Mohon tunggu...
Bambang Pribadi
Bambang Pribadi Mohon Tunggu... profesional -

B. Pribadi (Bambang Pribadi) sering dipanggil BP saja, pernah belajar ilmu kehutanan dan ekonomi, selain sebagai penulis dan editor, ia juga pelukis, perancang grafis, karikaturis, ilustrator, pernah menjadi dalang wayang kulit gagrak Ngayogyakarta…. www.bambangpribadi.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Virus Aib

31 Juli 2010   04:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak aib mulai populer di televisi, keluarga Paman sangat anti pada si tabung gambar itu. Seluruh ruangan di rumahnya dinyatakan bebas televisi, kecuali sebuah ruangan yang disebut gudang. Para televisi digiring dengan dipaksa masuk ke gudang seperti gerombolan terkutuk ditendang masuk penjara. Karena sebuah aib itu, nasib televisi di rumah Paman seperti berada di bibir jurang secara “mingklik-mingklik”, kritis dan genting. Maksudnya, jika ada orang iseng menyentuhnya sedikit saja, televisi itu tergelincir masuk jurang, punah total.

“Bagaimana dengan radio?” tanya Bibi kemudian.

“Simpan di brankas saja!” jawab Paman secepatnya.

“Koran dan majalah juga?” tanya Bibi lagi.

“Letakkan di lemari kamar kita saja!” sahut Paman sambil mengumpulkan koran dan majalah baru.

Sebelum mereka pergi tidur, Bibi menyempatkan diri menjenguk kamar anak-anak mereka. Joko sudah mendengkur memeluk gitar kesayangannya. Entah mengapa demikian, mungkin karena Joko sudah akil balik dan imajinasinya tentang tubuh si gitar sudah baik dan benar. Andin sudah terlelap setelah mengerjakan skripsinya yang belum juga kelar. Sejak Paman menyita telepon genggam mereka, Joko dan Andin tidur lebih awal. Kini, malam bagi mereka adalah sekeping piringan hitam lagu-lagu kesepian berkepanjangan. Mereka merasa seperti hidup di kampung terpencil macam orang-orang Badui Dalam.

Terakhir, Bibi membuka kamar anak bungsunya, si kecil Diana, satu-satunya anggota keluarga Paman yang tak punya telepon genggam. Ia masih kelas satu SD.

“Diana, kamu belum tidur, Nak?”

“Belum, Bunda,”

“Ayo, bobok dulu. Besok kan sekolah?”

“Sebentar, Bunda...”

“Lho, itu handphone siapa?”

“Tadi, nemu di jalan, Bunda.”

“Coba, Bunda lihat............. Ya, ampuuuuuuuuuuun......................!” teriak Bibi.

“Kenapa, Bunda?”

Bibi tak menjawab, sebab ia tertegun. Dibawanya telepon genggam temuan Diana dan dihempaskannya ke dalam gudang. Bibi lupa jika sesungguh-sungguhnya ia wajib mengembalikan barang yang sudah terpapar aib itu kepada pemiliknya. Virus aib telah mengomplikasi keluarga Paman sedemikian rupa.***

31-07-2010 bp

Sumber Gambar: Dok. Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun