Mohon tunggu...
Bambang Pribadi
Bambang Pribadi Mohon Tunggu... profesional -

B. Pribadi (Bambang Pribadi) sering dipanggil BP saja, pernah belajar ilmu kehutanan dan ekonomi, selain sebagai penulis dan editor, ia juga pelukis, perancang grafis, karikaturis, ilustrator, pernah menjadi dalang wayang kulit gagrak Ngayogyakarta…. www.bambangpribadi.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sketsa #31 Cintaku Merambat Seperti Spiderman

5 Agustus 2010   12:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:17 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan merambat di langit seperti spiderman. Sinarnya menjala muka bumi, separuh bumi tepatnya. Sebagian cahayanya menerangiku membaca makna yang telah ditumpahkan Salimar pada permukaan hatiku. Tiba-tiba aku merasa kerasukan Peter Parker. Malam besok aku berencana mulai merambat seperti bulan dan akan kujala Salimar sebagaimana laba-laba itu menjerat cinta Mary Jane. Oh, my MJ..... Tak sengaja aku meloncat-loncat sendirian.

Tetapi, semua itu akan tak mudah. Jauh lebih mudah menjerat burung-burung emprit di sawah atau menaikkan selusin layangan sobek. Aku—dan semua kawan kelas satuku yang lelaki—adalah pemuda-pemuda naif yang sekarang merasa telah tertipu. Mirip anak kecil yang ditipu bapaknya dengan mengatakan: sudah jangan nangis, nanti ayah belikan es krim.

Jatuh cinta di SMB ini adalah persoalan mahaserius yang harus segera terselesaikan. Jika tidak, ancaman dikeluarkan dari sekolah akan mirip seperti pencuri yang kita tak tahu kapan datangnya. Daripada diteror pencuri, aku merencanakan menemui Bu Ira dan menceritakan apa yang kualami tepat pada pusat hatiku. Aku akan menghalau pencuri sebelum ia pergi mencuri nasib baikku bersekolah di sini. Aku tak ingin didepak keluar dari sekolah ajaib ini.

Belum genap enam bulan yang lalu, kami secara amat mudahnya menandatangani sebuah kesepakatan bahwa kami setuju untuk tidak pacaran selama bersekolah di sini. Selayak semangat pejabat baru yang sedang mengucapkan sumpah dan janji, kami menorehkan tanda-tangan dengan penuh kesombongan. Apalagi, di kesepakatan itu hanya tertulis, tidak boleh pacaran secara fisik. Bukankah seharusnya memang demikian? Provokasi guru-guru masuk akal. Kami rebutan menyelesaikan tanda-tangan masing-masing secara buru-buru seperti kasir dipelototi antrean panjang pembeli pada tanggal-tanggal muda.

Tadi siang aku pergi ke serambi ruang Bu Ira. Di depan ruangan Bu Ira terdapat sebuah meja kayu. Di atas meja itu tertumpuk kertas kosong setengah folio dan sebuah ballpoint bertali benang merah muda. Aku mengambil satu lembar kertas itu, kutulis motivasiku mengapa aku harus berkonsultasi dengannya. Setelah kulipat dua kertas itu, kumasukkan ke dalam ruangan Bu Ira melalui sebuah celah yang memang sengaja dibuat di pintu ruangannya. Kertasku tentu akan jatuh ke dalam sebuah kotak di balik pintu itu dan menyatu dengan puluhan kertas-kertas lainnya. Segera jika ada kesempatan, Bu Ira akan membuka pintu kotak suratnya, membawa semua kertas-kertas dari dalamnya dan menaruhnya di atas mejanya. Ia pasti dengan penuh konsentrasi akan membaca satu per satu dan mengurutkannya sesuai tingkat motivasi calon pasien. Tumpukan kertas paling atas adalah kertas dengan motivasi paling gawat darurat.

Kertas-kertas motivasi itu isinya bukan melulu ditulis oleh calon pasien. Cukup banyak juga kertas yang ditulis bukan oleh yang bersangkutan. Biasanya kertas-kertas inilah yang akan menarik perhatian Bu Ira, karena isinya berupa laporan saksi mata atas kelakuan satu atau beberapa siswa yang sudah dianggap mengkhawatirkan. Aku tak mau keduluan menjadi kekhawatiran orang. Lebih baik kukhawatirkan diriku sendiri sebelum semuanya terlambat.

Setelah kumasukkan motivasiku teriring doa agar secepatnya direspon Bu Ira, aku kembali ke kelas. Hatiku lega. Namun... Ketika kubalikkan badanku menuju arah kelas, aku terkejut bukan main. Salimar sudah berdiri tepat di depan mataku, dekat sekali. Aku pucat seperti bulan yang batal merambati malam. Waktu benar-benar bergeming. Jantungku terkesiap lalu meronta-ronta tak karuan. Salimar tersenyum. Senyumnya seperti senyum Amanda Rigby ketika menjadi bintang tamu “Bukan Empat Mata” waktu itu. Senyumnya renyah seperti kerupuk udang selesai digoreng dengan minyak zaitun. Setelah itu ia tertawa lalu menyapaku.

“Hayo, ngapain, Abang?” begitu ia biasa menyapaku dengan sebutan Abang. Bukan lantaran ia menganggap aku kakaknya, tetapi memang begitu ia menyebut nama mirip namaku. Aku seperti anfal, terserang gagap mendadak. Belum sempat aku membalas sapaannya, ia mengambil kertas lalu menulis cepat sekali, melipat kertas itu dan memasukkan surat motivasinya melalui celah di pintu Bu Ira. Lalu Salimar melenggang meninggalkanku tanpa beban dan merasa tak punya dosa. Aku masih melongo seperti korban tabrak lari. Aku geregetan. Rrrrrggghhhh.....***

Bersambung dalam sketsa-sketsa berikutnya....

05-08-2010 bp

*** Sketsa-sketsa sebagai pangkal judul di blog saya ini dimaksudkan sebagai bahan mentah (bisa berubah sewaktu-waktu). Sketsa-sketsa yang telah diposting berkesinambungan walau belum berurutan, yang jika digabungkan dan ditambah sedikit sana-sini kelak menjadi sebuah (mungkin beberapa buah) novel.

Sketsa sebelumnya:

Sketsa #30 Hidup di Zaman yang Salah

Sumber ilustrasi: Dok. Pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun