Ini adalah tulisan ketiga saya terkait wacana kursus singkat a la mendiknas M. Nuh dan masih membahas kaitan antara lagu nasional dengan karakter bangsa. Dalam tulisan terdahulu, saya berpendapat bahwa Indonesia Raya adalah lagu yang menyimbolkan karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa pejuang yang sejatinya hanya menginginkan satu hal dalam hidup bernegara, yaitu: kemerdekaan. Nah...pertanyaannya, jika demikian lah karakter bangsa Indonesia, kenapa sepertinya kini bangsa Indonesia seolah bangsa yang tidak punya karakter? Lebih parah lagi, kenapa bangsa Indonesia seolah tidak punya arah yang jelas yang hendak dituju? Kenapa bangsa Indonesia hidupnya selalu saja mengekor bangsa lain dan tidak bisa memimpin bangsa lain? Saya pikir jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu terkait pula dengan lagu nasional. Begini ceritanya.
Secara keseluruhan, lagu Indonesia Raya hanya menekankan satu hal, yaitu keinginan yang sangat kuat untuk merdeka. Dalam situasi ketika belum ada yang disebut sebagai Negara Repulik Indonesia, maka lagu tersebut sangat pas untuk membakar semangat dan merekatkan perbedaan antar berbagai suku bangsa. Arah yang hendak dituju sangat jelas, yaitu merdeka dan membentuk Negara sendiri. Untuk menuju ke arah tersebut, bangsa ini sadar bahwa hanya ada dua pilihan, yaitu: berjuang sampai mati atau mengemis agar sang penjajah bermurah hati mengizinkan bangsa ini merdeka. Dan bangsa ini mengambil pilihan pertama, walaupun pada saat itu kita dilabeli pemberontak oleh rezim penjajah. Nah...pilihan itulah yang menunjukkan karakter sejati bangsa ini, yaitu sebagai: bangsa pejuang dan bukan pengemis. Tapi apa yang membuat bangsa ini mau berjuang dengan mengambil risiko kehilangan harta dan nyawa? Saya pikir jawabannya satu, yaitu karena bangsa ini ikhlas dalam berjuang. Dan karena perjuangan serta keikhlasan itulah, maka kita punya satu karakter unggul, yaitu sebagai: bangsa pemenang.
Setelah memperoleh kemerdekaan, bangsa Indonesia secara perlahan-lahan kehilangan karakternya. Saat diperintah oleh Bung Karno, karakter pejuang tersebut masih cukup terasa karena kepribadian dan kebijakan Bung Karno yang konfrontatif secara militer dengan Negara barat. Akibatnya, bangsa ini selalu merasa punya musuh yang jelas. Semuanya selalu siaga, karena khawatir kemerdekaan yang telah diperoleh hilang lagi. Tetapi dalam perjalanan kekuasaannya, Bung Karno ternyata belum mampu memberikan kemakmuran yang dijanjikannya dahulu. Pertempuran demi pertempuran tiada henti yang selalu dikobarkannya membuat banyak anak bangsa menjadi apatis dan mempertanyakan untuk apakah berbagai pertempuran itu dilakukan. Dalam alam pikiran dan perasaan mereka, musuh itu adalah belanda dan jepang. Merdeka itu adalah bebas dari aturan belanda dan jepang. Nah....saat belanda dan jepang sudah pergi, kenapa kita masih bertempur. Begitulah kira-kira pemikiran sebagian anak bangsa ini dalam menyikapi kebijakan Bung Karno. Apalagi sejak program demobilisasi dilangsungkan, banyak anak bangsa yang sakit hati. Mereka yang merasa paling gagah berani saat bertempur dengan belanda dan jepang dulu, setelah kemerdekaan justru tidak diterima di ketentaraan resmi atau jika pun diterima mendapat pangkat yang rendah; hanya karena mereka buta huruf; kalah oleh mereka yang bisa baca tulis padahal paling pengecut saat bertempur. Namun demikian, pada zaman Bung Karno tersebut, walaupun miskin bangsa ini tetap bermental pejuang dan bukan pengemis. Korupsi dan kolusi jahat pasti ada, tetapi tidak membudaya. Itu karena, orang Indonesia masih bisa ikhlas dalam menerima kemiskinannya. Keihlasan itu lahir karena pemimpin dan keluarga si pemimpin itu tidak tampil bermewah-mewah.
Setelah Bung Karno lengser, Pak Harto yang berkuasa. Dan pada pemerintahan di bawah Pak Harto inilah, saya pikir terjadi kerusakan yang luar biasa terhadap karakter bangsa ini.
Pemerintahan orde baru lah yang membuat bangsa ini menjadi berkarakter pengemis, lemah, pecundang, dan jauh dari sifat keikhlasan. Sedangkan aparat Negara nya bukannya berkarakter sebagai pelindung tetapi justru berkarakter sebagai penjajah. Memang apa yang dilakukannya? Pemerintahan orde baru dimulai dengan slogan yang sangat popular, yaitu Politik-No, Ekonomi-Yes. Musuh bukan lagi sosok yang kongkrit seperti Belanda atau Jepang, tetapi sesuatu yang abstrak, seperti: kemiskinan. Coba anda bayangkan, kalau musuhnya Belanda dan Jepang wujudnya kongkrit. Ngatasinnya pun kongkrit. Dibedil aja pasti modar. Tapi kalo kemiskinan? Wujudnya apa? Gimana orang per orang anak bangsa bisa ngatasinnya? Walaupun demikian, wacana “pembangunan” a la pemerintahan orde baru sangat disambut gembira dan itu karena bangsa ini memang sudah bosan bertempur dan ingin makmur. Lalu dalam perkembangannya, pemerintahan orde baru punya resep jitu untuk mewujudkan kemakmuran itu, yaitu: stabilitas. Jadi definisi musuh bagi pemerintahan orde baru adalah siapapun yang mengganggu stabilitas Negara. Permasalahannya, pengertian musuh Negara kemudian menjadi mengerucut menjadi siapapun yang seolah ingin melengserkan Pak Harto dan yang lebih parah lagi siapapun yang ngeledek atau menghalangi bisnis anak-kerabat-dan-teman-teman-nya.
Pak Harto menjadi satu-satunya orang terkuat di Indonesia. Dan perlahan kemudian, lahir lah sistem nilai baru-tapi-lama ke tengah peradaban bangsa merdeka ini, yaitu sistem nilai pengkultusan individu.
Dalam sistem nilai tersebut berlaku “hukum tidak tertulis” sebagai berikut: siapapun yang dekat dengan Pak Harto maka hidupnya akan aman dan makmur, siapapun yang dekat dengan orang yang dekat dengan Pak Harto maka hidupnya akan aman dan makmur, siapapun yang dekat dengan orang yang dekat dengan orang yang dekat dengan Pak Harto maka hidupnya akan aman dan makmur, dan begitu seterusnya. Yang paling sial dari sistem nilai tersebut adalah orang yang tidak dekat dengan siapa-siapa karena seluruh hidupnya habis untuk bekerja keras dan bukan menjilat-jilat orang dekat itu.
Dalam sistem nilai yang gila itu, siapapun bisa dengan aman makan duit Negara dan memonopoli proyek-proyek Negara sebanyak-banyaknya, selama hubungan baik dengan si orang dekat itu terjaga. Dalam sistem nilai gila itu, orang pun berlomba-lomba ingin dekat dan mendekati si orang dekat. Suap menyuap pun jadi kebiasaan dan kebiasaan itu jadi “hukum tidak tertulis” yang jauh lebih mengikat daripada hukum tertulisnya. Akibatnya, orang mau jadi pns, sudah tidak mau lagi berjuang dengan belajar keras mempersiapkan diri; karena merasa ada “orang dalam” yang pasti bisa memasukkannya. Orang mau dapet proyek dari pemerintah juga tidak mau lagi berjuang membangun reputasi bisnis yang baik dan mempersiapkan konsep proyek dengan sebaik-baiknya; karena mereka sudah “dijamin pasti menang”. Orang mau jadi anggota DPR atau Menteri tidak mau lagi berjuang meyakinkan konstituennya, karena merasa “sudah dekat” dengan anak-kerabat Pak Harto. Pimpinan suatu desa atau daerah yang ingin jalan di desa atau daerahnya teraspal mulus atau teraliri listrik tidak mau lagi berjuang menuntut pemerataan pembangunan, karena cukup dengan cara memenangkan “partai politik” tertentu hal itu biasanya didapatkan. Singkat kata, pemerintahan orde baru sudah membuat bangsa ini berubah total dari bangsa pejuang dan bersih, menjadi bangsa pengemis yang biasa dengan suap-menyuap dan tilep-menilep duit Negara. Di bawah pemerintahan orde baru pula, bangsa ini tidak lagi menghargai ilmu, karena orang berilmu tapi tidak punya koneksi tidak akan dipakai dimana-mana. Dan pemerintahan orde baru pula yang melahirkan “pendidikan moral pancasila” dan “penataran p4”, suatu mata ajar wajib dan kursus singkat yang tidak mengajarkan apa-apa selain kemunafikan belaka (mohon dicatat bahwa terhadap pmp dan p4 ini yang saya kritik adalah isi materi ajar/kurikulumnya dan bukan sebuah kritik terhadap para guru yang mengajarkannya).
Syukurlah pemerintahan itu sudah berakhir sekarang. Tetapi, apakah sistem nilai mereka ikut lengser pula? Pada kenyataannya belum. Jadi itulah tugas yang harus dilakukan pemerintah, yaitu: melengserkan sistem nilai suap-menyuap, suka mengemis, dan kultus individu dari tubuh pemerintahan.
Karena hal-hal tersebutlah, maka saya menyimpulkan bahwa disorientasinya bangsa ini sekarang adalah karena kita tidak tahu lagi siapa musuh kita. Karena itu kita perlu definisi baru tentang “musuh bersama” bangsa Indonesia. Yang saya maksud bukanlah musuh bersama dalam artian militer (perang), tetapi dalam artian sipil (damai). Siapakah itu? Saya pikir itu adalah semua Negara yang perekonomiannya lebih baik daripada kita. Mereka harus kita perlakukan sebagai musuh dalam artian sipil. Apa maksudnya itu? Maksudnya adalah kita harus sekuat tenaga mengalahkan mereka di berbagai aspek ke-sipil-an. Kita harus menang saat berhadapan dengan mereka di kompetisi olahraga, kontes kesenian, olimpiade sains, negosiasi kontrak infrastruktur di seluruh dunia, lomba pembuatan program komputer, dan lain sebagainya. Kita perlu banyak kemenangan di bidang itu untuk mengembalikan karakter bangsa kita yang sejati, yaitu bangsa pemenang; menang dari para penjajahnya. Lagu Indonesia Raya sudah menegaskan karakter sebagai bangsa pemenang itu dalam liriknya yang berbunyi “di sana lah aku berdiri, jadi pandu ibu ku”. Karena itu, mari kita ingat-ingat selalu pesan yang disampaikan oleh Wapres Budiono saat mengatakan ‘seorang pandu pasti berada di depan’. Jadi itulah sejatinya arah kehidupan berbangsa dan bernegara kita, yaitu: selalu berada di depan bangsa lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H