Mohon tunggu...
Ani Berta
Ani Berta Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger

Blogger, Communication Practitioner, Content Writer, Accounting, Jazz and coffee lover, And also a mother who crazy in love to read and write.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Pejuang di Sosial Media

27 Agustus 2020   14:09 Diperbarui: 27 Agustus 2020   14:05 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia jelas sudah merdeka untuk ukuran kedaulatan negara. Bangga saya dilahirkan sebagai Bangsa Indonesia yang punya pahlawan sangat berani merebut kemerdekaan melalui pertempuran, perlawanan dengan cucuran air mata, darah bahkan nyawa.

Terbayangkan dulu, untuk memekik Indonesia! Atau  mau mengibarkan Sang Saka Merah Putih pun akan selalu diincar sebagai tawanan. Kini, setelah semua bebas berekspresi menunjukkan rasa nasionalisme, merah putih pun berkibar di mana-mana dengan gagahnya.

Kita, yang tidak tahu bagaimana suasana mencekamnya era penjajahan, segala dibatasi dan tak punya kesempatan berkembang, kini tinggal menikmati kemerdekaan  yang sesungguhnya. Tetapi tak jarang ada yang lupa diri bahkan menyia-nyiakan arti kemerdekaan ini dan tidak menghargai para pejuang pendahulunya dengan hanya leha-leha, terlalu santai dan tidak peka terhadap lingkungannya.

Masih Dijajah Rasa Mager dan Konsumtif

Dua mata pisau kemajuan teknologi dan internet lebih berdampak menggiring ke arah mata pisau negatifnya, mengingat segala hiburan dan konten yang melimpah mampu membius dan melenakan sehingga tenggelam dalam dunia mager alias males gerak. Selain males gerak, banyak anak muda yang yang produktivitasnya menurun drastic karena keasyikan browsing sosial media idolanya atau main game yang berlebihan.

corong-informasi-1-5f475a0cd6b9d7633630a702.png
corong-informasi-1-5f475a0cd6b9d7633630a702.png
Masih Dijajah Hoaks

Berita bohong berisi serangkaian fitnah juga tengah merajai konten sosial media. Semuanya ada karena ada tujuan. Pastinya, tujuan jahat karena isi hoaks dipenuhi konten fitnah, tidak benar, penuh ujaran kebencian dan serangkaian konten yang menyebabkan perpecahan dan kekacauan. Biasanya bukan hanya dilakukan orang yang dikenal saja namun dilakukan orang-orang luar yang punya maksud memecah belah persatuan.

Berapa ratus orang berujung di jeruji besi karena hoaks, berapa ratus orang terseret masalah yang tak ada habisnya karena hoaks juga? Dan berapa puluh juta orang dirugikan karena hoaks ini?

Masih Dijajah Kurang Tata Krama

Salah satu dampak digital native, anak dibesarkan oleh gadget yang menjadikannya kaku saat interaksi dengan orang lain. Mereka tidak merasa perlu dengan kehadiran orang lain karena sudah keasyikkan menunduk ke gadget-nya masing-masing. Sehingga tidak terlatih untuk berempati. Masih ingat, beberapa bulan lalu, di twitter ada yang berbagi pengalaman saat menyeberang jalan dari Senayan City ke Plaza Senayan, lalu Ia  mengucapkan terima kasih pada security yang membantu menyeberangkan semua penyeberang jalan di area zebracross itu, malah ditertawakan oleh serombongan remaja di belakangnya. Dan disebut kampungan karena mengucapkan terima kasih.

Contoh lainnya, ini saya alami sendiri. Saat bertemu dengan teman saya yang membawa anak remajanya, seperti biasa saya menyapa dan bertanya aktivitasnya karena anaknya seusia anak saya. Jadi saya serasa menemukan anak saya saat itu. Tetapi jawabannya kurang berkenan karena ekspresinya terlihat seperti tak mau diganggu. Hanya menunduk ke handphone yang dipegangnya sambil ngetik. Orang yang diajak bicara tidak dianggapnya. Sungguh miris.

Dua hal di atas lagi-lagi menyalahkan satu sisi mata pisau sosial media karena kenyataannya memang demikian. Bisa diatasi jika bimbingan orang tua hadir untuk berinteraksi secara intens. Sehingga tak seharian menunduk di gadget.

Kepekaan sosial yang parah, tak jarang menimbulkan keributan bahkan perpecahan karena adanya salah persepsi dan kurangnya memahami narasi yang disajikan. Bahkan, akan beperngaruh ke pola pikir anak saat masuk di dunia kerja yang multiculture, datang dari segala usia dan sederet masalah yang sebenarnya bisa diselamatkan dengan etika. Jika tak punya keterampilan komunikasi yang baik dan tepat, bukan hal yang tak mungkin karirnya cepat berakhir di tempat yang menurutnya cocok dengan kemampuannya. Walau skills mumpuni tetapi tidak mampu menyampaikan sesuatu dengan tepat, semua kehebatan yang dipunya itu akan sia-sia.

Berjuang Lawan Hoaks

Untuk menanggulangi persoalan yang ditimbulkan karena hoaks, semua yang aktif di sosial media sebaiknya semua yang dapat berita broadcast message harus mau verifikasi dulu dari beberapa sumber. Setidaknya melalui 3 berita mainstream yang sudah punya nama besar. Jika sudah menemukan berita yang sesuai, baru boleh memercayai atau membagikannya kembali. Dengan catatan, bagikan hanya berita yang dapat memberikan manfaat dan kebaikan.

Lalu cermati situs yang memuat berita tersebut, sebab menurut data, di 2019 saja ada 40 ribuan media online namun yang terdaftar resmi hanya sekitar 12 ribuan. Artinya potensi hoaks masih sangat besar. Oleh karena itu, kita harus jeli dengan platform berita yang didapatkan.

Gambar atau foto pun harus diperhatikan benar-benar sebab banyak penyaji berita hoaks yang memuat foto bukan miliknya, bahkan foto dari kejadian lama pun sering diunggah ulang dalam berita baru yang berisi hoaks tersebut.

Intinya, tahan dulu, kawal dulu berita yang masuk tersebut jangan sampai reaktif disebarkan atau dipasang di status sosial media kita tapi lakukan tiga langkah di atas, verifikasi, cermati situs dan periksa foto atau gambar.

Dok Pri
Dok Pri

Menjadi Corong Informasi

Menjembatani Informasi Penting Untuk Masyarakat

Pernah gak Teman-teman membaca berita viral soal jembatan rusak di daerah Banten? Lalu anak-anak sekolah menyeberang dengan susah payah? Ini berkat foto yang dibagikan terus menerus di sosial media hingga viral. Akhirnya pemerintah setempat bergerak memperbaiki jembatan tersebut bahkan ada sumbangan dari netizen yang peduli.

Contoh lain, saat saya dan beberapa teman bloger diajak meliput danau yang diurug untuk dijadikan perumahan di salah satu sudut Tangerang Selatan. Ini link-nya. Beberapa minggu kemudian Wali Kota Tangerang Selatan langsung membuka diskusi terkait masalah ini di sebuah kampus mengundang media. Output-nya tak jadi diurug karena akan berpotensi banjir jika taka da danau penampung air hujan di Pamulang Tangerang Selatan.

Ini adalah contoh kita menjadi corong informasi yang dihubungkan kepada para pihak berkepentingan untuk kepentingan warga.

Menjadi Corong Informasi Pemerintah  

Jika ada program pemerintah yang bermanfaat untuk masyarakat, sebaiknya kita bantu sebarkan, misalnya, cara membuat BPJS Kesehatan Online, informasi soal Kartu Prakerja atau program-program keseaheraan lainnya, tanpa pamrih namun bermanfaat buat orang banyak, pasti punya kepuasan tersendiri.

Menjadi Corong Untuk Aspirasi Diri

Ini penting sebab kita pribadi sering ada opini, masukan atau ide bagus buat mendukung suatu isu. Bisa terkait program pemerintah bisa juga untuk hal-hal yang berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari untuk diinformasikan.

Atau ketika kita ingin menyuarakan kebenaran terhadap sesuatu, bisa disuarakan langsung dengan catatan harus dipilah dan difilter dulu sebelum dibagikan.

Kadang aspirasi diri mampu memberi kontribusi untuk memberikan sudut pandang penting dalam mengambil suatu keputusan. Ketika informasi ini dibagikan di sosial media, aka nada yang tersampaikan baik secara langsung ataupun tidak kepada para pihak berkepentingan.

Itulah perjuangan di masa ini yang penting dilakukan, kini bukan lagi berjuang memanggul senjata namun berjuang dengan memperkaya edukasi untuk menghadang berita-berita menyesatkan dari gempuran-gempuran informasi yang melimpah dari berbagai arah. Justru generasi muda harus diselamatkan dari paparan informasi tidak layak konsumsi yang tidak semestinya mereka dapatkan. Semata untuk menjadikan mereka lebih produktif dan menjunjung human touch yang beradab dalam pergaulannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun