerap muncul sebagai pengusaha kelas wahid versi majalah Forbes, mungkin saja ini gaya hidup mewah itu bisa dimaklumi.
Akan menjadi menarik apabila terverifikasi ihwal asal-muasal kekayaan yang berlimpah dan senantiasa diparadekan para figur publik itu. Tentunya tidak mudah pula mengetahui apakah kekayaan itu diperoleh secara  legal, bukan dari bisnis abal-abal, penyelundupan, money laundering, gratifikasi, korupsi, industri yang mencemari lingkungan, pabrik yang melanggar HAM, pembalakan hutan dan tambang ilegal, usaha monopoli yang mematikan UMKM, dan segudang cara-cara ilegal lainnya. Sebagian kecil ada yang bernasib apes, karena perilakunya terpantau sebagai aktivitas ilegal, terindikasi ada pelanggaran pajak atau bahkan penggelapan, sehingga pelaku pamer kemewahan, pasangan atau orang tuanya harus kehilangan jabatan atau bahkan berurusan dengan hukum.
Tidak puas dengan "kekayaan fisik" tadi, masih ada dahaga lain yang juga masih harus dipenuhi. Dahaga itu baru dapat terpenuhi melalui keberhasilan memperoleh gelar "berbau" akademik. Oleh sebab itu cukup banyak pula figur publik yang terobsesi dengan gelar "berbau" akademik langsung mencapai level yang tertinggi, yaitu jenjang "doktor". Berbagai urusan yang menyertai peserta didik jenjang doktoral seperti membaca, memahami, me-review dan menuliskan kembali hasil elaborasi atas puluhan atau ratusan artikel ilmiah hasil riset terdahulu yang terkait dengan penelitiannya, tidak masalah.Â
Demikian pula urusan kewajiban publikasi di jurnal internasional bereputasi dan kewajiban memaparkan hasil penelitiannya pada konferensi internasional, itu tidak menjadi persoalan. Semuanya bisa diselesaikan dengan dukungan penuh "tim sukses" di belakang layar. Memang tidak tertutup kemungkinan ada pula sebagian figur publik yang menjalani proses pendidikan tinggi hingga meraih gelar akademik tertinggi ini melalui proses yang benar dan tanpa kesulitan, karena sejak awal memang telah memiliki tacit knowledge serta kemampuan akademik yang mumpuni dan telah tertempa bertahun-tahun dalam perjalanan hidup dan karirnya.
Bagi yang tidak mau direpotkan dengan berbagai kewajiban yang "menantang" tersebut, ada yang berupaya menempuh jalur lain, yaitu Doktor Honoris Causa (Dr.HC). Gelar ini konon merupakan pemberian dari suatu lembaga pendidikan tinggi kepada seseorang atas kontribusi nyata terhadap pencapaian suatu bidang pembangunan selama bertahun-tahun, bukan karena keberhasilan menjalani proses pendidikan akademik jenjang doktoral yang demikian ketat. Ini pula masih menjadi kontroversi, apa memang benar pemberian gelar itu memang berdasarkan proses yang ketat, atau di belakang layar ada kewajiban melakukan pembayaran kepada lembaga perguruan tinggi bila ingin memperoleh gelar kehormatan.
Tidak puas dan cukup sampai di sana, kemewahan dalam hidup ini bahkan juga ingin diraih dengan tambahan gelar profesor, padahal gelar profesor bukanlah gelar akademik, melainkan jabatan akademik bagi seorang akademisi yang bekerja sebagai pendidik di lembaga perguruan tinggi. Tentu menjadi tanda tanya besar apabila ada figur publik yang bukan seorang akademisi aktif pada perguruan tinggi dan melaksanakan kegiatan penelitian, pendidikan dan pengabdian masyarakat (Tri Darma Perguruan Tinggi) serta berkontribusi besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan secara berkelanjutan, bisa menyandang gelar profesor. Ketika ini terjadinya, sangat terbuka ruang spekulasi bahwa pemberian gelar ini juga berbasis transaksi bukan prestasi akademik.
Di luar sana sejatinya justru amat banyak rakyat biasa, rakyat jelata yang hidup di pedalaman, di gang-gang sempit, di daerah perbatasan dan terluar, dengan tacit knowledge yang dimilikinya, dengan kearifan lokal yang telah menyatu dalam dirinya, berkontribusi besar dalam pembangunan masyarakat sekitar. Tacit knowledge dan kearifan lokal ini mungkin terwujudkan dalam seni, kepercayaan, praktek budaya pertanian, penangkapan ikan, pengobatan, pemeliharaan lingkungan, konservasi sumber daya air, mitigasi bencana dan sebagainya. Mereka tidak pernah memamerkannya di media sosial bak selebgram atau figur publik, karena yang penting adalah berkarya, berkontribusi di dunia nyata, bukan di dunia maya. Tidak ada pula motivasi untuk melakukan panjat sosial (pansos), karena tanpa pamer di media sosial pun masyarakat yang diampunya telah mengakui kontribusi nyata yang diberikan.
Sejatinya rakyat jelata yang hidup dalam kesederhanaan, namun dengan tacit knowledge-nya telah berkontribusi nyata dalam pembangunan komunitas inilah yang layak mendapatkan gelar kehormatan macam Doktor honoris causa. Ini adalah bentuk pengakuan dan penghormatan dunia pendidikan tinggi kepadanya. Bukankah tidak hanya sains modern yang dapat memajukan bangsa? Kekayaan kearifan lokal yang dimiliki Indonesia yang dipadukan dengan sains modern, akan membuat Indonesia memiliki daya dobrak luar biasa dalam memajukan bangsa. Mungkin keraguan atas pemberian gelar Doktor Honoris Causa atau Profesor Honoris Causa ini dapat sedikit berkurang apabila kepada penyandangnya melekat kewajiban untuk menggali kearifan lokal Indonesia dan menghubungkannya dengan sains modern.Â
Kepada mereka-mereka ini melekat kewajiban sebagai agen untuk menghubungkan antara kearifan lokal yang hidup di tengah-tengah rakyat dengan sains modern yang hidup di tengah-tengah akademisi di perguruan tinggi. Dampak penting pertemuan antara kearifan lokal dan sains modern amat nyata. Perguruan tinggi tidak lagi menjadi "menara gading" yang jauh dari kehidupan rakyat karena mampu membumikan ilmu pengetahuan menjadi berbagai produk barang jasa yang berasal dari rakyat dan bermanfaat bagi rakyat dan bangsa.
Urusan pamer kekayaan pribadi, pamer gelar di ruang publik dan medsos pada dasarnya adalah hak setiap individu. Terlebih bila memang kekayaan tersebut diperoleh dari kerja kerasnya dalam membangun kerajaaan bisnis atau karirnya. Hal yang terasa ganjil adalah perilaku ini yang tidak "klik" dengan kondisi Indonesia dewasa ini, yaitu adalah luntur atau bahkan hilangnya rasa empati dari para figur publik terhadap permasalahan publik. Bukankah sebagai insan manusia yang berakal budi dan memiliki hati nurani, bahkan diberikan gelar akademik kehormatan, maka menjadi kewajibannya untuk membantu orang lain agar dapat pula meningkatkan derajat kehidupannya secara berdikari?
Pancasila yang sejak kecil diajarkan kepada warga negara Indonesia berupaya menanamkan nilai-nilai ideologis tentang sosio demokrasi, sehingga kekuatan politik tidak hanya bekerja untuk golongan tertentu saja, melainkan untuk semua rakyat. Tidak terjadi jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin. Amat sulit menemukan, entah sila mana dari Pancasila yang terimplementasikan melalui parade kekayaan para figur publik di media sosial karena parade ini justru secara gamblang menunjukkan adanya tembok pemisah yang semakin tegas antara si kaya dan si miskin.
Selain itu dapat dipastikan pula bahwa seluruh atau sebagian besar kekayaan yang dipamerkan para figur publik penghobi parade ini, seperti jam tangan, perhiasan, mobil, motor, sepeda, pesawat jet, dan lainnya adalah produk luar negeri. Semakin asli "made in luar negeri" yang ditunjukkan dengan gambar besar merk produknya, maka semakin eksklusif, mahal dan berkelas pula figur publik yang menguasainya. Ironisnya, semakin besar penguasaan atas barang-barang mewah produk asing itu, maka semakin besar pula kontribusi para figur publik terhadap defisit neraca perdagangan Indonesia. Gaya hidup glamour ini sama sekali tidak ada urusannya dengan memajukan Indonesia mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045, karena semata-mata hanya pencapaian pribadi.
Barangkali akan sedikit lebih baik serta menimbulkan dampak ekonomi jangka panjang apabila berbagai barang mewah, gaya hidup glamor yang dipamerkan itu adalah produk-produk dalam negeri buatan rakyat Indonesia. Jadi parade kemewahan yang dilakukan berorientasi untuk meng-endorse, memviralkan kehebatan budaya, alam dan budaya, kekuatan industri dan teknologi bangsa Indonesia kepada dunia. Semakin populer dan mendunia produk industri Indonesia, tentunya akan berdampak besar terhadap pembangunan Indonesia. Indonesia niscaya tidak akan terjebak dalam posisi sebagai negara kelas menengah. Â
Hingga saat ini nampaknya tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang seseorang memamerkan kekayaan/kemewahan yang dimiliki, terkecuali Aparatur Sipil Negara, yang memang terikat aturan khusus, dilarang pamer gaya hidup mewah. Berbagai drama parade gelimang harta di media sosial ini menjadi persoalan, karena para figur publik pelakunya seolah sudah mati rasa, kehilangan empati kepada banyak rakyat Indonesia yang masih mengalami kesulitan dan keterbatasan ekonomi.
Kesederhanaan yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia adalah nafas, keseharian mereka justru menjadi sesuatu yang amat mahal untuk dapat dimiliki sebagian figur publik, karena terlanjur terbiasa hidup dalam gaya hidup glamour. Kesederhanaan dirasa dapat mengancam, mendegradasi posisi, derajat sosialnya dengan sesama kompetitor figur publik lainnya di ajang kompetisi media sosial.
Kesederhanaan harus dibayar dengan amat mahal karena akan menghilangkan kenyamanan, mendegradasi gengsi dan derajatnya sebagai figur publik. Ternyata kesederhanaan pun bisa menjadi sesuatu yang amat mahal bagi figur publik yang tidak terbiasa hidup sederhana seperti rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H