Mohon tunggu...
Bambang Pribadi
Bambang Pribadi Mohon Tunggu... profesional -

B. Pribadi (Bambang Pribadi) sering dipanggil BP saja, pernah belajar ilmu kehutanan dan ekonomi, selain sebagai penulis dan editor, ia juga pelukis, perancang grafis, karikaturis, ilustrator, pernah menjadi dalang wayang kulit gagrak Ngayogyakarta…. www.bambangpribadi.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sketsa #44 Batman dan Robin

18 September 2013   11:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:44 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kami segera tiba di desa, tempat kami lahir dan dibesarkan. Itulah desa kami tercinta, yang walaupun kami tinggalkan selama tiga tahun penuh, tetap masih sama statusnya: desa miskin. Semua hal tak ada yang berubah di desa ini, kecuali usia warga desanya tentu saja, jumlah penduduknya, dan sebuah bangunan spesial yang terletak tak jauh dari kantor kelurahan. Tiga tahun yang lalu kami tinggalkan desa ini dengan sepatu lusuh, tas punggung kain, dan naik bus antarkota. Hari ini, kami pulang naik taksi, bersepatu pantofel hitam mengilap, menenteng beberapa koper serta seonggok ilmu dan pengalaman yang tak dapat dinilai harganya.

Hari itu waktu masih pagi, belum lebih dari pukul sepuluh. Taksi Redbird akan membawa kami masuk ke halaman kantor kelurahan. Tampak dari dalam sedan merah ini, Pak Lurah tersayang, aparat desa berseragam gagah, dan seluruh warga desa berkumpul menyambut kedatangan kami dan bersorak-sorai riuh rendah. Kami seperti Batman dan Robin yang baru saja menyelamatkan kota Gotham, yang dielu-elukan sedemikian rupa sehingga kami salah tingkah. Aku dan Darmo mungkin seperti Pak Jokowi dan Pak Ahok sewaktu dilantik menjadi pemimpin Jakarta tempo hari, ribuan warga merayakannya di balai kota dengan sukacita dan pengharapan. Mengharapkan kiprah Pak Jokowi dan Pak Ahok melakukan bebebapa perubahan signifikan di ibukota masih masuk akal. Tetapi, mengharapkan dua pemuda ingusan seperti kami untuk membangun desa barangkali merupakan hal yang sangat fiktif. Aku merasa gamang. Semangat yang menyala-nyala hasil tempaan SMB Pantang Menyerah kini dihantam cobaan maut. Jika saja aku sendirian tanpa Darmo mungkin semangat itu sudah padam.

Sambil bersiap-siap membuka pintu taksi, sempat terpikirkan olehku betapa berat tugas kami. Tetapi, peribahasa yang sering dikutip Pak Murbaut menguatkan hatiku, sehari sehelai benang setahun selembar kain. Ya, sesuatu yang dikerjakan dengan benar terus-menerus akan menjadi besar dan berharga. Kulirik Darmo tenang-tenang saja. Wajahnya berseri-seri tanpa kerutan cemas sedikit pun. Ia memegang pundakku, seolah-olah berkata take it easy bro.... Kupegang pundaknya juga, dan kukatakan dalam hati, oke roger roger...

Kami turun dari taksi dan segera setelah itu kamidiminta naik ke atas panggung kecil. Dengan sepatu pantofel hitam dan kemeja cerah berdasi merah tua, rasanya seperti pengantin naik ke pelaminan. Secara tak sadar kugandeng tangan Darmo, layaknya Pangeran William menggandeng tangan Kate Middleton sewaktu mereka menikah. Tentu saja Darmo mengibaskan tanganku. Salimar yang baru saja kugandeng tiba-tiba hilang dari lamunanku.

Pak Lurah sudah menunggu di atas panggung. Beliau tampak sangat tak sabar seolah-olah sedang keberatan membawa piala yang mana si peraih piala itu tak kunjung datang walaupun telah dipanggil berkali-kali untuk hadir ke atas panggung. Ketika kami mulai mendaki panggung, wajah Pak Lurah menjadi cerah sekali, lebih muda dua puluh tahun. Dengan cekatan, beliau memberi selamat dan memeluk kami penuh kasih sayang. Bu Lurah mengalungkan di leher kami rangkaian bunga mawar warna-warni yang di sana-sini dibumbui bunga anyelir dan kenikir. Ia pun segera memeluk kami satu demi satu dengan hangatnya.

Ibu Darmo hadir di atas panggung. Juga ayah dan ibuku. Mereka memeluk kami erat-erat. Ibu Darmo mencium kami berkali-kali seperti mencium bayi mungil yang amat disayanginya dan telah dinanti-nantikan kelahirannya. Kami tersipu-sipu disoraki seluruh teman-teman sedesa.

Pak Lurah lalu berbisik, ”Bagaimana soal Huaxi itu? Dapat informasinya, kan? Jangan lupa kalian ceritakan padaku besok ya?”

“Siap, Pak Lurah,” jawabku segera.

Huaxi adalah sebuah desa fenomenal di Cina daratan dan menyandang gelar desa terkaya di dunia. Desa itu dipimipin seorang bernama Wu Renbao. Semua cerita tentang desa itu kudapat dari mata pelajaran ilmu budaya. Pak Hernawan, guru yang menceritakannya pada kami telah melihat desa itu dengan mata kepalanya sendiri, ketika ia masih bertugas sebagai seorang wartawan. Pada saat itu, guru yang mengagumkan itu juga memutar beberapa kali video, Huaxi: Secrets of China’s richest village. Kami menganga menyaksikannya dan meminta memutar ulang film itu beberapa kali.

Ketika kelak kuceritakan semua itu pada Pak Lurah, praktis hari-hari kami kemudian diisi berbagai diskusi mengenai Wu Renbao dan aktivitas warga desanya. Pak Lurah merasa bergairah jika membicarakan itu semua. Bahkan, Pak Lurah menduga-duga, apakah Wu Renbao itu semacam satria piningit, yang mampu memimpin warga desa sedemikian rupa, sehingga desa yang pada tahun 1961 masih tergolong miskin kelak menjadi desa terkaya di dunia? Tetapi mengapa satria piningit itu dilahirkan di Cina, bukan di negeri kita tercinta ini? Apakah Tuhan sudah murka pada tingkah polah kita sehingga mengubah rencanaNya, membatalkan pengiriman satria piningit ke negeri ini? (Mengingat satria piningit, tak mudah kulupakan, doa seorang kawan yang isinya mohon dikirimkan satria piningit, tapi yang ia terima malah satria bergitar....) Kok bisa ya si Renbao memimpin desanya dengan begitu luar biasa? Apa sajakah makanan beliau sehari-hari? Begitulah kelak pergulatan pemikiran Pak Lurah kami tersayang ketika memikirkan soal Huaxi tadi. Rasanya kuingin mengajak Pak Lurah terbang ke Cina saat itu juga dan membiarkannya bertanya sendiri sepuas-puasnya langsung pada mereka yang bersangkutan.

Setelah acara penyambutan yang meriah itu selesai dan warga desa kembali melanjutkan rutinitas hariannya, kami diajak Pak Lurah ke sebuah bangunan yang jaraknya cukup dekat dengan kelurahan. Pak Lurah mengajak kami langsung memasuki bangunan itu.

Beberapa warga datang membawa kursi dan menggotong meja. Mereka bilang, semua itu untuk mengisi bangunan baru ini. Ada juga yang menggotong lemari bekas, beberapa pasang kursi rotan yang masih layak pakai.

“Nah, bangunan ini hasil swadaya warga desa. Inilah kantor kalian. Mulai besok kalian sudah harus berkantor di sini,” kata Pak Lurah dengan semangat berapi-api.

“Terima kasih banyak, Pak,” kami menjawab serentak.

Baru saja kami hendak keluar dari bangunan itu, beberapa anak muda berbondong-bondong mendatangi kami. Mereka membawa map karton terselip di ketiak masing-masing. Seorang dari mereka maju selangkah menyodorkan map yang dibawanya dan berkata, “Kami mau melamar pekerjaan di kantor baru ini.” Lalu semua ikut maju dan menyerahkan map lengkap dengan aroma ketiak masing-masing.

“Saya juga, saya juga....”

“Baiklah. Kami akan melihat isi map kalian dan menyeleksinya sesuai dengan kebutuhan. Besok kalian bisa datang pukul delapan pagi untuk wawancara,” Darmo berkata dengan suara tegas. Setelah itu, anak-anak muda tadi mohon diri. Mereka pulang dengan wajah senang penuh harapan.

Di tengah-tengah rombongan pelamar kerja tadi, kami melihat Jarikun. Ia tampak lesu, tak seperti dirinya tiga tahun lalu yang gagah penuh semangat ingin masuk SMU favorit di kabupaten lalu masuk fakultas ekonomi salah satu universitas negeri dan ingin menjadi pegawai salah satu bank pemerintah. Tak kulupakan dengan mudah, ia pernah merendahkan Darmo ketika hendak masuk SMB. Apa itu SMB?, katanya. Sekolah Mbakul Bakso, katanya lagi. Maklum entrepreneur di mata umum adalah orang-orang yang sengaja memilih hidup sengsara untuk membangun bisnis kecil-kecilan. Mungkin di mata Jarikun, ketika lulus SMB kami akan menjadi pengusaha dengan jalan mendorong-dorong gerobak bakso keluar masuk desa.

Kami prihatin akan nasib Jarikun yang kehilangan cita-citanya secara tragis. Ia memang kesampaian masuk SMA favorit di Kabupaten. Namun, persis setelah ia lulus dengan gilang gemilang, anak pertamanya lahir. Istrinya yang adik kelasnya di SMA favorit itu terpaksa cuti sekolah di awal kelas dua karena mengandung anak mereka. Tak kusangka di usia semuda itu Jarikun harus menerima nasib menjadi bapak, yang sekarang ini sedang melamar pekerjaan seada-adanya, dan siap membanting tulang-tulang mudanya untuk menghidupi keluarga barunya itu. Dan kami, bisa jadi akan menjadi atasan si Jarikun.

Pak Lurah tertegun, sepertinya beliau sangat kagum pada sosok Darmo yang baru. Kedua mata Pak Lurah berbinar-binar bahagia memandang salah satu keponakannya itu. Betapa tiga tahun ini, anak itu telah mengalami banyak perubahan. SMB Pantang Menyerah telah menggubah nasib sebutir benih yang hampir mati, menjadi kecambah yang mulai mengeluarkan akar-akarnya dan sebentar lagi menghiasi dirinya dengan kuncup-kuncup daun hijau nan segar, yang kelak beberapa tahun kemudian berdiri kokoh sebagai tumbuhan berkayu bertajuk rindang dan berbuah lebat.***

Bersambung...

bp

*masih bagian dari sebuah novel, yang sampai saat ini belum selesai-selesai... hahahahaha.... (baru 250 halaman)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun