Mohon tunggu...
Bambang Pribadi
Bambang Pribadi Mohon Tunggu... profesional -

B. Pribadi (Bambang Pribadi) sering dipanggil BP saja, pernah belajar ilmu kehutanan dan ekonomi, selain sebagai penulis dan editor, ia juga pelukis, perancang grafis, karikaturis, ilustrator, pernah menjadi dalang wayang kulit gagrak Ngayogyakarta…. www.bambangpribadi.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar dari Andrea Hirata - Metafora dalam “Padang Bulan” #2

1 Agustus 2010   05:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:24 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kalangan kawan-kawan dalang maupun kawan-kawan yang sedang belajar seni pedalangan dikenal isitilah “dalang sastra. Istilah itu disematkan pada mereka yang ketika mendalang secara dominan menggunakan bahasa Jawa dengan kata-kata indah, unik, menawan, memesona, dan rasanya berkelas—karena memiliki arti yang lebih dalam atau berbobot. Saya kira istilah itu benar adanya, jika menilik kata “sastra” itu sendiri. Kata “sastra” yang terbiasa kita dengar merupakan istilah pendek dari kata lengkapnya yaitu “susastra”. Kata “su” berarti “baik” dan “sastra” berarti tulisan (kata-kata). Jadi, sastra—menurut kawan-kawan dalang adalah kata-kata indah, unik, menawan, memesona, dan rasanya berkelas, karena memiliki arti yang lebih dalam atau berbobot—adalah benar.

Apakah demikian juga arti sastra dalam dunia kesastraan (kesusastraan) Indonesia? Apakah jika kita sudah menulis dengan kata-kata indah, unik, menawan, memesona, dan rasanya berkelas—karena memiliki arti yang lebih dalam atau berbobot, bisa disebut karya sastra? Saya katakan “ya”—paling tidak sampai saat ini.

Tulisan ini pun tetap akan menyajikan “kata-kata indah” (menurut saya) dari novel “Padang Bulan” Andrea Hirata, sebagai sambungan dari tulisan saya sebelumnya.

Sebelum itu saya akan kutipkan nasihat Jakob Sumardjo yang menganjurkan agar kita belajar dari tokoh sastra. Ia menganjurkan demikian:

“Tidak usah diragukan bahwa orang menulis cerita karena ia pernah membaca cerita atau ingin mencontoh cerita yang dikaguminya. Pengarang mana pun tumbuh dari belajar dari sastrawan lain. Inilah sebabnya sering kita temui adanya gaya-gaya tertentu pada pengarang-pengarang baru yang sudah kita kenal dari tokoh-tokoh sastrawan lain. Orang mengatakan epigon. Orang tak perlu malu dituduh epigon, kalau ia menyadari bahwa ia memang sedang belajar. Mengagumi seorang pengarang atau mengagumi jenis-jenis cerpen tertentu dan mencoba untuk menirunya adalah gejala sehat. Asal tidak selama hidup dia berbuat begitu saja. Artinya orang itu mandeg, tak maju-maju.”

“Tetapi, mencontoh dan mencontoh adalah berbeda. Orang bisa saja mencontoh karya-karya atau pengarang-pengarang yang kurang bermutu. Dari naskah-naskah yang saya periksa ternyata banyak kecenderungan orang menulis berdasarkan “model” yang kurang bermutu. Kalau seorang calon penulis hanya belajar dari karya-karya yang dimuat di penerbitan-penerbitan hiburan, maka hasilnya tak jauh dari mutu hiburan belaka. Bahkan sebagai seorang calon dia hanya akan di bawah taraf “model”-nya yang kurang bermutu itu.”

“Maka belajarlah dari guru-guru yang benar jempol dalam sastra Indonesia maupun sastra dunia. Banyak sastrawan kita yang menjadi besar karena belajar dari “model-model” sastra dunia.” *

Kini, novel-novel Andrea Hirata sedang menuju pentas dunia. Tak ada salahnya, kita belajar darinya juga.

Dan, inilah “kata-kata indah” (menurut saya) selanjutnya dari “Padang Bulan” dalam Mozaik 7 Detektif M. Nur....

“Hidangan burung punai merupakan menu musim hujan yang selalu dinantikan. [....] Hanya melalui pekatik, punai bisa ditangkap. Sebuah cara berburu yang unik dan mengasyikkan.”

“Matanya hitam dan tajam, lehernya kukuh, paruhnya seperti mata panah, bulunya hijau berkilat-kilat dan sangat tebal, kakinya seperti kaki rajawali, kuku-kukunya laksana besi. Ia tampak gagah, menantang, dan tak takut. Burung itu memang berkarisma seorang raja.”

“.... Mulut tanpa pagar rupanya membuat huruf h berhamburan dan huruf s agak susah dikendalikan.”

“.... Ia, kata A Nyim berapi-api, bahkan bisa mencari suami yang hilang. M. Nur, begitulah nama orang Melayu itu.”

“.... Badannya kecil. Maka, bolehlah ia disebut kontet. Kulitnya gelap, rambutnya keriting kecil-kecil. Alisnya hanya satu setengah. Maksudnya, setengah alis mata kirinya tak ada sebab terbakar ketika ia meniup karbit yang menyala di dalam meriam bambu. [....] Sisa alis itu hanya berupa bulu yang remang-remang. Rahangnya seperti manusia Neanderthal. Matanya, sudah mata manusia modern meski agak juling. [...] Tapi, penglihatannya tajam, terutama kalau malam. Ia serupa burung hantu.”

“Waktu kelas tiga SD ia tidak naik kelas karena pernah terjatuh dari pohon nangka. [....] Tubuhnya berdebam ke tanah seperti nangka disambar petir.”

“.... Tapi, ia menjadi pelupa dan sering mendengus-dengus seperti kambing bersin: nges, nges. [....] Alhasil, tiga tahun berturut-turut ia tak naik kelas. Ia bosan, guru-gurunya bosan, orangtuanya bosan, menteri pendidikan bosan, ia berhenti sekolah.”

“.... Baginya—baginya sendiri tentu saja—ia adalah seorang detektif profesional.”

“Orang Melayu gemar benar menertawakan orang.”

“Lim Phok mengucek-ngucek matanya, tak percaya melihat gigi palsunya terbaring di tanah.”

“Kutatap ia dan ia menikmati kekagumanku padanya. Gadis tadi telah hafal pesanannya, secangkir kopi, sedikit gula, dua butir cengkeh. Kopi yang sempurna untuk sore yang sangat mengesankan itu. ‘Nges, nges!’....”**

Bersambung….

Akhirnya, selamat menulis dan merangkai kata-kata seindah dunia kita ini….

Sekadar niat berbagi dan semoga bermanfaat…!***

01-08-2010 bp

Baca tulisan terkait sebelumnya:

Metafora-metafora “Ngawur” Andrea Hirata

Metafora dalam “Padang Bulan” Andrea Hirata #1

Catatan:

*Dikutip dari “Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen”, Jakob Sumardjo, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan kedua 2001, hal. 100-101.

** Semua kutipan bersumber dari novel Andrea Hirata, “Padang Bulan”, Penerbit Bentang, 2010.

Sumber gambar: andrea-hirata.com

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun