[caption id="attachment_206412" align="aligncenter" width="300" caption="salah janur (dok.pribadi)"][/caption]
Mbah Wartinah, perempuan renta itu memasuki desa. Gerbang desa centang-perenang berbagai hiasan janur kuning. Ia menggenggam sesobek amplop kecil. Isinya berupa lembaran satu-satunya, uang dua ribuan baru. Matanya yang pudar sesekali melihat ke depan, selebihnya ia hanya menunduk menghindari kerikil.
Memasuki sebuah pelataran ia disambut senyum para penerima tamu. Tentu ia tak bisa menulis namanya di buku tamu. Dibantu penerima tamu, nenek tua itu memasukkaan amplop yang digenggamnya erat-erat ke sebuah kotak indah berenda-renda. Lalu ia menggumamkan doa untuk seorang cucunya yang sedang dikithan. Rupanya salah seorang penerima tamu mendengar gumam Mbah Wartinah.
“Mbah?”
“Apa, Nduk?”
“Yang sunat ini Agus bukan Yanto cucu Simbah!”
Mbah Wartinah tertegun lalu memandangi kotak sumbangan berenda-renda itu. Di hatinya seperti tumbuh semacam kerikil.***
27-07-2010bp
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H